Menu
Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian Tidak Penting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian Tidak Penting. Tampilkan semua postingan




Saya sempat merasakan minyak goreng seharga Rp 40 ribu rupiah untuk pouch 2 literan. Saat itu saya dan Nugi baru kembali ke Jogja setelah trip 3 kota (Palembang, Bengkulu, Bandung) di musim libur nataru. Harga minyak goreng tersebut cukup mahal memang untuk ukuran kantong ibu rumah tangga. Beruntung, saya punya voucher belanja hasil menang lomba IG story sebuah produk deterjen. Jadi tinggal menukarnya saja.


Saat itu meski minyak goreng harganya meroket, namun produk masih tersedia di sejumlah minimarket atau swalayan. Namun ketika saya mencoba membeli beberapa minggu lalu, stoknya raib. Padahal harganya sudah "dinormalkan" pemerintah, yakni maksimal Rp 28 ribu untuk pouch 2 liter.


Untunglah saya punya aplikasi belanja di ponsel milik jaringan minimarket punya si merah dan si kuning. Aplikasi tersebut membantu saya mengecek ketersediaan stok minyak goreng, sehingga tidak perlu repot ngecek ke tokonya langsung setiap hari setiap saat. Bahkan kalau stok tersedia, bisa check out langsung dari aplikasinya.


Kalau saya iseng mau nimbun mah gampang sekali. Meski pembeliannya dibatasi per orang, saya tinggal ajak Nugi dan anak tetangga buat beli.


Tapi terus saya mikir buat apa?


Bukannya panick buying malah akan bikin keadaan makin kacau?


Dan saya memilih memaksa diri saya untuk tenang. Untuk belajar mencukupkan diri dengan apa yang ada. Saya beli minyak secukupnya, 2 pouch untuk sebulan, itu pun yang satu pouch saya antar ke rumah mertua.


Saya lalu mengurangi menu-menu gorengan. Ayam goreng yang biasa jadi menu andalah karena praktis, belakangan mulai berganti jadi opor, tongseng, rica rica, atau rendang.




Ya, butuh effort lebih memang untuk mempelajari resep-resepnya. Tapi untunglah, semuanya terbayarkan. Nugi tidak pernah komplain dengan menu apapun yang saya sajikan. Piringnya juga selalu licin tak bersisa.

Saya lega, ternyata saya baik-baik saja. Rumah tangga kami baik-baik saja meski minyak goreng langka. Meski kami harus pintar-pintar mencukupkan diri dengan stok minyak yang ada.


Semoga yang baca ini juga baik-baik saja ya...



Bonus :


Kucing pacaran di Pantai Panjang



1


Alasan Uang dan LM adalah Kado Pernikahan Terbaik


Waktu saya dan Nugi menikah bulan September lalu, saya sudah woro-woro ke teman terdekat untuk tidak memberi kado pernikahan berupa barang. Saya terang-terangan buat pengumuman di media sosial kalau akan sangat berterima kasih jika mereka berkenan memberi "mentah"nya saja alias uang tunai atau transferan. Jika memang segan atau canggung sekali memberi uang, yah, Logam Mulia (LM) boleh lah. Buat saya LM sama saja dengan uang tunai, hanya berubah bentuk saja.

Bagi sebagian orang, hal yang saya lakukan ini mungkin tabu atau malah dianggap tidak tahu malu. Sudah untung ada yang mau ngasih, kok malah ngelunjak. Bukankah kado dan hadiah itu tergantung keikhlasan si pemberi?

Namun saya yang punya alasan kuat dan tahu apa yang terbaik untuk diri saya sendiri ini sudah siap dengan segala risiko dikata-katain atau dirasani dalam bentuk apapun. Ketimbang tetap menerima kado berbagai bentuk tapi tidak terpakai, ye kan?

Nah, langsung saja, berikut Alasan-alasan Uang dan LM adalah Kado Pernikahan Terbaik versi Mommy Ossas, Si Emak Kucing Kampung :

1. Setiap Orang Punya Favoritnya Sendiri

Setiap orang punya favorit terkait barang yang akan dia pakai. Entah brand atau warnanya.

Pengantin baru (terutama wanita), seringkali sudah merancang akan mendekor sedemikian rupa tempat tinggal barunya dengan suami. Kamar tidur bernuansa abu-abu, dapur hijau lumut, ruang tamu hitam-putih, dlsb.

Namun kado barang yang diterima umumnya membuyarkan semua rancangan itu. Dapat kadonya malah bed cover warna jingga menyala, gelas mama papa warna ungu buah naga, bingkai foto motif Keropi dan bunga-bunga, dst.

Kasus lain, sudah kepingin sekali ricecoocker merk A sejak lama, eh dapat kadonya merk B yang jauh dari harapan si pengantin baru. Entah speknya di bawah standar, atau pilihan warna dan modelnya tidak sreg. Intinya tidak sesuai selera, tidak cocok dengan hati. Mau tidak dipakai mubazir, nekat dipakai kok bikin sepat mata.

Nah, hal semacam ini tidak akan terjadi jika kadonya berupa uang. Si pengantin baru akan bebas memilih barang sesuai dengan keinginan dan seleranya.

2. Tidak Mubazir

Masih berkaitan dengan poin no 1, kado barang seringkali tidak dibutuhkan oleh pengantin  baru. Atau dibutuhkan, namun ada yang memberi suatu barang yang sama lebih dari satu orang.

Saya pernah membantu seorang teman membuka kado-kado pernikahannya, dan dia menerima banyak sekali handuk dan bed cover. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Bukannya tidak bersyukur, namun harus diapakan handuk dan bed cover sebanyak itu?

Mau disimpan makan tempat, mau dijual atau diberikan orang lain lagi tidak enak hati karena bagaimana pun itu pemberian. Tidak etis dipindahtangankan begitu saja. Pada akhirnya kado-kado itu hanya teronggok mubazir, didiamkan tak terpakai bahkan hingga bertahun-tahun kemudian sampai dimakan rayap.

Lain halnya jika dalam bentuk uang tunai. Pengantin bisa menyeleksi sendiri barang-barang sesuai dengan kebutuhannya dan tinggal pilih mau beli yang mana.

3. Praktis

Beberapa teman saya masih ada yang memberi saya kado barang, kemungkinan karena tidak tahu bahwa saya sudah woro-woro di sosmed minta di"amplop" atau dikirim LM saja. Namun dengan berat hati, hampir semuanya saya tinggalkan kado-kado tersebut di Palembang karena sangatlah repot membawanya pindah ke Yogyakarta.

Setelah sampai di Jogja, Mbak Rianti, seorang teman sesama blogger malah ada yang ingin memberi kami kado mesin cuci. Beruntung dia konfirmasi dulu, sebab rumah kontrakan kami masih berupa rumah petak. Hanya ada satu ruangan, satu kamar mandi, dan teras yang ukurannya tidak luas-luas amat.

Meski mesin cuci adalah barang yang sangat kami butuhkan, namun kondisi tempat tinggal kami sekarang belum memungkinkan untuk punya mesin cuci. Untunglah, setelah kami jelaskan kondisinya, Mbak Rianti berkenan mengalihkan kado mesin cucinya dengan transferan bank.

Well, tidak masalah jika pengantin baru punya rumah luas atau gudang tersendiri untuk menampung kado-kado barang yang belum terpakai. Jika kondisinya seperti kami? Ribet cuuuyy!

Nah, uang dan LM adalah kado yang jauh lebih praktis dan jelas tidak makan tempat, bukan? No ribet ribet club meski harus pindah ke kota mana pun dengan tempat tinggal sekecil apa pun.

4. Bisa untuk Tabungan dan Investasi

Pernikahan sesederhana apapun akan tetap membutuhkan uang. Kado berupa uang akan sangat terasa sekali manfaatnya bagi para pengantin. Bisa buat nambah-nambahin biaya sewa tenda atau dekorasi atau malah biaya honeymoon.

Jika semua kebutuhan pernikahan sudah terpenuhi, uang dan LM masih tetap bisa jadi tabungan atau investasi. Jelas lebih bermanfaat untuk hari-hari pengantin ke depan kan?

___________________________________

Ada yang mau menambahkan alasan uang dan LM adalah kado pernikahan terbaik?

Tidak masalah lho jika ada yang tetap menganggap kado barang di hari pernikahan lebih baik. Saya dan Nugi saja berbeda pendapat kok soal ini. Meski Nugi juga mengakui kado uang dan LM lebih sesuai dengan kebutuhan para pengantin baru, namun dia sama sekali tidak menolak kado-kado berupa barang.

Nugi tipikal orang yang memberi nilai pada barang, sementara saya lebih melihat sisi manfaatnya. Nugi betah mengoleksi barang-barang yang menurutnya punya kenangan, tapi menurut saya sudah layak dibuang karena bikin rumah penuh dan berantakan.

Nah, kalau kalian, lebih suka kasih kado uang atau barang?

Apapun pilihanmu, sebaiknya saat memberi hadiah pikirkanlah dari sudut pandang si penerima. Jangan egois memilih barang tertentu hanya karena kamu INGINnya kasih itu. Terlebih jika sampai memaksakan selera sendiri ketimbang selera di penerima.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya...

Salam dari Jogja yang selalu istimewa, seistimewa kalian yang berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar.

Bonus : 




5




Saya menulis ini sebetulnya malah dalam kondisi yang sangat tidak tenang dan super khawatir saat mempersiapkan pernikahan. Hanya kurang tiga bulan lagi jelang hari H. 

Well, untuk orang-orang yang gemesshh karena saya dan Nugi tidak kunjung menikah, tiga bulan lagi itu mungkin masih lama. Tapi buat saya dan Nugi, yang sampai saat ini masih jadi LDR Fighter Palembang-Jogja, 3 bulan itu berasa diuber-uber. 

To be honest, masih banyak hal yang belum selesai. Mulai dari bimbingan pranikah di gereja, tetek bengek urusan administrasi untuk catatan sipil dan tes kesehatan, sampai persoalan memilih vendor belum tuntas semuanya. 

Satu hal yang paling bikin saya cemas saat ini mungkin juga faktor finansial. Hubungan LDR sendiri sudah begitu mahal untuk dijalani. Apalagi persiapan untuk hari H-nya. Terlebih, saya dan Nugi bisa dibilang tidak-bisa-terlalu-mengandalkan-orang-tua-lagi untuk urusan biaya pernikahan kami. 

Saya anak yatim, sementara orang tua Nugi sudah masuk usia lanjut yang sudah melewati masa produktifnya. Saya sempat berpikir, kalau saja saya dan Nugi dipertemukan lebih awal (sekitar 5 tahun lalu saat papa saya masih hidup dan orang tua Nugi masih produktif), apakah kami bakal lebih tenang dalam menyiapkan pernikahan? Kan enak ya kalau bisa seperti teman-teman lain yang menikah dengan dibiayai orang tua 🤭


Tapi sudahlah. Saya tidak mau berandai-andai. Saya percaya waktu Tuhan tidak pernah salah. Dan, saya tahu perjuangan saya dan Nugi ini tidak akan sia-sia. Kelak di kemudian hari, kami akan mengenang semua ini dengan senyuman. Amin. Amin. 


Berikut beberapa hal yang saya lakukan agar tetap tenang dan tidak khawatir berlebihan dalam mempersiapkan pernikahan : 


1. Berdoa

Terserahlah mau dibilang sok relijius atau bagaimana. Tapi doa adalah hal terkecil sekaligus terbesar yang bisa saya lakukan saat ini. Berdoa berarti menyerahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan. 

Saya percaya Tuhan yang mempertemukan saya dan Nugi. Dia pula yang mengizinkan kami sampai di titik ini. Jika pernikahan kami juga bagian dari kehendak-Nya untuk kebaikan kami, Dia pasti akan mencukupkan segala sesuatunya. 

Baik saya dan Nugi mungkin sama-sama tidak bisa mengandalkan ayah kami lagi. Tapi kami punya Bapa di Surga yang masih bisa kami mintai pertolongan. Kalau semesta dan segala isinya ini Dia yang punya, betapa kecil di mata-Nya urusan pernikahan dua insan manusia ini, bukan? 


2. Tarik Nafas dan Atur Skala Prioritas

Saat membuat list to do terkait pernikahan yang ternyata super ribet dan bejibun, reaksi pertama ya panik dan stress. Terlebih waktu yang entah kenapa berubah mendadak menjadi seperti kurva. Menanjak lambat ketika proses pedekate dan pacaran, dan seketika terjun bebas begitu tunangan akhir tahun lalu. Beuh, tahu-tahu sudah setengah tahun saja berlalu sementara persiapan baru beres sekian persennya. 

Meski sulit, saya dan Nugi memaksa diri untuk mengambil waktu sejenak untuk sekadar menarik nafas. Setelah pikiran lebih jernih, maka kami urutkan berdasar skala prioritasnya. Mana yang harus benar-benar dipikirkan lebih dulu. 

Biaya kontrakan atau DP KPR setelah menikah jelas jauh lebih penting ketimbang dekorasi, biaya pre-marital medical check up lebih penting ketimbang seragam bridesmaid, dst. 

 Dan begitulah, kami selesaikan perlahan satu per satu. Apa yang bisa dibereskan dalam waktu dekat ya dibereskan. Kesusahan sehari cukuplah sehari. Yang bisa dikerjakan hari ini ya hari ini. Begitupun yang besok atau lusa. Nikmati saja. Jalani. 


3. Ikhlas dan Tidak Memaksakan Diri

Kunci ketenangan adalah sikap hati. Yah memang, siapa sih yang tidak ingin punya acara pernikahan yang wah dan perfect? Saya dan Nugi juga inginnya sebuah pernikahan yang sempurna. Namanya juga momen sekali seumur hidup. Tak perlu mewah, tapi elegan. 

Tapi saya dan Nugi juga belajar untuk tidak memaksakan diri. Kalau memang mampu, ya why not? Tapi jika tidak, maka harus bisa ikhlas. 

Kembali ke hakikat pernikahan itu sendiri, bukan? Menyatukan dua jiwa dan dua keluarga. Sekarang yang penting itu sah dulu pokoknya. Kalau ternyata hanya mampu mengundang 50 orang, kenapa harus memaksa mengundang 1000 orang? 

Lebih baik sebuah pernikahan sederhana ketimbang harus menyusahkan diri sendiri, mengorbankan kenyamanan hidup berumah tangga di masa depan, atau meninggalkan utang yang tak terlunaskan. 


Saya tidak mau memaksakan diri. Nugi juga tidak.  Seperti apapun bentuknya nanti, kami ingin pernikahan yang bisa menjadi berkat. Benar-benar berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terkasih, dan bukannya membebani mereka. 


Akhir kata, mohon doanya ya agar dilancarkan segala prosesnya. Amin. 

2


"Saat hidup tak berjalan seperti yang diinginkan, selalu ada rancangan Tuhan yang mengatasi segala kebaikan..."  Arako, 2020.



Sarjana Sastra




2008, 

Gadis 17 tahun itu membeku. Dia bisu sediam patung Buddha, tak tahu harus bagaimana kala melihat sosok lelaki yang paling dihormatinya itu berurai air mata. Ayahnya menangis. Di sini, di kamarnya. Tempat si gadis mengurung diri setelah hampir 2 bulan lamanya. 

"Maafkan papa, nggak bisa menguliahkanmu... "

Lelaki paruh baya itu berucap. Berulang-ulang. Penuh penyesalan. Si gadis tahu, hati ayah telah sama hancurnya. Si gadis yang sudah diterima di jurusan ilmu komunikasi sebuah PTN tanpa tes itu harus benar-benar mengubur mimpinya dulu tentang dunia kampus. 

Hanya otak labil remajanya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin belum sampai 2 tahun lalu ayahnya sanggup membelikannya motor matic keluaran baru untuk dibawanya sekolah, juga ponsel N6600 yang harganya masih Rp 4 juta..., tapi HANYA menyediakan uang Rp 1 juta untuk syarat daftar ulang saja tidak sanggup. 

Bercandaan macam apa ini? Sungguh nggak ada lucu-lucunya. 

Tapi satu hal yang pasti, air mata itu jelas bukan bercandaan. Si gadis tahu, perangai keras ayahnya tidak pernah mengizinkan dia menangis. Namun lihatlah beliau sekarang... Menangis dan menangis. Hanya kata maaf yang keluar di sela isaknya.

Si gadis terpekur. Dia bisa apa? Memang salah siapa sih kalau keluarganya bangkrut? Kalaupun tahu siapa yang salah, tidak akan pernah mengubah keadaan saat itu. Memangnya dia mau diam di kamar terus seumur hidup? 

Wahai putri bungsu nan manja, bangun! Terjagalah! Buka matamu lebar-lebar. Kamarmu ini bahkan sebentar lagi juga bukan milikmu lagi. Rumah ini sudah dijual, ingat? Hanya tinggal menghitung hari untuk mengepak barang-barangnya. 

Si gadis mengusap air matanya. Memegang tangan ayahnya yang dulu begitu sering menabok dirinya yang masih kecil karena memang bandel dan nakal luar biasa. 

Ditatapnya mata ayahnya dalam-dalam... 

"Pa. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Yang sudah ya sudah. Nggak bisa diapa-apain lagi. Aku sekarang mau nangis darah juga tetep nggak bisa kuliah ya itu fakta... harus diterima. Tapi aku nggak mau nyerah sama mimpiku. Papa tenang saja, aku bakal tetap kuliah suatu saat nanti. Tolong doakan saja, saat aku beneran bisa kuliah nanti... aku akan pakai uangku sendiri. Aku janji... "

Hari itu, dengan usapan lembut sang ayah di puncak kepalanya, si gadis berhenti dari aksinya mengurung diri. Dia mulai menyiapkan berkas lamaran kerja. Tidak lupa menulikan diri dari semua kabar teman-teman sekolahnya yang sibuk dengan dunia mahasiswa baru. 

Ya. Hidup kadang memang sebrengsek itu. Tapi menunda mimpi bukanlah akhir dari segalanya... 


2012,


Gadis yang sama tapi 4 tahun lebih tua itu sedang menangis di telepon. Di ujung sana, seorang sahabat cowoknya berusaha menenangkan. 

"Kapan memangnya terakhir bayar semesteran?"

"Tinggal besok... Dan gajian masih lama..."

"Ah, besok. Masih lama itu... Kamu tenang dulu lah... Masih bisa kita usaha---"

"BESOK KOK LAMA. SEBENTAR ITU! KALAU BESOK GA DAPAT UANGNYA GIMANA KULIAHKU, MAS???"

"Hey, hey... Lama atau sebentar itu tergantung kamu pake buat apa waktunya. 24 jam itu mungkin sebentar buatmu sekarang, tapi itu lama lho kalau kamu pakai -- berdoa, misalnya. Jadi... Sekarang, aku mohon kamu tenang dulu. Terserah gimana caranya. Doa yang bener-bener. Yakini satu hal, kamu masih tetap bisa bayar semesteranmu... "

Beberapa minggu kemudian, 
Si gadis yang semringah habis gajian menemui sang sahabat. Mengulurkan setumpuk lembaran uang merah yang masih wangi dan mulus. 

"Nih, utangku bayar semesteran kemaren. Plus lebihan buat bayar denda cicilan motormu. Bilang maaf juga ke ibu kosmu karena telat bayar..."

"Nggak usah, " tolak si sahabat tak terduga. 

"Lho? Kok nggak usah? Aku bilangnya minjem lho kemaren, bukan minta... "

"Iya. Tapi sekarang kamu pegang aja uangnya. Sebulan ini kamu gimana mau liputan kalau gajimu habis buat bayar utang...."

"Lho..., kok?"

"Kamu cuma harus janji satu hal sama aku..."

"Hmm?"

"Selesaikan kuliahmu. Apapun yang terjadi, kamu harus lulus. Aku akan anggap lunas utangmu begitu kamu udah sarjana nanti. Okay? "

"Tapi..."

"Aku nggak butuh tapi, aku butuh janji..."

"Umm... Okay... Aku janji sama mas... "

"Janji apa?"

"Janji selesaikan kuliah dan jadi sarjana... "

Hidup masih tetap sama brengseknya. Tapi selalu saja ada orang baik yang hadir untuk menghangatkan hati dan menjamin senyum. 

***


Tapi pada kenyataannya, perjalanan untuk lulus kuliah rupanya nggak pernah semudah itu, Maemunah! 

Iya. Gadis di cerita itu saya sendiri. Di masa lalu. Meski sudah diniatkan untuk lulus kuliah secepatnya (karena sudah merasa sangat ketinggalan), nyatanya dunia kuliah saya sama brengseknya. 

Mencoba kuliah Ilmu Komunikasi sembari bekerja, ternyata gagal. 3 kampus berbeda saya jalani dan nggak satupun yang selesai. Masalah utamanya bukan lagi biaya, memang (Puji Tuhan kerjaan waktu itu memungkinkan saya punya tabungan yang lebih dari cukup buat kuliah), tapi manajemen waktu. 

Belakangan baru tahu itu erat kaitannya dengan saya yang ternyata punya otak ADHD. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. 

Namun janji yang sama pada dua orang berbeda bertahun lalu itu benar-benar terasa seperti utang besar yang harus dilunasi. Saya terbeban. Saya tertekan. Tapi sekaligus juga jadi pemicu untuk nggak menyerah sama mimpi. 


Tahun 2015 saya pindah dari Bengkulu ke Palembang. Karena bingung tidak ada kesibukan, saya memutuskan kuliah lagi. Awalnya masih tetap ngotot ingin Ilmu Komunikasi, sungguh saya masih penasaran sama jurusan ini. Tapi Ibu Ratu menyarankan ambil sastra saja. Saya butuh sesuatu yang baru. 

Ya sudah sih. Tidak ada salahnya mencoba. Sastra juga sepertinya tidak buruk-buruk amat. Terlebih, ingin juga punya gelar yang sama dengan sahabat yang memiutangi saya itu. Dia lulusan sastra arab sebuah universitas Islam di Bandung. 

(Eh, belakangan baru tahu kalau gelar saya dan dia akhirnya berbeda. FYI buat yang mungkin belum tahu, lulusan sastra bisa berakhir jadi S.S  atau S.Hum, tergantung pada fakultas mana prodi sastra tersebut bernaung. Kalau fakultas sastra, gelarnya jadi S.S. Kalau fakultas ilmu sosial budaya seperti sahabat saya itu, jadinya S.Hum). 

Semester genap 2015, saya mulai kuliah. Sastra Inggris di Universitas Terbuka Palembang.  
Long story short, akhir 2019 selesai juga. Meski target cumlaude gagal dengan sukses karena pakai drama kecelakaan hebat yang bikin cedera kepala dan terpaksa cuti. Belum lagi perkara mental illness yang sungguh menghabiskan energi. 

Akhir minggu lalu, saya di-japri Ce Ria, teman seangkatan yang lulus duluan karena dia nggak pakai cuti. Disuruh ngecek daftar lulusan periode ini yang baru diumumkan website kampus. 

Di antara nyaris 1000 nama lintas prodi, nama saya ada. 

Heny Niagara

Yang sekarang nambah S.S di belakangnya. 

Mix feeling banget ini. Kaya yang..., ada sedikit malu dan minder karena teman-teman seangkatan wisudanya udah S2 atau malah ada yang S3. Tapi juga seneng dan bangga, meski jelas euforia berbeda dengan kalau misalnya saya kuliah "normal". Senang dan bangga, haru juga mungkin ... bukan sama gelarnya, tapi lebih ke ingat semua proses dan perjalanan panjang melewatinya. Wow, Ara, kamu hebat! 

Ah, iya. Juga tentang sebuah utang janji pada dua lelaki itu yang akhirnya lunas sudah. 

Satu-satunya penyesalan mungkin ya cuma karena papa yang nggak bisa mendengar langsung kabar gembira ini. Sedih, andai bisa lulus lebih cepat, papa masih bisa mendengar saya yang berterima kasih langsung. Bahwa berkat doa dan restunya jugalah saya benar-benar bisa selesaikan kuliah pakai uang sendiri. 

Tapi ya sudah lah, sekali lagi saya mau bilang : Hidup memang sebrengsek itu. Pffftt, sudah kebal ini kaya'nya. 

"Pa, terima kasih untuk semuanya. Juga maaf, untuk segalanya. Satu yang pasti sekarang, Anak gadismu ini betul-betul bukan si bungsu manja yang dulu lagi, kan?"


Dan terima kasih juga, untuk Mas Cep, sahabat terbaik yang pernah dan akan selalu saya miliki. Dukungannya yang ga pernah habis, doa-doa paling tulusnya... bahkan sampai sekarang ketika hidup kami sudah nggak sama lagi. 

Sebetulnya, saya nggak tahu sih dia masih ingat soal utang-piutang itu apa nggak. Habis dia itu tipe orang yang mudah lupa hal-hal sepele (Iya, duit buat dia benar-benar termasuk hal sepele di masa itu. Kami bukan cuma terbiasa saling ngutang, tapi juga biasa foya-foya menghabiskan gaji bersama 😂 seperti berburu durian sampai mabok atau khilaf di gramedia) 

Tapi saya  jelas nggak akan lupa. Meski nominalnya persisnya saya sudah nggak ingat lagi. Pfffttt... Dasar. Tapi kisaran Rp 2 juta sih, kalau tidak salah. 

"Ndunk..., kalau kau baco ini, lunas utang ambo yo...!!! "

8 tahun sudah saya menanggung beban utang pada sahabat saya ini, akhirnya terbebas juga. Legaaaaa... luar biasa. Kalau bukan berkat pertolongan Tuhan dan orang-orang terkasih, mungkin ya nggak bakal selesai juga. 

***

Dari sebuah catatan harian tidak penting ini, saya merasa perlu berbagi beberapa hal sama siapapun yang mau baca :

1. Sama sekali bukan kiamat kalau fase hidupmu berbeda dari mayoritas orang kebanyakan. Saat terlambat atau pun terlalu cepat saat menjalani satu fase kehidupan, kadang malah membuatmu semakin "kaya"  dan "berwarna" 

2. Nggak ada kata terlambat untuk pendidikan. Belajar, mencari ilmu itu baru berakhir nanti kalau sudah di Liang lahat. 

3. Hidup itu brengsek. Tapi Tuhan selalu baik 😊



Salam dari Tepian Musi. 

Kado wisuda dari Ossas buat Mommy :
Anakan Kadal



Nb. 
Berhubung lagi 
gempar corona ini, Mommy Ossas 
nggak tahu bakal wisuda apa nggak. Jadi yang mau ngasih kado, bisa langsung japri saja ya 😂😂

Btw, Mommy Ossas lagi 
nggak sabar nunggu 
Ibu Ratu membayar nazar. Hahaha... Sejuta tahun lalu, 
beliau sempat 
bernazar bakal 
bla bla bla bla 
kalau semua
 anaknya sudah sarjana. 

Apa nazarnya? 
Nanti diupdate kalau sudah ditunaikan. 










.





"




39



Yuhuuu … postingan perdana tahun di tahun 2020. (Dasar pemalas!!)

Bhaiquelaahhh, karena ini postingan perdana, saya nggak akan berpanjang lebar.
Tahun ini, di blog ini, saya hanya akan menuliskan berkat dan anugerah Tuhan yang saya terima sepanjang tahun.
Saya percaya, dengan  banyak menulis dan berbagi berkat, maka akan memancing lebih banyak berkat lagi di Masa depan.

Amin. Amin. Amin. 

Untuk resolusi tahun ini, nggak banyak sih.
Saya hanya ingin menulis lebih banyak. Mencintai lebih baik. Dan memaafkan lebih sungguh.

Happy belated new year, everybody …
Selamat datang Februari, bulan penuh cinta.







0


move on dari mantan gay

Tadinya, saya berpikir cuma saya lho cewek yang pernah diremukkan hatinya oleh cowok gay. Ternyata salah besar. Seiring waktu, roda takdir mempertemukan saya dengan sejumlah perempuan lain yang bernasib serupa.

Terakhir, seorang teman, sebut saja Mawar, malah udah tunangan dan bersiap menikah lho. Sebelum akhirnya si cowok memilih mundur. Meninggalkan Mawar dengan hati yang sama remuknya dengan hati saya kira-kira sejuta tahun lalu.

Well, tulisan ini khusus saya buat untuk Mawar, juga Mawar-Mawar lain yang mungkin juga lagi berjuang untuk move on dari lelaki terbaik yang pernah ada itu …
________________________________

Dia berbeda dengan semua pria yang pernah hadir di hidup kita. Pria tampan dan manis, perhatian, selalu ada untukmu, atau pendengar yang baik plus teman ngobrol asyik mungkin tidak terlalu sulit dicari. Namun satu hal lain dia miliki dan nyaris mustahil ditemukan di grup lelaki-straight : Peka.

Orang lain mungkin tidak akan mengerti, betapa asyiknya dingertiin saat monster PMS menyerang. Atau saat cuma pengen nangis atau marah sepuasnya tanpa harus ditanyain “kenapa?” atau “aku harus gimana?” (yang seringnya cuma malah bikin kita makin terpuruk).

Kita sulit mendeskripsikan. Tapi perasaan “safe and warm” yang selalu ada setiap kali di dekat dia itu beneran nyata. Sebagai cewek, kita ngerasa disayang dan dihormati yang bener-bener, tanpa pernah sedikitpun ngerasa khawatir bakal dilecehkan atau takut diminta ngelakuin hal-hal yang sebenernya nggak kita inginkan …

Cuma hal ini yang bisa kita terjemahkan : dia cowok baik dan sempurna.

Bahkan setelah semua topeng itu terbuka dan kita kemudian tahu kebenaran yang menghancurkan hati itu … kita nggak akan pernah sampai hati membenci dia. Sesakit apa pun … seluka apa pun … kita malah cuma berakhir pengen memeluk dia. Kita pengen menentramkan dia seperti dia sudah melakukan hal yang sama ke kita selama ini.

Namun keadaan dengan cepat memburuk. Kita jadi frustrasi. Berusaha menjauh dan kalap pengen ngelupain semuanya dengan instan. Lalu terjebak dengan siklus cari-pengganti-secepatnya demi bisa move on dan mengakhiri rasa sakit.

Dan kita sama-sama tahu. Semuanya cuma berakhir gagal. Kita makin tenggelam dalam frustrasi. Belum lagi kalau ditambah sikap dia yang bertahan (seolah) nggak-mau-ngelepasin-kita, padahal jelas-jelas udah nggak ada masa depan. Karena udah terlanjur ngerasa saling ngerti 100%.

Kamu, yang lagi ngerasain hal kaya gini. Yang lelah dengan semua ini. Yang rindu membebaskan hatimu dari belenggu masa lalu… saya pernah menggumulkan hal yang sama lho. Bukan setahun dua tahun … nyaris sewindu.

Kalau air matanya dikumpulin, mungkin udah jadi satu kolam renang 😅 Lebih dari itu, saya lebih menyesal dengan nasib cowok-cowok baik yang terpaksa jadi pelampiasan rasa frustrasi saya. Yang nggak pernah benar-benar saya cintai, tapi terlanjur dipacari dengan harapan bisa membantu saya ngelupain dia.

Tapi Puji Tuhan, akhirnya saya benar-benar bisa move on. 100%. Berikut upaya yang saya lakukan sampai akhirnya bisa lepas… (well, karena ini pengalaman pribadi, tidak menjamin bakal sukses diterapkan ke semua orang juga sih. Tapi semoga bisa menginspirasi).


1. Stop berusaha membenci

Tidak ada gunanya. Cewek cenderung lebih gampang ingat yang manis-manis ketimbang “kejahatan” dia. Jadi udah … biarin aja. Akui saja kalau dia emang cowok terbaik … and best boyfriend ever. Mau ketemu cowok manapun, bakal tetep kalah kok sama dia. Terima, kalau emang kita memang tidak akan pernah nemu cowok yang bakal se-perfect dia jadi pacar.

Kita tidak salah kok mencintai dia. Dia memang berkualitas untuk dicintai.

2. Ubah Mindset

Dia memang pacar terbaik, tapi akankah jadi suami terbaik pula?
Yok, ajak dirimu memikirkan hal ini. Dia memang cowok terbaik untuk dijadikan pacar, karena semua yang kita butuhkan dalam hubungan pacaran dia udah sediakan semuanya. Perhatian, kasih sayang, penerimaan, kesediaan waktu-tenaga-pikiran-uang, kepekaan … dan dia melakukannya dengan sempurna (nyaris mustahil disaingi pacar-pacar kita setelahnya).

Cuma satu yang tidak bisa dia kasih, sexual things. Dan faktanya memang kita tidak (atau belum) butuh itu saat pacaran. Makanya kita tidak merasa kurang. Kita malah seneng karena hati dan otak kita udah di-set, di mana lagi nemu cowok baek-baek begini?

Tapi begitu kita berpikir ke jenjang berikutnya : pernikahan (ayolah, masa mau terus pacaran doang sampai Jan Ethes jadi presiden?), pikiran seperti itu sudah tidak akan relevan lagi. Nikah butuh sex, cuuyy!!!

Kalau si dia biseksual, ya masih ada harapan buat dinafkahi batin. Tapi kalau dia pure gay gimana coba?

Yakin betah tidak disentuh? Bahkan kalau dia dengan alasan tertentu (pengen berketurunan atau apa) tetep bisa nyentuh kamu, siapa yang menjamin sosok siapa yang dia bayangkan di otaknya pas lagi berhubungan seksual denganmu?

Atau yang lebih parah lagi, kalau ternyata dia balik ke “habitat”nya setelah menikah (dan ini banyak kejadian lho). Lebih dari itu, apakah kamu beneran yakin pengen dia untuk jadi sosok ayah dari anak-anakmu?

Kalau diri saya yang paling jujur sih jelas jawabannya tidak. Makanya saya sounding ke diri sendiri : “Dia pacar terbaik, tapi bukan suami yang baik. Aku pengen hubby,  bukan sekadar pacar …”

3. Putuskan Kontak

Klise.
Tapi ini wajib. Tanpa putus kontak, seluruh dunia akan selalu mengingatkan kamu sama dia. Tidak peduli sejauh apapun kamu pergi.

Stop keinginan menghubungi atau caper ke dia dalam bentuk apapun. Stop ketergantungan kita akan sosoknya.

Bayangkan dia itu narkoba. Iya, dia bikin kita tenang dan damai … tapi itu cuma ilusi. Kita dirusaknya pelan-pelan ...dari dalam. Kita bahkan sanggup berpikir kalau kita tidak akan pernah bahagia lagi tanpa sosoknya.

Butuh 2 tahun full untuk saya tanpa komunikasi sampai akhirnya benar-benar lepas. Yang terberat jelas di awal … efek “sakaw”-nya itu lho. Percaya tidak, saya sampai harus ke psikiater 😹

Lha selama ini tiap ada masalah sebesar apa, cukup dengar satu dua patah kata dari dia udah langsung ok lagi. Tapi tanpa dia semuanya harus dihadapi sendiri.

Tidak terhitung godaan untuk mulai membalas chat dia. Tapi ditahan-tahan. Saya bahkan bikin aturan tegas ke diri saya, kalau sampai saya ngebales pesan dia ...atau mulai buka obrolan atau curhat ….harus langsung diblokir.

Eh, ternyata saya cukup tangguh juga. Sampai lewat 2 tahun masih belum diblokir juga ternyata … cuma unfol doang.

4. Libatkan Tuhan

Ini harusnya ditaro di nomor 1 sih. Bukannya memang cuma Dia yang berkuasa membolak-balikkan hati?

Saya percaya, kebebasan saya dari belenggu ini nggak lepas dari campur tangan Tuhan. Tanpa pertolongan dari-Nya, mungkin saya masih bakal terus ngarep dan baper tak berkesudahan.

Setiap kali saya “sakaw”, saya doa, nangis ke Tuhan. Saya bawa semua sakit, kecewa, penyesalan, frustrasi ...semuanya itu ke Tuhan. Saya juga mohon ke Tuhan untuk pulihkan hati saya.

Jika di awal-awal saya bertindak sendiri dengan grasa-grusu “nyari ganti”, belakangan sudah nggak. Saya bahkan mohon banget ke Tuhan untuk tidak dipertemukan dulu dengan jodoh sampai benar-benar move on. Hurt people will hurt people.

Saya percaya, cuma hati yang sudah pulih dan sehat yang pantas buat lelaki yang tepat.

Sambil nunggu saat terbaik dari Tuhan, saya pilih sibuk meng-upgrade diri. Benar kok, banyak hal yang bisa kita lakukan ketimbang menangisi dia.

Hidup ini indah, tapi seringkali terhalang sama air mata. Ketika air mata itu akhirnya menyusut, saya baru benar-benar bisa melihat, kalau bener-bener ada seseorang yang jauh lebih baik dari dia di segala aspek.

Saya sudah lumayan lama mengenalnya, tapi semacam baru sadar belakangan ini setelah benar-benar move on. Well, saya belum bisa cerita banyak. Masih menanti lampu hijau dari Tuhan … sementara ya tetap upgrade diri dulu 😹

Nah. Saya yakin, nanti kalian juga pasti menemukan seseorang itu. Sekarang yang penting, move on dulu yuk!

Bebaskan dirimu!

Nb.

Buat Mawar, stay strong girl!
Peluk yang banyak dari sini ...

Jangan menyerah. Kamu berhak bahagia!

2


Time flies, huh?
Really. It's really hard to believe ….


Time flies ...



Dear, Lina a.k.a Naomi a.k.a Nomnom,

Jika ada benda mati paling berjasa dalam hidupmu, maka tak lain tak bukan adalah Si Poyang. Sungguh, kamu berutang nyawa pada mobil bak tua biru dongker (yang jelek luar biasa) milik bapakmu itu.

Kisahnya terjadi pada dua puluh satu Mei, persis dua puluh tahun lalu. Saat itu, kita semua masih tinggal di Pekik Nyaring. Sebuah desa kecil di pinggir Bengkulu. Rumahmu ramai di Jumat pagi hari itu karena kedatangan paman dan bibi dari jauh, lengkap dengan sepupu-sepupumu yang berkeriyapan mirip anak ayam.

Ya, hampir semua sepupumu masih bocah kala itu. Termasuk aku yang kalo tidak salah masih kelas 2 SD dan sedang menikmati hari libur. Kami semua semangat karena diajak jalan-jalan ke Blok 7 naik Poyang istimewa kududuk di muka yang sayangnya mendadak berulah. Mesinnya tidak bisa dihidupkan.

Sampai matahari meninggi, Si Poyang masih tidak bisa hidup. Wajah-wajah bersinar sejak pagi, mulai kompak menekuk. Kecewa. Rencana liburan sudah dipastikan gagal.

Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Sangat cepat sampai aku sendiri kebingungan dengan perubahan sikap orang-orang dewasa.

Yang kuingat cuma, mamamu --yang perutnya mirip balon-- pagi hari itu masih segar bugar. Masih masak dan menjemur pakaian seperti lazimnya emak-emak… namun sekitar pukul 10 (atau 11?) mamamu masuk kamar yang dikunci, dan cuma ditemani bibimu.

Lalu mamaku dan mbah kita datang, disusul para tetangga yang sepertinya makin banyak saja. Dari hasil menguping (dan mengintip jendela kamar), aku tahu kalau mamamu ternyata mau melahirkan. Semua orang dewasa sibuk, berusaha menjemput bidan.

Tapi ternyata kamu tak sabar ingin keluar. Dibantu mbah, kamu lahir sebelum bidan datang. Selamat dan sehat tentunya, karena aku bisa mendengar suara tangis pertamamu yang keras luar biasa.

Selang beberapa saat, aku akhirnya bisa melihatmu. Lelap dalam bedongan yang cuma sebesar guling bayi. Mungil sekali. Kesan pertamaku, kamu manis. Terutama bibirmu, cantik sekali. Sedang tidur pun seperti terlihat sedang tersenyum.

Kesan kedua, kamu hitam. Iya, meski seiring waktu aku tahu itu bukan benar-benar hitam, melainkan sawo matang. Yah, pokoknya kulitmu itu memang sudah gelap dari sononya, jadi please, please … Tolong lupakan obsesimu pada krim pemutih atau make up atau apapun yang membuatmu malah terlihat seperti mayat hidup. Cewek-cewek di Barat saja rela operasi demi punya warna kulit seperti kamu, tahu …

Kembali lagi ke Si Poyang. Apa jadinya jika dia tidak mogok hari itu? Kami semua pergi bersenang-senang dan mamamu benar-benar sendirian. Tanpa telepon, tanpa ponsel, apalagi smartphone.

***

Lepas 6 bulan pertama hidupmu, kamu menghabiskan masa kecilmu lebih banyak di rumahku. Belajar bicara, belajar jalan semuanya di rumahku. Dari kecil kamu sudah bisa nyanyi. Lagu favoritmu  Di Doa Ibuku-nya Nikita dan Melompat Lebih Tinggi-nya Sheila on 7 yang cuma bisa kamu nyanyikan ujung-ujung barisnya. Lucu sekali.

Masa kecilmu nggak ada yang kulewatkan. Dibanding mbak 'Nti-mu yang kaya Barbie dan betah di rumah, kamu kecilnya lebih mirip aku yang ranger merah. Hobi ngeluyur dan kelayapan mendaki gunung lewati lembah bareng bocah lelaki yang namanya Jojon. Melihat kalian berdua selalu bikin aku ingat sama masa kecilku sendiri… bareng Toni, my partner in crime 😹 (oy, Toni. Kamu di mana?)

Yang kulewatkan sepertinya cuma masa remajamu ya, Lin? Karena berbarengan dengan badai di kehidupanku sendiri. Maaf untuk benar-benar mengabaikanmu di fase itu. Aku harus egois, demi menyelamatkan semuanya. Belum lagi kita akhirnya memang harus berpisah karena pindah.

Makanya aku senang sekali waktu kamu putuskan untuk kuliah di Palembang. Seperti mendapat kesempatan kedua. Berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama dan menunjukkan dunia ini lebih banyak padamu. (Yang sayangnya ga berjalan mulus karena jadwal kuliah dan asramamu yang ...begitulah 😹).

Tapi tidak mengapa. Bisa memperhatikanmu lagi sudah cukup. Toh kamu sudah besar sekarang. Sudah 20 tahun.

Astagaaaa… benar-benar 20 tahun lho, dan kamu berhasil tumbuh lebih tinggi, lebih cantik, dan lebih berbakat dari mbakmu ini. I'm proud of you.

Mbak menulis ini cuma mau bilang, kamu menginjak 20 tahun dengan jauh lebih beruntung dari mbak. Kamu menjalani 20 tahunmu dengan teramat normal dan wajar untuk gadis seusiamu. Kamu nggak harus menjalani kehidupan keras dunia orang dewasa seperti mbak. Kamu makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, kuliah tinggal kuliah … nggak kaya mbak yang di umurmu sudah harus pusing urusan kerjaan biar tetap bisa makan dan bayar kosan, plus nabung biar bisa kuliah suatu saat nanti.

Nggak, ini bukan kontes siapa-yang-lebih-menderita. Bukan … cuma pengen mengingatkanmu untuk lebih bersyukur dan bersyukur lagi.

Mbak nggak bisa nasehatin lebih banyak, toh kamu sudah dikelilingi orang-orang hebat dan tepat untuk ngajarin kamu tentang hidup. Mbak mungkin nggak pernah ngomong langsung … tapi sekali ini betul-betul ingin bilang …

I never saw you as a cousin, but always as a sibling. You have completed my life, which always wanted to have a younger siblings. I love you. Thank you for being born.
Happy 20th Birthday. You can find your birthday present at 1 Peter 1: 23-25. God bless you.

***


Tepian Musi. Peringatan 21 tahun lengsernya Soeharto.
0



Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa.

Mimpi 15.529 km | kucingdomestik


Heny. Aku tidak pernah suka nama depanku. Bukan soal nama itu terdengar keren atau tidak, tapi pasarannya itu lho. Waktu SMP aku benar-benar muak saat tahu di kelas ada tiga Heni. Belum termasuk Heni-heni dari kelas lain.

Aku makin kesal saat tahu kalau semula aku dimaksudkan untuk bernama Hana. Yah, meski mungkin sama pasarannya, setidaknya ada dua perempuan keren bernama Hana yang kubaca kisahnya dalam Alkitab. Pertama ibunya nabi Samuel, lalu seorang Nabiah yang berjumpa Yesus saat masih kecil di bait suci.

Belakangan mama berkisah, bukan tanpa alasan papa mengubah pikirannya. Namun setelah diam lama memperhatikanku yang masih bayi merah itu pada suatu malam.

Yah, dilihat dari sisi manapun, aku sepertinya memang tidak akan pernah cocok punya nama Hana, yang berarti anggun dalam bahasa Ibrani. Pun dari bahasa Jepang, artinya adalah bunga.

Pfffttt, satu-satunya bunga yang bisa diasosiasikan denganku mungkin bunga bangkai kali. Dan, untuk yang sudah bertemu denganku, semuanya pasti sepakat kalau “anggun” itu tidak akan pernah ada dalam kamus kepribadianku. Yang ada bakal jadi bahan tertawaan atau istilah yang umum saat itu “keberatan nama”.

“Anak bungsu kita ini …, tidak akan pernah tumbuh jadi gadis danau yang tenang. Dia itu air terjun,” kata Papa.

“Tidak bisa diam, berisik, hidupnya penuh gejolak, namun menyimpan potensi besar … Dia bisa berbahaya maupun indah menyejukkan. Tergantung bagaimana sudut pandang orang lain saat melihatnya.

Lalu …, sepasang kaki mungil itu kelak akan membawanya pergi. Seperti aliran air terjun yang bebas kemana pun, dia akan bertualang ke banyak tempat. Jauh dari asal. Jauh dari mana ia dilahirkan.”

Dan begitulah. Akhirnya ketuk palu. Namaku terus jadi Heny Niagara sampai sekarang. Terukir abadi di semua dokumen yang kumiliki. Heny, yang merupakan panggilan lumrah untuk anak perempuan dalam bahasa jawa (seperti halnya akhiran -ko pada nama Jepang), dan Niagara … satu-satunya nama air terjun yang terpikir oleh papa saat itu.

Mama juga bilang, papa juga sekaligus menyematkan doa dan harapan. Biar kelak aku bisa jadi seorang yang punya nama besar seperti Niagara. “Jadi kalau kamu tanya mama arti namamu, Heny Niagara itu berarti anak perempuan yang suka berpetualang," kata mamaku.

____________________________________

Itu kisah 28 tahun lalu. Kalau lihat diriku sekarang, mungkin mendiang papa diam-diam menyesal dalam pusaranya.

Apanya yang anak perempuan yang suka berpetualang? Lha sampai nyaris kepala tiga begini, sejauh-jauhnya aku pergi cuma nyebrang pulau Jawa.

Tapi, kalau mau jujur sama diri sendiri …, jiwa petualang itu memang ada sih. Aku tidak pernah benar-benar tumbuh jadi cewek rumahan. Kecuali karena kucing, koleksi buku, dan masakan mama, aku tidak pernah benar-benar betah di rumah.

Aku selalu ingin pergi. Tak peduli walau cuma menyusuri gang-gang yang belum pernah kulewati, atau cuma motoran sendirian ke kota sebelah.

Aku tak pernah punya tujuan pasti walau kadang kusamarkan dengan“liburan”, “nyari inspirasi” atau “nyari bahan buat tulisan”. Tapi nggak, sebetulnya. Sama seperti kata Bodhi di seri Supernova, perjalanan itu sendirilah tujuanku. Kalau aku kemudian dapat sesuatu dari perjalananku itu, ya itu bonus.

Aku merenung. Jika memang jiwa petualang itu memang sudah terpeta di wajahku sejak aku lahir hingga papa bisa melihatnya sejelas itu, lantas kenapa hidupku “begini-begini-saja”? Tidakkah aku seharusnya sudah jadi traveller blogger? Atau minimal sudah bergabung dengan jaringan backpacker internasional?

Lihat aku sekarang. Terjebak di kota panas nan macet macam Palembang. Oh, aku nggak mengeluh kok. Di kota ini makanannya enak dan aku dianugerahi teman-teman luar biasa baik dan menyenangkan di sini.

Tapi seperti Ossas yang tersiksa kalau belum mencakari kursi, jiwaku akan senantiasa haus kalau belum menjejak kaki di tempat yang belum pernah kudatangi. Hasrat yang akan selalu menunggu dipuaskan.

Padahal travelling nggak sesulit itu juga sebetulnya. Dari sisi finansial sangat mungkin selama aku bisa sedikit mengerem khilaf-ku untuk barang-barang nggak penting. Nggak masalah juga kalau harus nabung dulu dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan tiket dan apapun itu.

Dari segi waktu, baik kuliah dan pekerjaanku sangat fleksibel sekarang. Pun aku juga nggak pernah tergantung sama orang lain untuk menemaniku bepergian. Singkatnya, aku SEBENERNYA bisa pergi kapan saja kalau memang niat.

LHA TERUS KENAPA HIDUPKU BEGINI-BEGINI SAJA?

Jawabannya mendadak muncul begitu saja. Dan amat sederhana.

Jadi selama ini, bertahun-tahun … tanpa sadar aku membendung aliranku sendiri. Aku terbiasa meredam hasrat dan mengalah …, terutama kalau berhubungan dengan sabda papa.

Di awal tadi sudah kusinggung soal papa yang merupakan manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal. Nah, papa itu sosok yang tak segan mendidik anak-anaknya dengan kekerasan, tapi beliau juga orang yang paling mudah menangis. Iya, papaku itu keras dan menakutkan tapi cengeng. Papa nggak segan nabokin aku dan kakakku kalau kami bandel, tapi aku sering memergokinya menangis kalau dengar ada tetangga atau saudara kami yang lagi susah.

Dan … papa yang dari awal paling tahu bagaimana kepribadianku dan bagaimana aku tumbuh, justru yang paling getol melarangku kemana-mana. Jangan harap bisa pergi liburan atau study tour kalau minta izinnya dulu.

Lha izin main ke kebun teh rame-rame di Kepahiang yang cuma 1,5 jam dari rumah kami saja nggak boleh kok. Ada saja alasannya. Banyak kecelakaanlah, jalan rawanlah, bahaya untuk perempuanlah apalah … Makanya, dulu aku sering kucing-kucingan. Atau pergi dulu baru ngomong. Mau dimarahi habis-habisan setelahnya aku nggak peduli, yang penting sudah jalan.

Yah, mungkin memang tipikal seorang ayah. Dimana-mana bakal begitu. Biar dilihatnya ada jiwa air terjun dalam diriku, di matanya aku akan selalu jadi putri kecilnya yang manja. Yang cukuplah dengan bermain ayunan dari ban bekas dan tergantung di pohon-pohon buah yang ditanamnya sendiri.

Oh, satu lagi. Kakakku. Yah, mungkin dia tak benar-benar punya niat jelek, tapi dalam banyak hal, dia itu benar-benar seperti toxic person yang tanpa sadar kerap memunahkan kepercayaan diriku dengan brutal. Dia yang multitalenta plus multitasking itu sering membuatku percaya kalau aku adalah manusia payah dan produk gagal, yang nggak bisa ngapa-ngapain.


___________________________________________

Akhir tahun 2018 lalu, jelang setahun peringatan kematian papa … aku memulai perjalanan solo perdanaku. Ke Jogja. Perjalanan yang kuberi judul “Perjalanan Menantang Tuhan”. Soal ini akan kuceritakan dalam postingan tersendiri kapan-kapan.

Namun salah satu yang kudapat dalam perjalanan itu adalah … aku akhirnya bisa benar-benar berdamai dengan Tuhan karena lelaki terhebat nomor satu-ku sudah diambil-Nya.

Meski awalnya masih seperti kepingan puzzle, kepergian papa bisa kumaknai berbeda sekarang. Lewat obrolan panjang berbulan-bulan dengan seorang kakak sekaligus bestie (Kak Yan, thank you so much), puzzle itu pun akhirnya lengkap.

Aku menerjemahkannya sebagai : Sudah saatnya membongkar bendungan. Kamu harus mulai bermimpi lagi, Ar!

Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku bertualang kemana pun, kecuali Tuhan. (Oh, tapi aku kan bakal selalu minta izin-Nya dulu nanti setiap kali memulai petualangan).

Papaku, aku yakin dia tidak pernah benar-benar berniat melarangku berpetualang. Selama ini beliau kok yang paling memahamiku. Cuma kalah saja dengan rasa khawatirnya yang terlalu besar. Sekarang tidak perlu lagi … toh dia bisa berbicara, memohon langsung pada Tuhan untuk menjagaku.

Kakakku, aku bahagia dia sekarang sudah punya sesuatu yang lain untuk diurusi selain menertawakan mimpi dan meragukan semua kemampuanku. Biarlah dia sibuk sama istri dan anaknya.

Untuk pertama kalinya … aku benar-benar merasa bebas dan bahagia. Aku siap kemanapun.

Tinggal menunggu sinyal izin dan waktu yang tepat dari Tuhan. Dan kemudahanku mengurus paspor beberapa hari lalu benar-benar kumaknai sebagai pertanda baik …

Errr, memangnya kamu mau kemana sih, Ar?

Sudah kubilang, bukan soal lokasinya, karena tujuanku adalah perjalanan itu sendiri. Tapi tidak ada salahnya juga memulai dengan menuliskan ulang mimpi masa kecilku setelah Jogjakarta dan Candi Borobudur berhasil dicoret dari daftar tanpa diduga sama sekali.


Niagara Falls • googlemaps

Ini mimpiku. Niagara Falls alias air terjun Niagara di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. 15.529 km jauhnya dari Palembang. Dan aku lebih ingin masuk lewat sisi Toronto Kanada ketimbang sisi New York.

Tentang mimpiku ini, bukan hanya harga tiketnya yang selangit, apply visa Kanada konon juga bakal sulit banget

Hahaha … memang terdengar mustahil ya kalau sekarang? Tapi kalau bermimpi aja nggak berani, gimana aku mau kuat jalani hidup yang payah ini?

Lagipula ... apa yang tertulis di kitab suci ini benar-benar jadi penghiburanku 😊


Ga ada yang ga mungkin


***
 
"Kenapa Niagara? Ga kejauhan? Memang kalau sudah sampai sana mau ngapain?" tanya mamaku begitu kuceritakan mimpiku ini.

"Ya ga kenapa-kenapa. Pengen aja. Lagian, salah sendiri ngasih nama anak begitu. Sampai sana ya cuma mau foto-foto aja, terus video call mama sambil dadah dadah...," jawabku.

"Punya duit apa kamu?"

"Sekarang sih belum. Tapi kan Bapa-ku Maha Kaya, DIA yang punya semesta ini. Kalau minta sungguh-sungguh, masa nggak dikasih?"

"Ya sudah. Pergilah kalau memang waktunya pergi kelak. Mama cuma bisa bantu doa. Tapi ada syaratnya ..."

"Syarat?"

"Selesaikan dulu kuliahmu!"


Ayayayaye, Captain!! Tanpa disuruh pun, selesaikan kuliah memang tujuan utama untuk saat ini. Berpetualang bisa menunggu, tapi nggak dengan pendidikan.


Nah, kalian. Doakan aku ya ... 😉

2


Demi kenyaman, jika Anda membaca tulisan ini melalui ponsel, ubah dulu setting browsernya ke mode desktop/website dulu ya 😉

Mudahnya urus paspor di kantor imigrasi Palembang

Yuhuu, di postingan ini saya bakal ceritain A-Z pengalaman saya membuat paspor baru di Kantor Imigrasi Kelas I Palembang. Mungkin akan sedikit panjang tulisannya, tapi mudah-mudahan yang baca bisa dapat gambaran detail terkait proses pengurusan paspor terbaru di Palembang tahun 2019 ini.

Check it out, Gaes!

Setelah sejuta tahun rencana bikin paspor berakhir gagal dengan berbagai alasan, di bulan April 2019 ini akhirnya saya punya paspor juga. Perdana. Itu pun harus diancam dulu sama sama Kak Yayan a.k.a Omnduut. “Kalau masih nggak bikin paspor juga sekali ini, kakak diamkan kamu satu jam kalo ketemu!”

Itu sungguh ancaman serius. Didiamkan Kak Yayan sejam sama artinya dengan membuang kesempatan dijajanin bakso, model, es krim Pak Samin, plus cerita update-an film atau buku kece terbaru. Didiamkan sejam itu juga berarti kehilangan 60 menit berharga untuk nggosipin orang lain dengan asyik (woy!).

Ok. Saya ngelantur. Balik ke paspor, setelah bertanya dengan berbagai sumber terpercaya, semedi, dan mandi bunga tujuh rupa campur air tujuh sumur serta tujuh samudera (Halah!) , berikut langkah-langkah mudah mengurus paspor di kantor imigrasi Palembang :

1. Mendapatkan nomor antrean online

Ini penting, karena dari yang saya baca tentang keluhan-keluhan masyarakat terkait Kantor Imigrasi Palembang di ulasan google maps, sepertinya kantor ini tidak melayani sistem antre manual lagi. Seluruh prosedur antrean wajib menggunakan antrean online (mohon koreksi kalau salah).

unduh aplikasi Layanan Paspor Online di Playstore

Caranya gampang kok, tinggal download aplikasi "Layanan Paspor Online" di play store. Lalu sign up dengan mengisi data standar (ikuti saja langkah-langkahnya. Gampang!).

Selanjutnya, pilih jadwal antrean yang tersedia (ditandai dengan kotak berwarna hijau).

Saat saya pertama mendaftar di awal Maret, kuota antrean sudah penuh. Hal ini cukup membuat saya kesal karena dicoba berhari-hari pun masih tetap penuh.

Lalu ada yang menyarankan saya untuk mulai mendaftar di hari Jumat pukul 2 siang. Sudah saya coba, dan antrean masih penuh juga (full merah).

lakangan saya baru tahu, kalau kuota antrean paspor itu di-update setiap 2 Minggu sekali. Ya, betul infonya, di hari Jumat pukul 14.00, namun SETIAP 2 MINGGU SEKALI.

Full green: Penampakan kuota tersedia kalau
baru buka. (IG kantor imigrasi Palembang)

Benar saja, ketika mencoba daftar di hari Jumat berikutnya (tanggal 29 Maret), mayoritas kolom antrean hampir semuanya masih hijau untuk jangka waktu 2 minggu ke depan.

Setelah menyocokkan jadwal, saya pilih antrean hari Kamis (10/4) pukul 09.00-10.00 WIB. Oh iya, satu nomor antrean bisa berlaku untuk 5 permohonan sekaligus. Jadi untuk keluarga atau bareng teman bisa diurus sekaligus.

Sambil menunggu hari H, saya beralih ke step selanjutnya.

2. Menyiapkan dokumen dan syarat yang dibutuhkan

Adapun syarat yang dibutuhkan untuk pengajuan pembuatan paspor dewasa adalah :
Syarat pengajuan paspor • kucingdomestik.co

 

 * E-KTP asli dan fotokopi di kertas A4 (tidak usah dipotong kecil)

* akta kelahiran, surat nikah, ijazah terakhir, atau surat baptis asli dan fotokopi (cukup pilih salah satu dokumen yang di dalamnya terdapat informasi nama, tempat tanggal lahir, dan nama orang tua)

* Kartu keluarga asli dan fotokopi

* Meterai6000

* Paspor lama (jika untuk perpanjangan)
Syarat meterai itu luput saya bawa. Dan ternyata dibutuhkan untuk menandatangani surat pernyataan. Tidak masalah sih, di kompleks kantor imigrasi Palembang ada tempat fotokopian yang menjualnya. Tapi mahal bo’, Rp 10 ribu (eh, apa Rp 12 ribu ya?)

Hadeh, mending bawa sendiri dari rumah. Oh iya, jangan lupa juga bawa pena sendiri karena butuh nanti untuk mengisi formulir.

Sementara itu, kalau untuk yang berusia 17 tahun ke bawah berikut syaratnya :
Syarat paspor anak • IG Kantor Imigrasi Palembang

3. Datang ke Kantor Imigrasi Palembang, ambil formulir dan isi

Sesuai dengan jadwal di aplikasi, saya datang ke kantor imigrasi tanggal 10 April. Karena lokasi cukup jauh dari rumah, saya berangkat cukup pagi, setengah 8.

Sebaiknya memang sampai setidaknya setengah jam sebelum jadwal antrean, karena masih harus mengambil formulir dulu. Lokasi loket formulir di gedung bagian belakang, dekat masjid.

Saat mengambil formulir, harus menunjukkan aplikasi antrean online ke petugas. Sebaiknya sudah dalam posisi log in, sehingga tinggal menunjukkan.


Loket pengambilan formuliri

Saat saya antre, beberapa orang di depan saya baru sibuk log in aplikasi saat diminta petugas, ngambil formulirnya jadi lama. Padahal kalau sudah menunjukkan, petugas akan langsung kasih formulirnya.

Begitu dapat, langsung ke luar ruangan dan isi formulirnya. Jangan lupa tempel meterai di lembar surat pernyataan.

Ga bawa lem? Tenang. Meterai itu sama kaya prangko, cukup basahi sedikit bisa nempel kok. Pakai air minum ya, jangan pakai ludah.

Bukan berarti ga bisa nempel, tapi pliss deh. JOROK TAHU!!!

4. Antre Serahkan Berkas

Setelah formulir diisi, gabungkan dengan semua dokumen persyaratan yang sudah dibawa dari rumah tadi dalam satu map, lalu masuk ke ruang layanan pengurusan paspor (lokasinya persis berhadapan dengan loket pengambilan formulir).

Rupanya saya datang kepagian. Harus benar-benar pukul 09.00 baru bisa ikut antre. Saat itu masih kurang setengah jam. Karena pengunjung tidak terlalu banyak dan masih banyak kursi kosong, saya dibolehkan security menunggu di dalam.

Tepat pukul 9, saya ikut antre menyerahkan berkas. Antreannya manual, tapi cukup tertib dan tidak terlalu ramai (mungkin karena faktor kuota antrean online yang memang dibatasi per sesi).

Setelah menyerahkan berkas, dapat map ini + nomor antrean 

Petugas mengecek dokumen dan syarat yang dibutuhkan, memasukkannya ke dalam map khusus dan memberikan nomor antrean untuk proses wawancara.

“Tolong map-nya sambil dilengkapi sebelum wawancara ya, Mbak,” kata petugas menunjuk bagian depan map yang masih kosong dan harus diisi dengan data diri.

5. Wawancara dan Sesi Foto

Ini saat paling mendebarkan (sekaligus membosankan). Menunggu saat nomor antrean disebut untuk melakukan sesi wawancara.

Prosesnya mirip antre di bank. Ada 4 counter layanan yang buka. 3 counter khusus dan 1 counter prioritas. Memperhatikan counter prioritas ini benar-benar hiburan tersendiri. Bukan manula atau kaum difabel yang mencuri perhatian saya, tapi anak-anak di bawah 2 tahun ini.

Memperhatikan kehebohan para petugas membujuk mereka agar mau lihat ke kamera benar-benar mengundang senyum. Tak sedikit yang menangis atau malah tidur saat waktunya diambil foto. Setidaknya bisa mengurangi kejenuhan menunggu tiba giliran nomor saya dipanggil.

Pemandangan di counter prioritas 

Cukup lama juga saya menunggu. Kira-kira satu jam. Dalam jangka waktu itu, saya kuga memperhatikan proses wawancara orang lain.

Entah faktor sudah terlanjur cemas dan tegang duluan, saya melihat prosesnya lebih parah dari wawancara HRD saat melamar pekerjaan. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan ditanyakan petugas atau berapa lama durasi wawancaranya. Petugas juga terkesan jutek dan seram.

Tapi setelah giliran saya tiba diwawancara, rupanya tidak seseram itu. Sebaliknya, saya amat rileks menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Saya dapat petugas mas-mas yang (sepertinya) baru menikah. Kukunya yang masih penuh Inai jingga terlihat jelas.

Desas desus soal sikap petugas terasa mengintimidasi sih memang iya. Tapi saya maklumi, tanggung jawab mereka kan besar. Siapa yang menjamin kalau warga yang diwawancarai ini ternyata bakal calon TKW ilegal atau bagian dari sindikat penyelundupan narkoba internasional?

Cuma selama kita memang “tidak macam-macam”, proses wawancara juga ga aneh-aneh kok. Saya cuma ditanya mau kemana, urusan apa, kesibukannya apa, benar-benar baru sekali urus paspor? dan sederet hal yang sepertinya cuma ngobrol-ngobrol ala warung kopi.

Tahu-tahu saya sudah diminta scan sidik jari dan langsung foto saat itu juga. Dan ciiisss, berpose syantiek setelah sebelumnya disuruh copot kaca mata terlebih dahulu.

Sampai sempat bengong nggak percaya, sesimple dan sesingkat itu? Saya prediksi cuma sekitar 10 menit. 15 menit paling lama. Luar biasa!

Sebelum meninggalkan counter, saya diberi kertas berupa pengantar pembayaran paspor.


Bukti pengantar pembayaran paspor

6. Bayar dan Tunggu

Biaya pembuatan paspor adalah Rp 355 ribu untuk paspor biasa 48 halaman. Sudah bersih, tanpa biaya tambahan apapun.

Pembayaran bisa dilakukan di bank manapun, tapi kalau ga mau repot, bisa langsung bayar di mobil pos yang setia hadir di kantor imigrasi Palembang ini.

Mobil pos, menerima pembayaran paspor 

Setelah itu beres, tinggal tunggu 3 hari kerja untuk kembali dan ambil paspornya. Meski tertulis 3 hari kerja, saya sarankan setidaknya tunggu seminggu untuk mengambil.

Saya sendiri baru mengambil tanggal (23/4) kemarin karena minggu lalu banyak tanggal merah. Saat kembali ke kantor Imigrasi Palembang, datang sekitar pukul 9 pagi, langsung ke loket pengambilan paspor.

Menunggu sebentar saja, tidak sampai 10 menit, paspor pun sudah di tangan.

Fiuuuhh, senangnya. Bukan hanya tidak ada salah ketik nama atau data diri lainnya, tapi foto saya terlihat cakep. 10 kali lebih cakep dari foto ijazah, dan 100 kali lebih cakep dari foto e-KTP 😹😹😹

Akhirnyaaa... Setelah sejuta tahun , punya paspor juga 😹

Kesan saya tentang Kantor Imigrasi Kelas IA Palembang ...

Luar biasa!

Benar-benar pelayanan kelas I.

Jujur, tadinya sempat skeptis karena sudah banyak cerita tentang kebusukan tempat ini, atau cerita betapa sulitnya (atau dipersulit?) orang-orang saat mengurus paspor.

Tapi rupanya hal itu sama sekali tidak ditemui. Bahkan saya tidak melihat penampakan calo seorang pun.

Kalau soal urusan kelancaran wawancara, yah … mungkin itu balik-balik ke amal perbuatan pribadi masing-masing kali ya? Banyak berdoa saja dapat petugas yang baik hati dan tidak sombong 😹

Cuma saya juga heran lho, ada mbak-mbak yang diwawancara sebelum saya, kayanya prosesnya ribet banget. Diminta nunjukin surat keterangan kerja lah, disuruh nelpon atasannya lah. Beberapa orang lain juga ada yang diminta nunjukin tiket pesawat.

Yah, apapun itu, saya rasa itu tergantung dengan kemampuan kita meyakinkan petugas. Bahwa kita nggak akan “macem-macem” di luar negeri.

Saya sempat ditanya, “sudah beli tiketnya?”

Terus terang saya jawab belum. Tapi saya tambahkan, “justru karena itu pengen bikin paspor, Pak. Jadi kalau dapat tiket yang harganya ok tinggal berangkat!”

Beres.

Nggak usah ngasih keterangan macem-macem atau nggak bener. Karena itu cuma bikin gerak-gerik kita dicurigai. Para petugas itu juga pasti udah belajar psikologis manusia rasanya …

Nggak usah paket calo juga. Lha wong urus sendiri saja gampang banget kok.

Akhir kata, terima kasih Kantor Imigrasi Kelas IA Palembang, pertahankan pelayanan kaya gini ya? Sampai jumpa 4,5 tahun lagi 😽


Nb.
Kalau ada yang kurang jelas atau ingin ditanyakan, silakan colek Instagram Kantor Imigrasi Palembang (@kanimpalembang). Adminnya ramah dan responsif selagi di jam kerja.


Bonus :

Bule unyu yang English-nya lebih parah
dari gw 😹



10

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...