Menu




Jelang COP 30, Amazon & Zamrud Khatulistiwa Dua Paru-Paru yang Sesak


Bumi terus memanas. Data World Meteorological Organization (WMO) mencatat, ambang batas kenaikan rata-rata suhu global 1,5°C sudah terjadi di tahun 2024 lalu. Kenaikan ini bukan cuma sebatas angka dalam laporan ilmiah, namun benar sudah terjadi nyata di kehidupan kita.

Lihat saja di sekeliling kita sekarang. Serangan gelombang panas terjadi lebih sering di berbagai belahan bumi, cuaca semakin ekstrem, permukaan air laut meninggi, musim kian tak terprediksi, luasan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melonjak, yang tentunya berujung pada ancaman krisis pangan karena petani jadi kesulitan menentukan masa tanam yang tepat.

Krisis iklim bukan omong kosong, namun sudah dan sedang terjadi. Perlu upaya serius untuk menangani dan bukan hanya sekadar wacana.

Perjuangan mengatasi krisis iklim ini salah satunya dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam COP30. COP adalah Konferensi Para Pihak yang merupakan pertemuan tahunan badan pengambil keputusan utama di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim. Tahun ini, COP ke-30 akan diadakan di Belem, Brasil pada 10-21 November 2025. Konferensi ini akan berfokus pada negosiasi dan penyusunan solusi bersama untuk mengatasi krisis iklim global. Selain itu, akan jadi kesempatan bagi banyak negara untuk memperbarui dan meningkatkan target aksi iklim nasional mereka.

Peserta zoom meeting, termasuk EBS

Hal ini yang tergambar dalam webinar via zoom yang saya hadiri bersama rekan-rekan Eco Blogger Squad (EBS) belum lama ini. Kami bersama ratusan peserta lain lintas negara fokus menyimak penjelasan dari beberapa narasumber yang dihadirkan, yakni Cinthia Leone- Climate Diplomacy Coordinator, ClimaInfo & GSCC Brazil ; Thais Lazzeri - Founder and director of FALA - Impact Studio ; Rafael de Pino, Journalist & Project Manager focused on Information Integrity dan Laila Zaid - Communicator and influencer on sustainability and climate; CEO of Cuica, a climate communications agency.

Amazon dan Zamrud Khatulistiwa, Dua Paru-Paru Dunia Melawan Krisis yang Sama

Monyet Uakari Amazon dan Orang Utan Kalimantan

Meski COP 30 berlangsung jauh di Amerika Selatan sana, pertemuan tersebut tidak hanya relevan bagi Brasil selaku tuan rumah dan negara-negara maju saja. Indonesia adalah negara yang punya dampak terkait perubahan iklim, dengan risiko meningkat pesat jika tidak diimbangi dengan kebijakan dan kesadaran masyarakat luas.

Brasil dan Indonesia sebagai 2 paru-paru dunia tentunya terkait satu sama lain. Brazil dengan jantung amazonnya, Indonesia dengan hutan Sumatera, Kalimantan, dan Papua sebagai Zamrud Khatulistiwa sama-sama menyimpan harta karun keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Namun sayangnya, dua paru-paru dunia produsen oksigen dan penyerap karbon terbesar ini tengah dilanda sesak. Saat ini kedua negara menghadapi masalah yang sama, yakni deforestasi dan degradasi lahan. Brasil banyak menghadapi masalah karena hutan yang berubah jadi peternakan sapi, sementara Indonesia banyak luasan hutan yang berganti jadi kebun sawit.

Brasil dan Indonesia seperti terjebak dalam dua jurang : kebutuhan ekonomi dan kelestarian alam. Kedua negara butuh solusi dan kebijakan real berlandaskan keberlanjutan, agar tekanan industri dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi tidak harus mengorbankan alam yang sudah semakin rusak.


Hoax dan Disinformasi Iklim Sebagai Tantangan Ganda

Jutaan dollar digelontorkan hanya untuk hoax

Selain masalah real perubahan iklim di lapangan, rupanya dunia juga masih harus menghadapi tantangan ganda, yakni hoax dan disinformasi iklim. Laporan OiiClimate tahun 2024 menyebutkan bahwa ada lebih dari US$13,4 juta digunakan untuk menyebarkan kampanye hoax dan disinformasi terkait perubahan iklim di berbagai platform digital.

Di Brasil, ada muncul narasi bahwa isu perubahan iklim hanya “strategi negara maju untuk menghambat pembangunan negara berkembang.” Terdengar familiar bukan? Di Indonesia, kita juga sering melihat pernyataan serupa di media sosial — seolah-olah isu lingkungan hanyalah alat politik atau agenda asing. Lebih parah lagi, tidak sedikit yang membuat kampanye hijau palsu sehingga malah menghambat praktik keberlanjutan.


Langkah Nyata Dimulai dari Hal Sederhana


Bicara COP 30 dan dampak perubahan iklim kadang memang terasa begitu jauh dan besar untuk masyarakat awam seperti kita. Namun sebetulnya, kita bisa terlibat juga memperjuangkan nasib bumi melalui langkah-langkah sederhana.

Berikut hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang ;


• Mengurangi penggunaan plastik dan barang sekali pakai

• Hemat energi dan air di rumah

• Memilah dan membuang sampah pada tempatnya

• Pilih angkutan umum dan kurangi penggunaan kendaraan pribadi

• Gunakan sosial media dengan bijak, check sumber berita sebelum menyebarkan informasi terkait iklim


Konferensi COP30 akan jadi ajang dunia memperbaharui komitmen terhadap perubahan iklim. Namun bagi negara seperti Brasil dan Indonesia, momen ini akan menjadi lebih dari urusan diplomatik. Ini perkara keberanian menyelaraskan pembangunan dengan keberlanjutan.

Dan untuk kita, masyarakat awam pada umumnya, krisis iklim memang suatu masalah besar. Namun sama sekali bukan alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Tidak perlu menunggu pertemuan tingkat dunia seperti COP30 atau kebijakan pemerintah.

Bumi sedang berubah dan sudah dalam perjalanan menuju musnah. Daripada menunggu orang lain, mari lakukan bagian kita. Dimulai dari hal-hal sederhana, dimulai dari diri sendiri dan mengedukasi orang dekat kita, dan dimulai dari sekarang. Langkah kecil kita akan memperpanjang umur bumi di masa depan.

Mulai bergerak selamatkan bumi dari sekarang!

0


Cara Mengatasi Mata Kering Tanpa Ke Dokter (kucingdomestik.com) 


Belakangan saya sibuk cari cara mengatasi mata kering, kalau bisa ya yang tidak perlu sampai ke dokter. Maklumlah, tugas dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga dengan dua balita kembar bikin saya kurang leluasa meninggalkan rumah.

Mata kering atau dry eye syndrome ini memang mengganggu sekali. Apalagi sejak menikah dan punya anak, intensitasnya terasa makin meningkat dibanding waktu single. Wajar sih, faktor usia dan perubahan hormon rupanya jadi salah satu penyebab produksi air mata berkurang sehingga bikin mata kering. 

Selain itu, kebiasaan pakai gadget saat menulis blog, scroll sosmed, atau nonton drakor rupanya juga bikin mata saya kering. Belum lagi faktor terpapar udara kering karena AC dan kipas angin di rumah yang nyaris tidak pernah mati.

Meski terkesan sepele, mata kering tidak boleh dibiarkan begitu saja. Bisa bikin komplikasi serius seperti kerusakan kornea, infeksi mata, ulkus kornea, konjungtivitis, keratiria, juga gangguan penglihatan. Tentunya ini akan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan bikin kualitas hidup menurun. So, #MataKeringJanganSepelein lagi ya, gaes!

Well, setelah banyak cari info ke sana kemari, akhirnya saya menemukan solusi untuk masalah mata kering yang bakal diulas di postingan ini.

Berikut cara mengatasi mata kering tanpa ke dokter A la Mommy Twins :


Istirahatkan Mata
Mata perlu beristirahat, terutama jika intens menggunakan gadget. Saya biasa pakai rumus 20/20/20 untuk mengistirahatkan mata, yakni lihat suatu objek sejauh 20 kaki selama 20 detik setiap 20 menit sekali.

Pijat dan Kompres Mata
Pijat lembut kelopak mata setiap kali merasa lelah. Mengompres mata dengan kain basah yang hangat kira-kira 5-10 menit juga bisa meredakan gejala mata kering.

Gunakan Produk Air Mata Buatan
Menggunakan produk pengganti air mata adalah solusi praktis yang paling efektif. Penting banget sih menyetok produknya agar bisa digunakan sewaktu-waktu, kapan pun diperlukan.

Saya sendiri ternyata cocok banget pakai INSTO DRY EYES


Insto Dry Eyes, Solusi Mengatasi Mata Kering

Insto Dry Eyes New Packaging (kucingdomestik.com) 

Insto udah lama jadi top of mind “obat tetes mata”. Tapi ternyata ada varian yang ampuh banget jadi solusi mengatasi mata kering, yakni #InstoDryEyes .

Waktu beli di minimarket dekat rumah kapan hari, aku tertarik banget karena ternyata Insto Dry Eyes sekarang punya kemasan baru. Desainnya lebih simpel dengan warna biru yang adem, tapi malah jadi eyecatching banget.

Satu kemasan Insto Dry Eyes 7,5 ml mengandung bahan aktif hydroxypropyl methylcellulose 3.0 mg yang berfungsi memberikan efek pelumas seperti air mata. Cukup pakai 1-2 tetes saja untuk setiap mata, gejala mata kering seperti sepet, perih dan lelah pun langsung teratasi. 

Insto Dry Eyes betul-betul jadi cara andalan saya mengatasi mata kering tanpa harus repot-repot pergi ke dokter. Terlebih harganya sangat terjangkau (hanya belasan ribu rupiah saja), tidak hanya bikin mata sehat, tapi kantong juga.

Insto Dry Eyes

Kemasan mungilnya yang praktis juga bikin Insto Dry Eyes mudah disimpan atau dibawa kemana-mana. Saya biasanya stok beberapa untuk disebar di beberapa tempat strategis seperti kotak P3K, pouch obat dan skincare anak, kantong tas, juga di meja laptop. Yang terakhir disebut itu wajib, soalnya biasanya jadi mager kemana-mana kalau sudah marathon nonton drakor.

Nah, itu tadi cara mengatasi mata kering tanpa harus ke dokter a la saya, si mommy twins. Kalian, para pembaca, ada yang punya pengalaman tentang mata kering juga nggak? Sharing yuk tentang cara mengatasinya di kolom komentar!

0

Teknik Pewarnaan Alami Ala Suku Dayak Iban dan Cinta Bumi Artisant (kucingdomestik.com) 

Teknik pewarnaan alami untuk kain selalu memiliki keunikan tersendiri. Menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan, teknik pewarnaan ini kerap menghasilkan warna-warna khas. Meski menggunakan bahan-bahan yang murah karena biasanya langsung didapat dari alam, namun warna yang dihasilkan biasanya sangat awet, tidak mudah pudar, dan sudah pasti tidak merusak kain.

Keunikan lainnya, teknik pewarnaan alami pada kain biasanya memiliki koneksi budaya. Prosesnya kerap terhubung dengan ritual dan tradisi ritual tertentu yang sudah diwariskan turun temurun lintas generasi dalam waktu lama. Seperti yang terjadi pada pembuatan kain tenun ikat khas suku Dayak Iban.

Margareta Mala & Komunitas Tenun Endo Segado

Saya beruntung bisa bertemu secara virtual dengan Margareta Mala dari Komunitas Tenun Endo Segado lewat gathering online Eco Blogger Squad bertajuk “Upcycling Waste into Wearable Art” akhir Februari lalu. Perempuan Dayak Iban asli yang disapa Kak Mala ini berkisah tentang pembuatan kain tenun ikat yang seluruh prosesnya menggunakan bahan-bahan yang diambil langsung dari alam. 

Tenun Ikat Dayak Iban : Antara Tradisi Warisan, Pelestarian Alam, dan Pemberdayaan Perempuan


Membuat tenun ikat Dayak Iban tidak bisa sembarangan karena menyangkut sebuah tradisi dan warisan kebudayaan turun temurun. Helai demi helai benang yang ditenun diwarnai dengan pewarna alami yang umumnya berasal dari bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, akar, juga kulit pohon. Biasanya masyarakat menggunakan rengat padi, mengkudu akar, juga engkerabai. Tumbuhan tersebut diambil langsung dari hutan atau kebun  dan pekarangan milik warga setempat. 

Sebelum menenun, ada proses yang harus wajib dilalui, yakni “Nakar”. Nakar adalah suatu proses perminyakan, yaitu proses pemberian lemak dan protein pada benang yang bertujuan untuk mengikat warna pada kain, sehingga warna yang dihasilkan akan awet dan tidak mudah pudar. Saking awetnya, kain tenun ikat Dayak Iban bisa tahan hingga lintas generasi.

Nakar lebih dari sekadar proses pembuatan kain biasa. Nakar bagi suku Dayak Iban adalah sebuah prosesi sakral yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Berikut hal-hal menarik dari prosesi Nakar :

1. Bahan ramuan yang digunakan dulunya berasal dari hewan seperti lemak ular, ikan, atau ayam. Namun karena makin sulit didapat, saat ini masyarakat lebih memanfaatkan tumbuhan seperti kelapa, kepahiang (kepayang), kayu pohon jangau dan sejumlah biji-bijian. 

2. Pencampur ramuan adalah perempuan lanjut usia (lebih dari 60
3. Terlarang dilakukan di dalam rumah, harus di luar rumah

4. Perempuan hamil dan menstruasi tidak boleh melakukan prosesi Nakar

5. Tidak boleh dilakukan saat ada kematian, dipercaya akan membuat benang mudah putus dan rapuh

6. Benang yang sudah melalui proses Nakar harus masuk ke Rumah Betang dengan penjagaan sepanjang malam

Lebih lanjut tentang proses pembuatan kain tenun ikat Dayak Iban, bisa dilihat pada gambar berikut :


Kak Mala menjelaskan, rumitnya pembuatan tenun ikat tersebut membuat generasi muda banyak yang enggan meneruskannya karena dianggap ribet. Namun tenun ikat Dayak Iban lebih dari sekadar kain. Meneruskan proses pembuatannya berarti sama dengan melestarikan warisan budaya tak ternilai dari leluhur. Meneruskan proses pembuatannya berarti berkontribusi pada kelestarian alam karena sama sekali tidak mencemari atau merusak bumi dalam setiap prosesnya. 

Untuk itulah, saat ini komunitas Kak Mala berjuang agar asset budaya kebanggaan sukunya ini tak punah oleh zaman. Para perempuan diberdayakan agar tak hanya berfokus pada pembuatan, namun juga belajar meningkatkan kualitas kain tenun, pengembangan kerajinan tangan berbahan dasar kain, termasuk juga teknis pemasarannya. 

Kain tenun ikat Dayak Iban tidak bisa dibeli karena masyarakat tak menjualnya. Bagi siapapun yang ingin memiliki, mereka harus pakai istilah "adopsi". Sebab merka akan mendapat lebih dari sekadar kain, namun juga kisah berharga, filosofi bernilai, dan warisan budaya turun temurun. 


Fashion Kekinian Berkelanjutan Bersama Cinta Bumi Artisant

Masih di online gathering #EcoBloggerSquad yang sama, sewaktu melihat contoh kain dan produk fashion yang “dipamerkan” oleh Novieta Tourisia, Founder Cinta Bumi Artisant (CBA) dalam slide-nya, saya sempat bengong tak percaya kalau semua itu dibuat dari pewarna alami. Sebab di mata saya, tampilannya begitu artsy dan kekinian banget. Jauh dari kesan kuno yang boring. 

Bermarkas di Ubud, Bali, CBA telah memproduksi banyak barang fashion dengan konsep berkelanjutan. Bahan bakunya kebanyakan adalah limbah fashion yang disulap menjadi barang-barang baru. Proses pewarnaan produk-produk seperti pakaian, aksesoris, dan tas dibuat menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. 

Menurut Novieta, ada banyak sekali bahan alami yang bisa dibuat pewarna. Tidak hanya terbatas pada warna-warna Bumi yang netral, namun warna "cewek kue" seperti pink pun bisa dihasilkan "hanya" dari biji alpukat. Wow, mind blowing banget, bukan. 

"Dedaunan, akar, bunga-bunga, hingga sampah dapur seperti kulit bawang dan biji alpukat pun bisa dipakai jadi pewarna alami," kata Novieta. 

Salah satu teknik yang dipakai dan cukup mudah pembuatannya adalah ecoprinting. Ecoprint merupakan sebuah teknik cetak yang menggunakan bahan-bahan organik untuk menghasilkan pola pada kain (atau bahan lainnya). Karena bahan yang dipakai organik dan bebas bahan sintetis berbahaya, sudah pasti teknik ini ramah lingkungan. 



Part paling seru adalah ketika saya dan rekan-rekan EBSquad berkesempatan praktik ecoprint bareng Kak Novieta langsung karena sudah dikirimi Dye Kit dari CBA beberapa hari sebelumnya. 

Sayang, karena keterbatasan peralatan, saya masih terkendala praktik. Tapi di sini saya akan share step by step-nya dengan lengkap :

Proses pembuatan tote bag ecoprint

1

Memberi Kesempatan Kedua - Kucingdomestik


Di usia dewasa yang cukup matang ini, aku banyak memberikan kesempatan kedua pada sejumlah bahan makanan yang telah lama di-blacklist oleh lidah bocahku. Kebanyakan adalah sayuran bercita rasa pahit : Pete, pare, daun pepaya, sawi pahit, juga terong dengan segala keturunannya. Waktu kecil dulu, jika melihat semua itu terhidang di meja makan, aku akan mengembalikan lagi piring yang sudah diambil ke raknya. Nafsu makanku auto menguap seketika.

Entahlah, lidah bocahku sepertinya trauma sekali, sampai memutuskan tidak mau menyentuh sama sekali hingga bertahun-tahun-tahun ke depan. Namun belakangan, aku yang tahu-tahu sudah dewasa ini memutuskan memberi kesempatan kedua. Dengan mencicip kembali semua menu masakan yang tadinya kubenci itu. Aku berusaha memberikan penilaian se-objektif mungkin.

Pete atau petai adalah yang “beruntung” untuk dicoba pertama kalinya. Aku lupa kapan persisnya atau dimana lokasinya, namun aku ingat butir-butir hijau petai tampak sangat menggoda di antara potongan seafood di nasi goreng yang kupesan. Aku sempat berkonflik batin, antara mencicipi atau menyingkirkannya satu per satu ke tepi piring seperti biasa.

Namun sebuah kekuatan maha dahsyat seolah memaksaku menjejalkan petai itu ke dalam mulut. Aku ingin, namun masih takut. Jadi setengah butir petai itu kubelah lagi jadi potongan lebih kecil… Dengan harapan, jika rasanya masih tidak enak aku tidak akan “tersiksa” berlama-lama.

Surprisingly, aku menyukainya!

Rasa pete masih sama pahit dan anehnya dengan ingatan masa kecilku. Tapi sepertinya lidahku punya kapasitas penerimaan lebih baik. Rasa pahit petai rupanya mampu berpadu lezat dengan gurih dan pedasnya nasi goreng seafood.

Aku sampai menyesal sendiri, kemana saja aku belasan tahun terakhir sampai tidak tahu kalau petai ternyata seenak itu! Aku belum bisa makan petai mentah. Cita rasa terbaiknya menurutku adalah jika dimasak (tumis/goreng/bakar) sebentar hingga agak layu. Favoritku sekarang jika disambal bersama udang atau dicampur dengan nasi goreng.

Tak lama, aku merasakan sensasi yang sama dengan sawi pahit. Meski tidak serta merta jadi favorit, tumis sawi pahit tak lagi jadi musuh yang kuhindari. Sebaliknya, dia akan jadi teman menghabiskan nasi jika disandingkan ikan asin (atau tempe dan ayam goreng) dengan sambal terasi super pedas.

Sayangnya, tetap ada yang tidak berjalan baik meski sudah berkali-kali diberi kesempatan. Mau dicoba sebanyak apapun, baik dengan menu dan teknik masak yang berbeda… aku masih belum. bisa menerima pare dan daun pepaya. Meski sama-sama pahit, tipe pahit dia sayuran ini berbeda. Terlalu pekat (?) hingga tak bisa diterima lidahku.

Tapi setidaknya, saat ini aku bisa menghindari atau menyingkirkan pare dan daun pepaya dengan perasaan lebih lega. Pada dasarnya memang… ga cocok saja denganku mungkin.

Yang paling aneh itu hubunganku dengan berbagai jenis terong (dan semua turunannya –takokak/leunca, dll). Aku sadar bahwa aku selama ini memusuhi terong bukan karena rasanya, melainkan karena teksturnya. Aku tidak tahu ada hubungannya dengan otak ADHDku yang rentan overstimulated, tapi aku merasa tekstur bjji-biji terong itu bikin aku kegelian ga nyaman. Sensasi itu ga berubah dari aku kecil sampai sekarang.

So, kalau ditanya “status”nya bagaimana sekarang, mungkin terong ini termasuk B aja. Aku ga bisa bilang menyukai, tapi aku ga membencinya juga. Masih mau makan, tapi kalau disuruh masak… aku akan pilih opsi sayur yang lain. 

2

Baca juga

Jelang COP30 : Amazon dan Zamrud Khatulistiwa, Dua Paru-Paru Dunia yang Sesak

Jelang COP 30, Amazon & Zamrud Khatulistiwa Dua Paru-Paru yang Sesak Bumi terus memanas. Data World Meteorological Organization (WMO) m...