Menu




Sampai detik ini, saya masih kesal dengan nilai matematika yang terukir abadi di ijazah SMA. 4,01. Benar-benar di ambang batas kelulusan Ujian Nasional belasan tahun silam. Kalau sekarang sih sudah jelas saya tidak akan lulus.

Meski sudah lama berlalu dan pekerjaan saya saat ini tidak terlalu berkaitan dengan matematika, mata pelajaran satu ini tetaplah menjadi momok. Saya tidak bisa mengenyahkan pikiran betapa menyusahkannya matematika (dan pelajaran eksakta lainnya) itu.

Saat ini saya memang bukan pelajar yang dipusingkan oleh nilai ujian atau ijazah lagi, namun saya adalah seorang ibu dengan dua putri kembar. Saya khawatir jika mereka akan mengalami kesulitan belajar juga seperti mommy-nya ini saat masih sekolah dulu. Apalagi, ketika melihat buku-buku paket anak sekolah zaman sekarang, saya merasa pelajarannya semakin sulit saja.


Sistem Pendidikan Indonesia Kurang Bersahabat

Ini memang hanya pendapat pribadi berdasarkan pengalaman sendiri dan dengan melihat apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Tapi saya merasa atmosfer sistem pendidikan Indonesia di sekolah formal kurang bersahabat. Tidak hanya bagi pelajar, namun juga bagi pengajarnya.

Salah satu yang paling mengesalkan bagi saya adalah pergantian kurikulum yang terasa seperti ganti kaos kaki. Terlalu banyak dan cepat. Belum usai beradaptasi dengan kurikulum A, eh sudah ganti lagi dengan kurikulum B.

Siswa bingung karena tidak mengerti, pengajar bingung karena belum menguasai. Sementara beban dan tuntutan untuk keduanya kian berat. Siswa diminta cepat paham dan menguasai, guru dibebankan target-target tertentu yang kadang tidak sesuai dengan kemampuan anak didiknya.

Alhasil, tidaklah mengherankan jika akhirnya banyak orang tua (termasuk saya) yang lebih memilih "mengirim" anak untuk belajar tambahan di luar sekolah. Bukan hanya demi meningkatkan kemampuan anak semata, namun juga demi menjaga kewarasan. Biar tidak kebanyakan drama karena anak terlanjur frustrasi lantaran tidak mampu mengikuti pelajaran di lembaga pendidikan formal.

Terlebih, saat ini banyak sekali lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel) swasta yang terbukti lebih mampu meningkatkan minat belajar anak karena lebih aktif dalam menemukan metode pembelajaran yang lebih efektif dari yang diberikan di sekolah formal.




Dunia Pendidikan dan Digitalisasi


Flashback sejenak ke beberapa tahun lalu, era pandemi COVID 19 rupanya mempercepat era digitalisasi di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Pergeseran aktivitas offline menjadi online telah merambah semua sektor, mulai dari ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan.

Khusus di dunia pendidikan, kita sekarang sudah akrab sekali dengan istilah kelas online atau pembelajaran daring. Era pandemi sudah berlalu, namun zoom meeting atau webinar rupanya tidak lantas menghilang begitu saja, bahkan semakin marak.

Jika pada zaman saya sekolah dulu urusan digital sangat tergantung dengan komputer, saat ini sudah cukup diakses dalam genggaman. Ilmu sudah bertebaran di dunia maya dalam berbagai aplikasi dan platform, termasuk sosial media.

Sisi minusnya, saking mudahnya informasi diakses, terkadang malah berujung jadi kewalahan karena banjir informasi. Dalam dunia pendidikan, siswa tetap butuh ada "sosok" yang mampu membimbing dan membantu memilahkan informasi mana yang sesuai dan dibutuhkan.


Sinotif, Bimbel Live Interaktif yang Solutif dan Inovatif

Menjamurnya bimbel yang ada saat ini terkadang bikin orang tua seperti saya malah bingung memilih. Namun saat ini ada yang namanya Sinotif, lembaga bimbingan belajar yang berinovasi memanfaatkan perkembangan dunia digital, yakni dengan menerapkan kegiatan belajar live interaktif.

Dengan mempertahankan kegiatan belajar mengajar secara daring, maka pelajar dari mana pun bisa turut bergabung. Tidak perlu repot menunggu tatap muka, sehingga bimbel ini menjadi lebih praktis dan efisien.

Selain itu, lewat Sinotif, orang tua tidak perlu repot mengantar jemput anak karena kegiatan belajar bisa dilakukan dari rumah saja. Belajar di rumah juga membuat kekhawatiran orang tua berkurang drastis karena bisa dipantau.

Saat ini Indonesia sudah dimudahkan dengan jaringan dan koneksi internet yang sudah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Tentunya siapa pun bisa mengikuti bimbel live interaktif ini.

Sinotif bukan lembaga bimbel "kemaren sore". Bimbel ini sudah berdiri sejak tahun 2000 lalu dan tidak kurang 30 ribu lebih siswa sudah berhasil dididik selama kurun waktu 23 tahun dari berbagai jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA). Menariknya, murid-murid Sinotif bukan hanya dari Indonesia, namun juga dari luar negeri karena sedikitnya ada 13 negara yang dilayani Sinotif.

Sinotif berbeda dengan bimbel online pada umumnya. Sinotif mengedepankan keterlibatan interaktif antara murid dan pengajar, sehingga proses transfer ilmunya tidak membosankan. Komunikasinya dua arah, sehingga bisa memastikan siswa benar-benar paham dengan apa yang sedang dipelajari.

Menyambung soal kurikulum sekolah formal yang kerap berubah ubah seperti yang sudah saya singgung di awal tulisan, Sinotif rupanya cukup kompeten menangani apapun kurikulum yang dipakai siswa. Tidak hanya kurikulum yang berlaku nasional saja, namun juga kurikulum internasional.


4 Pilar Sinotif yang Efektif

Sinotif punya formula khusus dalam menghadapi keberagaman murid-murid yang dididik. Sinotif menerapkan Sinotif Learning Method yang memuat 4 pilar yang terbukti efektif memaksimalkan potensi dan kemampuan siswa, yakni :

1. Specialize

Para siswa Sinotif belajar dengan guru-guru yang ahli di bidangnya

2. Personalized

Pengajar Sinotif fokus pada kebutuhan dan target siswa

3. Systemized

Sinotif menerapkan cara belajar efektif dan efisien yang sistematis

4. Limitless

Sinotif membuka layanan belajar 24 jam untuk website e-learning dan platform tanya jawab yang bisa diakses kapan saja.

Sinotif Learning Method Sinotif menerapkan metode belajar yang sistematis dan mampu mengidentifikasi setiap kebutuhan siswa dengan tepat dan sesuai kebutuhan. Metode belajar ini terbukti mampu membantu meningkatkan nilai siswa karena siswa benar-benar menikmati setiap proses belajarnya.

Sinotif juga menawarkan layanan belajar yang privat dan eksklusif untuk mengakomodir kebutuhan siswa yang kesulitan belajar jika terlalu banyak siswa dalam kelas.

Adapun produk Sinotif Premier yang bisa dipilih yakni :

Sinotif Premier Diamond : live interactive, privat, eksklusif, dan bergaransi


Sinotif Premier Platinum : live interactive, semi privat, 3-5 siswa


Sinotif Premier Gold : live interactive, 6-15 siswa, 1 kelas 1 tingkatan


Sinotif Premier Silver : interaktif, belajar mandiri, bebas pilih kelas.

Selain Sinotif Premier, juga ada produk Sinotif Mobile untuk memfasilitasi seluruh siswa Indonesia yang ingin belajar kapan pun, di mana pun. Produk ini hadir dalam bentuk Seratus Institute—sebuah website belajar online spesialis mata pelajaran eksakta—dan Tanya Jawab Soal, sebuah website dan aplikasi tanya jawab.

***

Menurut saya, Sinotif benar-benar solusi bagi siswa dan orang tua seperti saya yang merasa membutuhkan tambahan pembelajaran di luar lembaga formal. Dengan Sinotif, tak ada lagi sekat ruang dan waktu yang bisa membatasi kegiatan belajar.

Perkembangan zaman, termasuk digitalisasi bukanlah untuk dihindari apalagi ditakuti. Sebaliknya, digitalisasi malah harus dimanfaatkan dengan maksimal, bijak, dan sebaik-baiknya karena menawarkan banyak kemudahan, termasuk dalam soal belajar mengajar.

Semoga di masa depan, tidak ada lagi siswa yang punya trauma atas jeleknya nilai yang didapat karena akses belajar yang kian dimudahkan oleh perkembangan zaman.





0




Pernah mengalami tanpa sengaja lewat dekat orang membakar sampah? Atau tak sengaja terpapar asap orang membakar sate? Bagaimana rasanya?

Napas sesak, selalu ingin batuk, mata pun berair dan memerah karena pedih. Pokoknya tidak nyaman dan buru-buru ingin pergi dari sumber asap.

Nah, seperti itulah kira-kira sensasi yang dirasakan para korban bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang memicu kabut asap. Bedanya, sensasi tidak nyaman itu berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Lebih sulitnya lagi, korban tidak bisa menghindar karena asapnya sudah tersebar merata ke seluruh kota. Tidak semudah menghindar dari orang membakar sampah atau menjauh dari si tukang sate.

Sebagai anak Sumatera Selatan, saya tidak asing dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sepanjang umur, sedikitnya dua kali saya menjadi korban kabut asap yakni tahun 2015 dan tahun 2019 silam.


Jarak pandang di kota Palembang kala itu menjadi sangat terbatas karena terhalang kabut pekat. Sekilas memang tampak seperti kabut biasa, namun kabut ini bikin sesak nafas dan mata pedih. Sekolah-sekolah diliburkan, penerbangan dibatalkan, dan helikopter pembawa balon air bersileweran setiap harinya. Di malam hari, dari kejauhan langit tampak kemerahan di lokasi-lokasi yang merupakan area kebakaran.

Ah, saat itu saya tidak sanggup kemana-mana. Lebih pilih berdiam diri di rumah dan menutup rapat semua pintu jendela. Sialnya, kabut asap rupanya juga masih bisa masuk melalui lubang ventilasi.

Kabut asap membuat kami, warga Sumatera Selatan sudah terbiasa mengenakan masker sehari-hari. Jauh sebelum era covid dimulai.


Saya dan Lahan Gambut

Masih sebagai anak Sumatera, sejak kecil saya sudah familiar dengan lahan gambut (meski saat itu masih belum tahu namanya). Alm papa dulu punya sawah dan ladang di lahan gambut. Yang khas dari lahan gambut adalah, tanah yang kita injak terasa lunak dan "membal", mirip seperti kalau kita berdiri di atas trampolin.

Setelah dewasa, tepatnya tahun 2018 lalu, saya malah berkesempatan terjun lebih jauh di dunia pergambutan. Ketika ditawari menjadi salah satu tim yang terlibat dalam project penulisan dan penyusunan Buku Profil Desa Peduli Gambut bersama Badan Restorasi Gambut (BRG).



Perkenalan langsung di lapangan dengan lahan gambut kala itu membuat saya menyadari betapa besarnya peran lahan gambut bagi bumi kita.

Rupanya "jodoh" saya dengan gambut masih berlanjut. Setelah tak lagi di lapangan dan kini menjadi fulltime ibu rumah tangga, saya kembali "berjumpa" dengan dunia pergambutan lewat online gathering bersama #EcoBloggerSquas  pada Jumat (11/8) lalu.

Bertajuk "Indonesia Merdeka dari Karhutla", ingatan saya terkait lahan gambut kembali disegarkan oleh pemaparan Kak Ola Abas dari Pantau Gambut selaku narasumber.


Lahan gambut itu bak sumur cadangan air bagi Bumi. Seperti spons, lahan gambut mampu menyerap dan menyimpan air. Daya tampung airnya mencapai 450-850% dari bobot keringnya.


Lahan gambut juga merupakan rumah bagi sejumlah flora dan fauna. Sejumlah tanaman yang hidup di lahan gambut di antaranya adalah ramin (kayu mewah untuk furnitur), pulai, jelutung, durian, getah sundi, jambuan, geronggang, dan pala. Untuk satwanya sendiri misalnya orangutan, lutung merah, macan dahan kalimantan, bangau hutan rawa, angsa sayap putih, buaya sinyulong, macan sumatera, beruang madu, dan tapir. Tak sedikit dari fauna tersebut merupakan binatang hampir punah dan/atau dilindungi.


Gambut dan Karhutla

Setiap hektar lahan gambut yang dikeringkan berarti melepaskan 55 metrik ton CO₂ tiap tahunnya, setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin. Belum lagi jika musim kemarau tiba, lahan gambut yang teksturnya berpori itu menjadi sangat mudah terbakar dan kemudian menyebar luas hingga menimbulkan bencana karhutla.

Sayangnya, sejumlah pihak masih menganggap pembakaran adalah cara paling cepat dan murah untuk membersihkan lahan. Padahal, bencana karhutla yang meluas dan tak terkendali itu bisa berawal hanya dari sepuntung rokok yang dibuang sembarangan.


Seperti yang sudah saya singgung di awal tulisan, kabut asap dari pembakaran lahan gambut sangat menganggu. Bukan hanya menganggu kesehatan, namun juga mengganggu aktivitas keseharian masyarakat. Akses pendidikan dan transportasi terganggu, dan ujung-ujungnya berimbas pada sektor perekonomian karena warga tidak bisa bekerja dengan normal.

Indonesia Merdeka Karhutla

Indonesia di tahun 2023 ini rupanya masih belum merdeka dari karhutla. Tercatat masih banyak provinsi terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang masih rentan karhutla (lihat gambar).




Memasuki musim kemarau dan El Nino (fenomena pemanasan Suhu Muka Laut/SML di atas kondisi normalnya), potensi karhutla rupanya semakin meningkat meningkat pula. Sepanjang Januari-Mei 2023 saja, tim Pantau Gambut menemukan 5.030 titik panas di 29 lokasi KHG. Dari 29 lokasi tersebut, 10 di antaranya terjadi di bulan Mei saja.

Indonesia memang belum merdeka dari Karhutla, namun Ola Abas mengatakan jika kita tidak boleh berhenti berharap. Meski masih harus menghadapi banyak tantangan, menyelamatkan lahan gambut masih bisa dilakukan.

Cara terbaik memang mencegah jangan sampai terjadi kebakaran. Sebab lahan gambut yang sudah terbakar akan susah dipadamkan kembali. Meski bisa dipadamkan dengan mobil pemadam kebakaran, tangki air, bom air dari helikopter, membuat sekat bakar, hingga Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), namun cara ini akan menghabiskan banyak sekali daya dan dana.

Dalam hal ini, menurut Ola, masyarakat umum dan perusahaan perlu diedukasi terkait bahaya pengeringan dan pembakaran lahan gambut. Tapi menurut saya, perusahaan yang lebih krusial untuk disadarkan, karena kalau edukasi pada masyarakat sudah banyak dan mudah dijalankan. Penegakan hukum bagi para pelanggar atau pelaku pembakaran juga harus lebih tegas.

Dan tentunya partisipasi masyarakat umum sendiri tetap diperlukan dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan pemantauan restorasi lahan gambut di lapangan.

Saya sendiri ambil bagian dengan apa yang saya bisa saat ini, yakni menuliskan dan meneruskan informasi ini seluas-luasnya. Dengan harapan bisa membangkitkan awareness masyarakat terkait nasib lahan gambut kita.

Mari, di bulan kemerdekaan ini kita jaga lahan gambut kita untuk masa depan. Ingat, Bumi kita juga milik generasi setelah kita. Yuk sebarkan informasi ini pada circle-mu, bergabung dengan kegiatan atau komunitas pecinta lingkungan seperti di Team Up For Impact.
1



ASUS ROG Phone 7 Series hadir dalam balutan warna hitam dan putih


Sejak hamil hingga menjadi ibu menyusui saat ini, praktis opsi hiburan saya berkurang. Kalau dulu saya dan suami bisa leluasa
staycation, nongkrong di café, sampai traveling buat healing, sekarang sudah tak begitu lagi. Alhasil, gawai menjadi pelarian favorit karena selalu ada dalam genggaman. Belakangan saya juga akhirnya install game Plants vs Zombie agar semakin banyak opsi hiburan di hape.

Niat hati sih install game-game lain yang lebih seru, apa daya keterbatasan memori handphone saya nggak mendukung 😅 Makanya, saya seneng banget begitu denger kabar ASUS ROG Phone 7 Series mau segera rilis di Indonesia.

Sebagai ibu menyusui dengan sepasang putri kembar yang baru berusia 3 bulan, lingkup aktivitas saya biasanya berputar-putar di antara rumah, gereja, dan rumah sakit. Yah, ditambah sesekali ke pasar/minimarket buat belanja dan ke café saat udah terlalu suntuk. Sisanya, saya lakukan di rumah. Dari kerjaan-kerjaan freelance, bikin konten, nonton, scroll media sosial, sampai main game.

Baca-baca info dan speknya, ASUS ROG Phone 7 Series bakal jadi ponsel gaming dengan performa tanpa kompromi! Itu artinya, fitur-fitur lain dari smartphone ini juga akan mumpuni. Emang ada apa aja yang ditawarkan?

2



Di dusun orang tua saya, di salah satu desa di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, kusta (atau dikenal juga dengan lepra) masih dianggap sebagai tulah atau penyakit kutukan juga guna-guna. Penderitanya sering dijauhi, dikucilkan, atau malah diisolasi keluarganya sendiri karena malu. Tidak heran jika penderita kusta yang ada malah jadi enggan berobat akibat masih suburnya stigma negatif yang berkembang di masyarakat.

Stigma negatif terhadap penyakit kusta ini tidak boleh dibiarkan. Menurut data WHO, Indonesia saat ini menempati peringkat ketiga kasus kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil. Total penderitanya mencapai 18.000 kasus.

Padahal, kusta bukanlah jenis penyakit yang menular dengan mudah. Kusta tidak bisa ditularkan lewat jabat tangan, berpelukan, duduk bersebelahan, bahkan tidak menular antara ibu dan bayi lewat persalinan.

Butuh waktu untuk kusta dapat menular karena masa inkubasinya tidak sebentar. Juga butuh bersinggungan dengan penderita secara intens untuk bisa menular. Sehingga, seharusnya masyarakat tidaklah perlu mengucilkan penderita dengan alasan takut tertular.


Untuk memerangi stigma negatif kusta di masyarakat agar penderitanya tidak terus bertambah akibat enggan berobat, perlu keterlibatan semua pihak untuk bekerja sama. Salah satunya seperti yang belum lama ini dilakukan NLR (No Leprosy Remains) yakni dengan menggelar roadshow di Slawi, Tegal, dan Cirebon. Roadshow tersebut terselenggara pada awal Juni 2023 lalu dengan menggandeng BABINSA (Bintara Pembina Desa) dan ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga).






Saya mengetahui informasi ini setelah menyimak live show bertajuk "Gaung Kusta Bersama Babinsa dan PKK) di Ruang Publik KBR (Kantor Berita Radio) lewat siaran langsung di Youtube pada 14 Juni 2023 lalu. Hadir sebagai narasumber, Kapten Inf. Shokib Setiadi (Pasiter Kodim 0712/Tegal) dan Ibu Elly Novita, S.KM, MM (Wakil Ketua Pokja 4, TP PKK Kabupaten Tegal) yang kemudian banyak berbagi cerita terkait peranan pihaknya dalam memerangi stigma penyakit kusta di masyarakat.

Anggota Babinsa dan PKK adalah garda terdepan yang banyak berinteraksi langsung dengan masyarakat. Mereka telah mendapat edukasi dan penyuluhan seputar kusta dalam roadshow yang digelar NLR sehingga bisa meneruskan informasinya kepada masyarakat di wilayah masing-masing.

Pak Shokib Setiadi menyatakan pihaknya menyambut baik adanya roadshow leprosy tersebut. "Roadshow tersebut menjadi bahan edukasi tim untuk nanti diteruskan melalui penyuluhan dan pendampingan ke masyarakat," kata Shokib.

Babinsa sebagai perangkat keamanan di desa-desa memang punya kewajiban menjaga kondisi di desanya masing-masing termasuk dari bahaya penyakit menular. Dalam hal ini, babinsa punya kesempatan lebih dalam mengedukasi masyarakat terkait penyakit kusta. Termasuk meluruskan kesalahpahaman atau stigma negatif yang terlanjur beredar di masyarakat.

Shokib menambahkan, sebagai wujud komitmen Babinsa untuk NLR Indonesia, pihaknya juga rutin menggelar komunikasi sosial sebagai wadah diskusi dengan warga. "Harapannya jika warga sudah terbiasa ngobrol bersama kami, nantinya warga akan lebih terbuka. Sehingga keluhan-keluhan akan gejala penyakit kusta bisa diketahui lebih awal sebelum menjadi lebih parah," jelas Shokib.

Tidak hanya itu, Babinsa menurut Shokib juga masih konsisten menggelar kegiatan-kegiatan lintas sektoral yang membahas berbagai aspek di wilayahnya, dari politik hingga kesehatan. Dengan demikian, Babinsa juga punya wewenang untuk menggandeng tenaga kesehatan untuk melakukan edukasi langsung di masyarakat.

Sementara itu Ibu Elly Novita, S.KM, MM selaku Wakil Ketua Pokja 4, TP PKK Kabupaten Tegal menyoroti akibat buruk stigma negatif tentang kusta di masyarakat. Penderita menjadi takut dan malu untuk berobat sehingga malah mempertinggi tingkat penularan.

Padahal, dijelaskan Elly, jika sudah memiliki tanda-tanda penyakit kusta, penderita harus segera melaporkan diri ke puskesmas tedekat untuk mendapat penanganan. Jika betul terkonfirmasi kusta, maka keluarga yang tinggal serumah dan tetangga terdekat bisa turut mendapatkan obat untuk mencegah penularan.

Dikatakan Elly, meski ibu-ibu PKK punya kesempatan lebih untuk mengedukasi masyarakat terkait kusta karena langsung bersinggungan dengan masyarakat, pihaknya berharap tokoh-tokoh masyarakat seperti pamong desa dan pemuka agama bisa turut ambil bagian dalam memerangi kusta ini. "Tokoh masyarakat, pamong desa atau pemuka agama adalah sosok yang dihormati di masyarakat. Suara mereka cenderung lebih didengar. Akan sangat membantu jika ada keterlibatan tokoh-tokoh ini dalam mengedukasi warga," kata Elly.

Saya tidak tahu apakah roadshow yang penuh edukasi dan penyuluhan ini dilakukan di wilayah lain atau tidak. Namun saya pribadi berharap, roadshow semacam ini bisa dilakukan merata di daerah-daerah lain di Indonesia. Termasuk di dusun orang tua saya di Banyuasin dan tidak hanya mencakup wilayah pulau Jawa saja.

Dengan demikian, pemahaman terkait kusta ini bisa menjangkau lebih banyak masyarakat. Semakin masyarkat tahu dan teredukasi, tentunya diharapkan bisa turut menurunkan bahkan menghapuskan kasus kusta di Indonesia dan menjadikan negeri ini bebas kusta sepenuhnya.
0


Aku di Hutan Bengkulu

Lahir, besar, dan menghabiskan lebih dari separuh hidupku di Provinsi Bengkulu membuatku cukup akrab dengan hutan. Tidak heran, karena Provinsi di pesisir Selatan ini 43% wilayahnya adalah hutan.

Komoditas hutan Bengkulu yang paling mudah dinikmati langsung adalah durian. Aku sampai dapat julukan "hantu durian" oleh teman-temanku saking nge-fansnya sama buah satu ini. Rekor terbaikku adalah menghabiskan durian sebanyak satu karung ukuran beras 20 kg dalam waktu sehari semalam 🤣

Aku dan Durian

Setelah kemudian pindah ke Palembang, Jogja, dan sekarang akhirnya menetap di Bandung, aku masih merindukan masa-masa berburu durian di Bengkulu. Aku sungguh rindu menikmati durian yang baru jatuh dari pohon langsung di kebunnya. Dengan hanya membayar sekian puluh ribu rupiah saja, boleh makan sepuasnya selama tidak dibawa pulang.

Siapa yang menyangka, kegilaanku terhadap durian itu rupanya berpengaruh terhadap mitigasi perubahan iklim. Lho, kok bisa?

Dalam online gathering bareng #EcoBloggerSquad akhir Mei lalu bertajuk “Peran Komunitas untuk Menjaga Hutan dalam Mitigasi Perubahan Iklim", saya baru tahu kalau pohon durian dapat menyerap karbondioksida (CO2) dan mengurangi efek rumah kaca. Satu pohon durian bisa menyerap sekitar 1,42 ton CO2 setiap tahunnya. Bayangkan, ada berapa ribu pohon durian di hutan-hutan Bengkulu?

Rajin mengonsumsi dan membeli durian berarti turut menjaga kelangsungan pohon-pohon tersebut. Bapak Nasiun dari Desa Air Tenam, Bengkulu Selatan bahkan saat ini masih setia menjaga pohon-pohon durian di desanya yang totalnya mencapai 1677 hektar. Wow!

Hutan dan Perubahan Iklim

Pemanasan global dan perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Sudah dan sedang terjadi saat ini di seluruh belahan Bumi, termasuk di Indonesia. Pasti kita semua sudah mulai merasakannya, mulai dari cuaca yang makin labil, badai lebih hebat, air makin langka dan kekeringan semakin sering, sampai mulai banyaknya penyakit yang aneh-aneh.

Salah satu upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim ini adalah dengan menjaga kelestarian hutan. Indonesia sebetulnya negara dengan jumlah luas hutan yang tidak sedikit, bahkan menjadi nomor tiga sedunia. Totalnya mencapai 125,76 juta hektare (ha) pada 2022.

Sayangnya, seperti yang disampaikan Manager Program Hutan Itu Indonesia, Christian Natalie, Indonesia juga menjadi negara dengan laju kerusakan hutan paling cepat sedunia. "Indonesia tercatat di World Guinness Book of Records sebagai negara dengan tingkat laju kerusakan tercepat nomor satu di dunia. Dalam lima tahun terakhir saja, Papua telah kehilangan hutannya seluas 3,5 kali pulau Bali,” ujarnya.

Duh, sayang sekali ya? Padahal tidak sedikit masyarakat kita yang menggantungkan hidup dari keberadaan hutan. Belum lagi kalau bicara soal keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan Indonesia. Tak terhitung flora dan fauna langka yang menjadikan hutan Indonesia sebagai habitat alaminya, seperti bunga rafflesia arnoldi misalnya.

Kalau terus-terusan dirusak oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri, bukan cuma mengancam kehidupan di sekitar hutan saja, tapi juga seluruh Indonesia bahkan dunia karena dampak perubahan iklim tak lagi bisa dikendalikan.

Langkah Kecilku, Untukmu Bumiku

Terkadang sudah muncul kesadaran dan kepedulian akan nasib Bumi di dalam diri. Sudah ingin berbuat sesuatu agar dampak perubahan iklim bisa teratasi. Sayangnya, kesadaran tersebut kadang terhenti hanya sebatas niat karena merasa tidak punya cukup power untuk memperbaiki kerusakan yang sudah sangat masif.

Namun, terkait menyelamatkan bumi sebetulnya tidak melulu bicara hal-hal besar kok. Untuk masyarakat awam dan "orang biasa" seperti kita, tidak perlu langsung mereboisasi sekian ribu hektare hutan atau menjadi aktivis peduli lingkungan.

Banyak hal lain berupa langkah-langkah kecil sederhana yang bisa dilakukan siapa saja untuk menyelamatkan Bumi kita. Saya sendiri sudah memulainya dari rumah. Sesimpel mematikan lampu yang tidak dipakai, memilah sampah, menghemat penggunaan air, membawa tumblr air minum sendiri, atau membawa tas kain sendiri saat berbelanja.


Belakangan, saya juga rajin memanfaatkan sampah kemasan plastik dari pemakaian sehari-hari, menjadi media pot untuk tanaman. Lumayan lho hasilnya, saya jadi tidak perlu membeli cabai, tomat, atau bumbu-bumbu perdapuran lainnya karena cukup memetiknya dari halaman rumah.

Nah, kalau kalian, punya langkah apa saja untuk menyelamatkan Bumi kita? Share di kolom komentar dong!

1

Peran masyarakat adat, selamatkan bumi yang sekarat



Perkenalan saya dengan sebuah komunitas adat adalah sekian tahun lalu saat masih menjadi jurnalis di sebuah koran lokal di Bengkulu. Tepatnya ketika berkunjung ke Desa Sungai Lisai di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Jika saya tidak keliru, saat ini desa tersebut sedang diperjuangkan statusnya untuk menjadi desa adat atau Komunitas Adat Terpencil (KAT).

Selebihnya, pengetahuan saya tentang masyarakat adat sangatlah minim. Hanya sebatas memahami bahwa mereka adalah sekumpulan masyarakat asli suatu daerah yang mempertahankan gaya hidup berdampingan dengan alam.

Namun rupanya saya salah. Masyarakat adat rupanya memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kelestarian alam. Di saat masyarakat lain di seluruh dunia seolah berlomba-lomba merusak dan mengeksploitasi, masyarakat adat khususnya yang ada di Indonesia tengah berjuang menyelamatkan bumi yang kian sekarat.

Hal tersebut baru saya pahami ketika mengikuti mengikuti Online Gathering #1 Eco Blogger Squad bertajuk "Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Menjaga Bumi." Dalam agenda tersebut, turut hadir Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi sebagai narasumber.

Lalu, apa dan bagaimana masyarakat adat itu sendiri?

Menurut Rukka, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat secara geneologis yang secara teritorial menyejarah, turun temurun lintas generasi. Measyarakat tersebut punya ikatan budaya sama dan ikatan batin kuat terkait suatu ruang geografis tertentu sebagai rumah mereka.

Rumah itulah yang kemudian dijaga, dirawat, dikelola, dan kuasai dari generasi ke generasi sebagai wilayah kehidupan dari leluhurnya.

Menariknya, Masyarakat adat rupanya tidak sekadar merasa punya ikatan dengan sesama manusia, namun juga dengan alam dan segala makhluk di dalamnya. Bahkan, bukan cuma terbatas hewan atau tumbuhan saja, namun juga termasuk "makhluk" yang tak kasat mata.

Sayangnya, kehidupan masyarakat adat yang perannya sangat lekat dengan alam, rupanya menghadapi banyak tantangan. Terutama dengan banyaknya pihak yang justru merusak alam dengan dalih pembangunan wilayah atau pembukaan lahan untuk tujuan komersil.

"Sampai sekarang banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat adat yang berurusan dengan hukum. Padahal mereka hanya mempertahankan rumah mereka, mempertahankan apa yang sudah dijaga leluhur mereka selama ini," ujar Rukka.

Tidak adanya payung hukum terkait hak-hak masyarakat adat membuat situasi dirasa genting untuk keberlangsungan alam juga masyarakat adat itu sendiri yang hidupnya sangat bergantung dengan kelestarian alam. Terlebih, jika sudah berhadapan dengan hukum melawan pihak-pihak swasta.

Dua contoh kasus yang disebut Rukka di antaranya adalah kasus Masyarakat Adat Sabuai (Maluku) yang harus puas dengan vonis hukuman pelaku penebangan liar di tanah adatnya yang hanya 2 tahun saja. Begitu pula dengan Masyarakat Adat Kinipan (Lamandau) yang hutan adatnya dirusak perusahaan sawit. Mereka malah berakhir dipolisikan ketika menggelar aksi protes demi membela haknya.

Padahal, dengan banyaknya jasa masyarakat Indonesia untuk pelestarian alam di bumi pertiwi, sudah selayaknya semua lapisan masyarakat dan tentunya pemerintah untuk mendukung dan membela hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya adalah dengan segera #SahkanRUUMasyarakatAdat.

Entah mengapa, RUU Masyarakat Adat yang sebenarnya sudah mulai dibahas sejak Prolegnas DPR RI 2009-2014 lalu, hingga saat ini belum jelas kelanjutannya.

Sementara itu, UU Cipta Kerja yang memudahkan perusahaan (termasuk perusahaan sawit) berinvestasi di berbagai wilayah Indonesia justru sudah disahkan. Hal ini membuat RUU Masyarakat Adat semakin bersifat urgent untuk disahkan.

Mengesahkan RUU Masyarakat Adat , lanjut Rukka, berarti menyelamatkan Indonesia dari berbagai hal yang merugikan, seperti perusakan lingkungan. "Sudah lebih dari satu dekade RUU ini mengendap di DPR, perlu segera ditindaklanjuti agar setiap warga negara Indonesia memperoleh haknya secara utuh," pungkas Rukka.
0

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...