Menu
Tampilkan postingan dengan label married life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label married life. Tampilkan semua postingan


Hal hal yang berubah dari Nugisuke setelah menikah

April ini, usia pernikahan saya dan Nugisuke udah 7 bulan. Akhirnya, lebih setengah tahun dan menginjak semester kedua. Iyaaa, masih terhitung seumur jagung banget meski udah mulai terasa aneh di kuping kalau ada yang bilang kami manten anyar. Dibanding dengan saat masih single atau awal-awal pernikahan, suami saya ini lumayan banyak berubah setelah menikah.

Nah, dalam rangka merayakan monthversary kami (hilih), saya memilih menulis postingan ini untuk mengabadikan momen tentang suami tercinta. Agar suatu saat nanti bisa dibaca lagi, entah untuk mencari kekuatan untuk bertahan di masa sulit, atau sekadar untuk membangkitkan memori senyum dan bersyukur atas hari-hari yang sudah kami lewati berdua.

Cukup intronya, langsung saja, berikut hal-hal yang berubah dari Nugisuke setelah setengah tahun menikah dalam Ragi Story ~ a Journey to Stay Happy :

1. Lebih Berisi

Ara~Nugi sebelum dan sesudah menikah

Kadang definisi cinta itu adalah menggendut bersama. Wkwkwkwk.

Kalau tidak membandingkan foto-foto Nugi saat masih bujangan, saya tidak terlalu notice sih kalau tubuhnya tambah berisi sekarang. Tapi saya sendiri juga melar sih.

Sebetulnya kalau dari porsi makan biasa saja. Rasanya kami nyaris tidak pernah makan berlebihan. Sesekali makan di luar namun tetap didominasi makanan rumahan yang selalu diupayakan memenuhi menu gizi seimbang.

Satu-satunya biang kerok penyebab melarnya tubuh kami adalah kemageran akut. Saya dan Nugi harus akui, sejak punya Ao (motor baru kami), kami jadi kian malas bergerak. Apalagi olahraga. Dulu saat awal menikah masih rutin jalan-jalan tipis di sekitar sawah atau keliling kampung, sekalian menikmati pemandangan dan udara segar. Kadang kalau belanja pun sengaja pilih rute yang agak jauh biar bisa jalan kaki lebih lama.

Sekarang nyaris nggak pernah. Ya ampun … kalau tidak mau kebablasan obesitas, sepertinya kami sudah harus segera rutin berolahraga lagi. Demi kesehatan dan kebugaran juga tentunya mengingat faktor U juga mulai berpengaruh.

Tolong doakan niat ini agar segera direalisasikan dan bukan sekadar angan-angan ya ...

2. Tidak (Terlalu) Idealis Lagi

Saat staycation di Ramada Suites Solo

Nugisuke dengan Blog  thetravelearn.com -nya selama ini punya personal branding sebagai traveler dan hotel reviewer. Nugi yang dulu cenderung idealis, dia berdedikasi mempertahankan niche travel dan hotel reviewer di blog maupun akun media sosialnya semaksimal mungkin.Nugi yang dulu juga tak segan menolak tawaran paid promotion yang berpotensi "merusak" blognya.

Tapi lihatlah sekarang, blognya mulai "kacau" dengan banyaknya postingan yang sebenarnya bukan-Nugi-banget. Meski tak sampai bikin Nugi kehilangan identitas asli sepenuhnya, tetap saja, Nugi berubah. Dia tak seidealis dulu lagi.

Dan saya tahu persis alasannya. Semata karena Nugi sangat paham kalau sekarang dia tak hanya menghidupi diri sendiri, tapi sudah punya istri yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebetulnya gaji bulanan Nugi sebagai budak korporat sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kami berdua tanpa Nugi harus mengorbankan idealisme blognya. 7 bulan kami berumah tangga, rasanya belum pernah sekali pun kekurangan apa yang mau dimakan atau dipakai.

Tapi buat Nugi itu belum cukup. Kata Nugi, kami berdua masih punya banyak mimpi yang harus diwujudkan. Men pride Nugi diam-diam juga kerap terluka ketika dilihatnya saya harus menahan diri nunggu gajian atau fee cair dulu kalau mau beli sesuatu. Dia berulang kali bilang ingin segera mencapai kemerdekaan finansial, sehingga bisa lebih maksimal menyejahterakan rumah tangga kecilnya, sekaligus menyokong kebutuhan hidup orang tua kami yang usianya beranjak senja.

Meski menyayangkan nasib blognya, tapi saya tidak bisa menyalahkan Nugi sepenuhnya. Bukan salah Nugi kalau dia ingin jadi suami yang lebih bertanggung jawab. Bukan salah Nugi kalau dia ingin membahagiakan saya, istrinya. Bukan salah Nugi kalau dia ingin tetap berbakti pada orang tuanya. Dan bukan salah Nugi kalau dia punya banyak rencana juga mimpi-mimpi masa depannya.

Melihat Nugi sampai segitunya, saya cuma bisa berdoa agar kondisi finansial kami segera settle. Income yang lewat saya juga semoga bisa lebih banyak, biar Nugi tidak terus-terusan mengkhawatirkan isi keranjang akun marketplace saya.

Dengan begitu, Nugi tidak perlu lagi "merusak" blognya dengan job-job receh yang malah bikin dia kehilangan identitasnya.

3. Lebih Berani Melawan Ara

Ape lo ape Lo!

Beneran lho ini. Di awal menikah, seperti yang sudah saya singgung di postingan ini, Nugi itu tipe Yes Boy. Dia akan iya iya saja terkait apa saja yang saya bilang demi menghindari konflik. Maklum, produk Jogja gaes, harus meladeni istrinya yang mulutnya produk pesisir Sumatera ini. Bisa apa dia?

Di masa itu, saya sangat yakin Nugi bakal aktif misal tergabung dalam organisasi atau komunitas macem Ikatan Suami-Suami Takut Istri🤣

Tapi sekarang, Nugi sudah berubah gaes. Dia tidak inggih inggih lagi sekarang. Sudah berani mendebat, berargumen, bahkan tidak segan menolak apapun yang saya putuskan sebelah pihak dan dia ga sreg. Nugi bukan lagi yes boy-nya Ara.

Perlahan namun pasti, dia makin meresapi perannya sebagai kepala rumah tangga secara utuh. Makin jelas kalau dia tidak mau menyerahkan posisinya sebagai leader di rumah ini kepada siapapun, bahkan kepada istrinya yang super galak dan sering kesurupan reog ini.

Perubahan yang sungguh bikin saya terharu dan bangga. Bikin saya kian yakin kalau saya tidak menikahi pria yang salah.

Nugi memang makin berani melawan saya, untuk hal-hal yang menurutnya tidak benar. Tapi dia melakukannya masih dengan cara  super lembut khas mas mas Jogja. Tanpa tarik urat leher, tanpa kata-kata mutiara, dan tentu saja tanpa main tangan sama sekali.

Kelembutan dan kesabarannya tidak sirna, bahkan seiring waktu kian bertambah. Inilah yang pada akhirnya selalu meluluhkan sisi emosional berlebih seorang Ara.

Semakin hari, kami makin lihai berdebat dan bernegosiasi dengan lebih elegan untuk menyelesaikan setiap konflik. Belum sempurna, tentu saja. Kadang masih ada momen-momen "kelepasan", tapi sudah jauh membaik dari triwulan pertama.


4. Sudah Bisa Pasang Badan untuk Ara



Saat baru menikah, masih di minggu-minggu awal kami serumah, saya dan Nugi sempat ada ribut besar. Saya berkonflik dengan keluarga Nugi perkara kesalahpahaman. Respon Nugi? Dia auto di pihak keluarganya dan menyalahkan saya dong. 3 lawan 1 gaes.

Apakah saya terus nangis-nangis minta dipulangkan ke Palembang? Oh, tentu tidak, Esmeralda! Justru saya yang "ngusir" Nugi dari kontrakan kami. Saya minta dia pulang ke tempat orang tuanya, ke keluarganya. Saya minta dia ambil waktu sebanyak yang dia perlukan, dan silakan kembali kapan saja saat dia sudah benar-benar siap berumah tangga.

Di mata saya saat itu, Nugi belum siap menjadi suami seorang Ara. Dia masih berat ke keluarganya. Memang tidak bisa disalahkan juga sih, keluarga kandung jelas segalanya buat Nugi. Tapi jujur saja, saya tidak mau serumah dengan suami macam itu. Buat saya, suami yang tidak bisa memberikan rasa aman ke istrinya itu suami yang belum beneran suami.

Tapi ternyata Nugi hanya kembali ke rumah ibunya beberapa hari saja, setelah itu dia pulang ke kontrakan petak kami dengan permintaan maaf dan perubahan sikap yang nyata.

Setelahnya, Nugi nyaris selalu berdiri di pihak saya ketika ada konflik dengan orang lain. Bahkan ketika menurutnya saya yang salah. Dia akan menegur dan mendidik saya di dalam rumah, tapi ketika menghadapi "dunia" dan segala masalahnya, dia selalu di sisi saya.

Lalu beberapa hari lalu, Nugi mendadak berbicara sangaaaattt ketus pada seseorang yang sebetulnya sangat dia hormati. Saat saya tanya kenapa, Nugi bilang dia tidak suka cara seseorang itu bertanya pada saya dengan nada mengintimidasi. Jadi perlu diberi pelajaran sedikit.

Padahal, saya merasa tidak ada masalah lho. Ya, cara orang itu bertanya memang bikin tidak nyaman sih, tapi rasanya tidak perlu juga kalau sampai diganjar keketusan Nugi sedemikian rupa. Saya masih bisa handle sendiri.

Tapi tentu saja saya berterima kasih dan mengapresiasi tindakan Nugi. Itu momen di mana saya merasa Nugi benar-benar makin matang sebagai seorang suami. Dia betul-betul pasang badan untuk saya tanpa diminta. Spontan begitu saja. Dan … Nugi terlihat seperti sosok berbeda. Saya masih sulit percaya kalau dia masih lelaki yang sama dengan yang saya suruh kembali pada ibunya berbulan bulan bulan lalu.

Tapi itu beneran Nugi. Nugi yang sama. Nuginya Ara, yang semakin hari semakin dewasa saja

***


Perubahan adalah keniscayaan. Segala sesuatu yang bertumbuh akan berubah. Tak terkecuali Nugi (juga saya). Jika seseorang tidak berubah, maka artinya dia berhenti tumbuh. Dan kalau sudah demikian, proses pembusukan pun dimulai.

Menikah benar-benar mengubah banyak hal. Disadari atau tidak. Disukai atau tidak. Diinginkan atau tidak. Perubahan apsti terjadi. Tinggal ke arah mana perubahan terjadi. Kian membaik kah? Atau justru memburuk? Siapkah kita menghadapi semua perubahan itu?


Salam dari Jogja yang istimewa, seistimewa kalian yang masih berkenan meninggalkan jejak di postingan ini.


<to be continued>


Bonus :

Otin dan Ojan, anak baru kami


3


Alasan Uang dan LM adalah Kado Pernikahan Terbaik


Waktu saya dan Nugi menikah bulan September lalu, saya sudah woro-woro ke teman terdekat untuk tidak memberi kado pernikahan berupa barang. Saya terang-terangan buat pengumuman di media sosial kalau akan sangat berterima kasih jika mereka berkenan memberi "mentah"nya saja alias uang tunai atau transferan. Jika memang segan atau canggung sekali memberi uang, yah, Logam Mulia (LM) boleh lah. Buat saya LM sama saja dengan uang tunai, hanya berubah bentuk saja.

Bagi sebagian orang, hal yang saya lakukan ini mungkin tabu atau malah dianggap tidak tahu malu. Sudah untung ada yang mau ngasih, kok malah ngelunjak. Bukankah kado dan hadiah itu tergantung keikhlasan si pemberi?

Namun saya yang punya alasan kuat dan tahu apa yang terbaik untuk diri saya sendiri ini sudah siap dengan segala risiko dikata-katain atau dirasani dalam bentuk apapun. Ketimbang tetap menerima kado berbagai bentuk tapi tidak terpakai, ye kan?

Nah, langsung saja, berikut Alasan-alasan Uang dan LM adalah Kado Pernikahan Terbaik versi Mommy Ossas, Si Emak Kucing Kampung :

1. Setiap Orang Punya Favoritnya Sendiri

Setiap orang punya favorit terkait barang yang akan dia pakai. Entah brand atau warnanya.

Pengantin baru (terutama wanita), seringkali sudah merancang akan mendekor sedemikian rupa tempat tinggal barunya dengan suami. Kamar tidur bernuansa abu-abu, dapur hijau lumut, ruang tamu hitam-putih, dlsb.

Namun kado barang yang diterima umumnya membuyarkan semua rancangan itu. Dapat kadonya malah bed cover warna jingga menyala, gelas mama papa warna ungu buah naga, bingkai foto motif Keropi dan bunga-bunga, dst.

Kasus lain, sudah kepingin sekali ricecoocker merk A sejak lama, eh dapat kadonya merk B yang jauh dari harapan si pengantin baru. Entah speknya di bawah standar, atau pilihan warna dan modelnya tidak sreg. Intinya tidak sesuai selera, tidak cocok dengan hati. Mau tidak dipakai mubazir, nekat dipakai kok bikin sepat mata.

Nah, hal semacam ini tidak akan terjadi jika kadonya berupa uang. Si pengantin baru akan bebas memilih barang sesuai dengan keinginan dan seleranya.

2. Tidak Mubazir

Masih berkaitan dengan poin no 1, kado barang seringkali tidak dibutuhkan oleh pengantin  baru. Atau dibutuhkan, namun ada yang memberi suatu barang yang sama lebih dari satu orang.

Saya pernah membantu seorang teman membuka kado-kado pernikahannya, dan dia menerima banyak sekali handuk dan bed cover. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Bukannya tidak bersyukur, namun harus diapakan handuk dan bed cover sebanyak itu?

Mau disimpan makan tempat, mau dijual atau diberikan orang lain lagi tidak enak hati karena bagaimana pun itu pemberian. Tidak etis dipindahtangankan begitu saja. Pada akhirnya kado-kado itu hanya teronggok mubazir, didiamkan tak terpakai bahkan hingga bertahun-tahun kemudian sampai dimakan rayap.

Lain halnya jika dalam bentuk uang tunai. Pengantin bisa menyeleksi sendiri barang-barang sesuai dengan kebutuhannya dan tinggal pilih mau beli yang mana.

3. Praktis

Beberapa teman saya masih ada yang memberi saya kado barang, kemungkinan karena tidak tahu bahwa saya sudah woro-woro di sosmed minta di"amplop" atau dikirim LM saja. Namun dengan berat hati, hampir semuanya saya tinggalkan kado-kado tersebut di Palembang karena sangatlah repot membawanya pindah ke Yogyakarta.

Setelah sampai di Jogja, Mbak Rianti, seorang teman sesama blogger malah ada yang ingin memberi kami kado mesin cuci. Beruntung dia konfirmasi dulu, sebab rumah kontrakan kami masih berupa rumah petak. Hanya ada satu ruangan, satu kamar mandi, dan teras yang ukurannya tidak luas-luas amat.

Meski mesin cuci adalah barang yang sangat kami butuhkan, namun kondisi tempat tinggal kami sekarang belum memungkinkan untuk punya mesin cuci. Untunglah, setelah kami jelaskan kondisinya, Mbak Rianti berkenan mengalihkan kado mesin cucinya dengan transferan bank.

Well, tidak masalah jika pengantin baru punya rumah luas atau gudang tersendiri untuk menampung kado-kado barang yang belum terpakai. Jika kondisinya seperti kami? Ribet cuuuyy!

Nah, uang dan LM adalah kado yang jauh lebih praktis dan jelas tidak makan tempat, bukan? No ribet ribet club meski harus pindah ke kota mana pun dengan tempat tinggal sekecil apa pun.

4. Bisa untuk Tabungan dan Investasi

Pernikahan sesederhana apapun akan tetap membutuhkan uang. Kado berupa uang akan sangat terasa sekali manfaatnya bagi para pengantin. Bisa buat nambah-nambahin biaya sewa tenda atau dekorasi atau malah biaya honeymoon.

Jika semua kebutuhan pernikahan sudah terpenuhi, uang dan LM masih tetap bisa jadi tabungan atau investasi. Jelas lebih bermanfaat untuk hari-hari pengantin ke depan kan?

___________________________________

Ada yang mau menambahkan alasan uang dan LM adalah kado pernikahan terbaik?

Tidak masalah lho jika ada yang tetap menganggap kado barang di hari pernikahan lebih baik. Saya dan Nugi saja berbeda pendapat kok soal ini. Meski Nugi juga mengakui kado uang dan LM lebih sesuai dengan kebutuhan para pengantin baru, namun dia sama sekali tidak menolak kado-kado berupa barang.

Nugi tipikal orang yang memberi nilai pada barang, sementara saya lebih melihat sisi manfaatnya. Nugi betah mengoleksi barang-barang yang menurutnya punya kenangan, tapi menurut saya sudah layak dibuang karena bikin rumah penuh dan berantakan.

Nah, kalau kalian, lebih suka kasih kado uang atau barang?

Apapun pilihanmu, sebaiknya saat memberi hadiah pikirkanlah dari sudut pandang si penerima. Jangan egois memilih barang tertentu hanya karena kamu INGINnya kasih itu. Terlebih jika sampai memaksakan selera sendiri ketimbang selera di penerima.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya...

Salam dari Jogja yang selalu istimewa, seistimewa kalian yang berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar.

Bonus : 




5


Ragi Story #RagiStory


Yosh, dua bulan berlalu sejak saya dan Nugi resmi menjadi sepasang suami istri. Masa-masa indah, mesra-mesraan, honeymoon khas pengantin baru katanya. Saya cuma nyengir kuda. Iya sih, banyak yang indah, tapi bukan berarti sama sekali tanpa masalah. Bunga-bunga boleh bermekaran, tapi munculnya duri juga kadang tak terhindarkan.

Di tulisan kali ini, saya mau sharing soal masalah-masalah yang terjadi di dua bulan pertama pernikahan. Apa yang saya tuliskan bisa dialami pasangan yang lain, bisa juga tidak. Issokee, setiap rumah tangga itu punya kisah sendiri kan?

Langsung saja, berikut 5 masalah di dua bulan pertama pernikahan versi #RagiStory, it's our story, a journey to stay happy.

1. Adaptasi



Di balik kemesraan, ada proses adaptasi yang ga gampang


Saya sudah tahu masalah adaptasi ini akan jadi PR sejak jauh sebelum menikah. Saya sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun tetap saja, ketika harus menghadapi langsung, rasanya cukup arrrggghhh juga ternyata.

Adaptasi ini meliputi segala aspek. Mulai dari ber-culture shock ria dari kehidupan "bar bar" Sumatera ke "Inggih inggih" Jogja, hingga berdamai dengan kebiasaan atau pola pikir pasangan yang bertolak belakang dengan diri sendiri.

Saya tahu, tidak mudah untuk Nugi menerima sprei kamar kami bisa SANGAT awut-awutan kalo saya yang tidur (atau goleran), lalu malas merapikannya lagi. Saya juga masih harus belajar banyak-banyak "istighfar" kalo Nugi luluran dulu setiap mandi, atau ngitungin nasi dulu setiap makan.

Saat menghadapi situasi yang tidak sesuai ekspektasi di luar sana, Nugi capek lihat saya over-react dan pengennya nge-gas terus, sementara saya frustrasi lihat Nugi memilih jalur diplomasi untuk hal-hal yang harusnya lebih pas untuk "langsung tonjok" sekalian.

Namun adaptasi terberat justru bukan ketika menghadapi faktor eksternal (pasangan, orang lain, lingkungan, dll), namun justru di proses internal alias diri sendiri. Ini yang luput saya dan Nugi persiapkan dengan porsi lebih sebelum pernikahan.

Kami ternyata sama-sama butuh waktu untuk menerima kalau kami sudah menikah. Yang berarti harus merelakan nyaris segala privilege saat masih single. Ini benar-benar berat karena yang dilawan adalah diri sendiri.

Kami gantian aja down, terutama di bulan pertama. Kami sama-sama tertekan "merindukan kehidupan single". Bedanya, saya lebih ekspresif, ditambah mental yang belum stabil, saya pun meledak. Tercatat di 3 kali weekend berturut-turut emosi saya meledak tak terkontrol.

Sebaliknya, Nugi tipe yang mendem. Dia diam, selalu diam. Tapi saya tahu dia sama tertekannya seperti saya. Ada satu momen ketika saya meledak, Nugi juga terduduk menangis sesenggukan. Dan entah gimana saya tahu, di momen sekali itu Nugi tidak menangis karena saya, atau frustrasi ngadepin kelakuan saya, namun lebih karena sudah nggak tahan dengan apa yang dia pendam sendiri selama ini.

Manusia bukan robot. Selempeng-lempengnya, sewoles-wolesnya, manusia selalu punya batas memendamnya sendiri.

Tips saya untuk kalian yang belum menikah dan akan menikah, sempatkan lah diri terlebih dahulu untuk say goodbye yang proper dengan kehidupan singlemu. Ini bukan soal bridal shower atau pesta bujangan yang terkesan "ceremonial" dari luar, namun lebih ke dalam dirimu. Personal dan intim. Hanya kamu dan dirimu.

Karena sebahagia apapun saat menyambut dan memasuki pernikahan, faktanya menikah memang mengubah banyak hal. Bahkan tak sedikit pula yang harus direlakan dan hilang.

Sekuat apapun mental kita, proses kehilangan dan mengikhlaskan itu tidak pernah gampang. persiapkan diri kita lebih untuk ini.


2. Komunikasi


Suatu hari saya ngomong ke Nugi untuk yang ke-sejuta kalinya soal cara jemur baju.

"Mas, kalo jemur dalemanku, tolong jangan diumbar-umbar. Bisa diselipkan di sela baju, yang penting jangan langsung kelihatan orang. Malu..."



"Iya, " jawab Nugi sambil tetap menjemur seperti ini.



***

Well, udah banyak yang bahas sih ya, kalau soal komunikasi ini. Saya dari pacaran sama Nugi, ngomong blak blakan aja masih suka salah salah paham… apalagi kode-kodean. So, sebisa mungkin kami nggak main kode-kodean dalam bentuk apapun.

Saya merasa komunikasi saya dengan Nugi sudah terbangun cukup baik selama pacaran. Kami sama-sama suka ngobrol dan terbiasa berbicara tentang apapun termasuk perasaan masing-masing. Tapi tetap saja ada duri-duri kecil yang rasanya masih saja terus mengganggu.

Di samping masih suka amazed dengan bisa segitu njomplangnya perbedaan pola pikir antara laki-laki dan perempuan, masalah saya terkait komunikasi adalah terlalu emosional. Sulit sekali ngomong biasa tanpa nge-gas atau air mata.

Sementara Nugi… tipikal yang selalu menghindari konflik. Nugi itu tipe yes boy, yang auto iya-iya misal saya bilang sesuatu sekalipun dia ga sepakat. Dia bilang "iya" demi bikin saya berhenti ngomel. Padahal di belakang, ya nggak dilakukan juga "iya"-nya itu karena punya pemikiran sendiri.

Ini bikin saya frustrasi. Buat Nugi itu demi menjaga stabilitas dan kedamaian rumah, tapi buat saya itu sama aja bohong. Dan saya lebih suka diajak debat dan adu argumen sekalian ketimbang dibohongi. Iya bilang iya, enggak bilang enggak. Lebih dari itu berasal dari si jahat. Hohoho…

Tapi ya namanya juga lelaki Jogja yang terbiasa unggah ungguh, memang ga bisa juga sih ya ujug ujug langsung nyablak kaya wong Palembang. So, kalau sudah begini, memang balik ke poin satu tadi : adaptasi.

Ya. Kami masih berproses untuk mencari formula yang paling enak, jalan tengah terbaik untuk mengatasi masalah komunikasi yang kaya gini. Semangat! Pasti bisa!


3. Finansial



Saya bersyukur dengan segala drama lamaran dan pemberkatan kami di dua kota (Palembang dan Jogja), kami nyaris tidak meninggalkan utang. Kecuali sedikit tagihan CC Nugi yang saat itu terpakai untuk tiket pesawat keluarganya dan bisa segera dilunasi.

Sesuai ekspektasi, rangkaian pernikahan sederhana sesuai kemampuan, dan tidak meninggalkan beban finansial setelahnya. Kami cukup percaya diri ketika memulai pembukuan. Dengan coret-coretan kasar rencana anggaran bulanan, kami optimis kalo uang dan gaji kami akan lebih dari cukup untuk hidup sampai payday selanjutnya.

Kenyataannya?

Baru tengah bulan, saldo kami minus dong 😂😂😂

Baru tanggal 13, saldo sudah minus 😂

Meski kata Alkitab jangan khawatir tentang apa yang kamu makan atau pakai, ngeliat saldo udah minus ratusan ribu aja sementara tanggal gajian masih lama bikin panik juga. Ada rasa frustrasi juga karena merasa gagal mengelola keuangan. Padahal gaji seorang content director Bandung untuk standar hidup di Jogja HARUSnya kan bukan cuma sekadar cukup ye kan, tapi surplus plus plus plus. Ini malah minus 😭😭😭

Beruntung, kami punya pembukuan sederhana yang mencatat setiap aliran dana masuk dan keluar di rumah tangga kami. Dari sana, kami mulai analisa apa yang salah. Bagian mana yang ga pas. Keran mana yang bocor sehingga harus segera ditutup?

Hasil analisa kami, ada beberapa faktor yang bikin saldo kami minus padahal merasa diri sudah tidak boros-boros amat dan biaya hidup kami sehari-hari "segitu-gitu aja". Rupanya ada banyak pengeluaran untuk perabotan baru untuk kebutuhan awal tinggal di kontrakan kami. Kompor dan teman-temannya itu harganya sekilas terjangkau, bahkan beberapa item sangat murah, namun lumayan menguras anggaran rupanya.

Lalu ada biaya transport kami saat Nugi harus menjemput saya di Palembang setelah mengantar mama. Juga tagihan rutin bulanan yang harus dibayar bareng di waktu berdekatan (kos Nugi di Bandung, tagihan CC, BPJS, asuransi, termasuk persepuluhan untuk gereja, dll).

Sebagian besar memang "bukan salah kami". Ya sudah kebutuhannya saja begitu Namun harus diakui, ada juga sejumlah "kekhilafan" yang sepenuhnya tanggung jawab kami. 

Jadi, entah bawaan selama ini LDR dan nyaris nggak pernah merasakan pacaran yang proper atau memang masih banyak bunga-bunga cinta manten baru, kami rupanya cukup sering ngedate dan makan di luar. Well, tidak sering-sering amat sih sebetulnya, tapi karena bulan pertama kebutuhan lain betul-betul membengkak, jadinya biaya ngedate ini terasa cukup menguras saldo.


Asyik jalan dan kulineran terus, sampai ga sadar saldo udah minus

Yah, karena nasi sudah kadung jadi bubur, kami cuma bisa memohon pada Sang Tukang Bubur Agung itu agar bubur kami ditambahin suwiran ayam, bawang goreng, dan daun seledri biar tetep enak dimakan. Kami minta tolong pada Papi di Surga, agar kami bisa melewati bulan ini. Disertai janji dan komitmen kalau next akan lebih bijak lagi mengatur keuangan.

Sungguh, Puji Tuhan, penyertaan-Nya sungguh nyata di kehidupan rumah tangga kami. Tangan-Nya ga kurang panjang untuk ngasih makan kami lewat berbagai jalan. Angpao-angpao susulan, invoice yang cair, job-job receh namun cairnya instan, promo Shopee food, dll menyelamatkan kami bulan itu. Surprisingly, di akhir bulan saldo kami malah surplus dan masih bisa nabung. Ya, matematika Tuhan memang kadang terlalu ajaib untuk dimengerti.

*

Selain masalah kontrol keran pengeluaran, ada masalah finansial yang kami hadapi lagi yakni transparansi dan perkara penentuan skala prioritas. Ada satu momen saya meledak marah ke Nugi karena dia mengirim dana tagihan listrik rumah mamak tanpa sepengetahuan saya.

Tolong digarisbawahi, TANPA SEPENGETAHUAN SAYA. Tranparansi buat perempuan itu mutlak hukumnya. Tranparansi juga adalah syarat yang saya minta ketika waktu masih pacaran kami memutuskan bahwa semua uang nanti Nugi yang pegang begitu menikah. 
Saya nggak masalah lho Nugi kasih orang tua berapa pun asal duitnya ada, toh itu juga dia yang cari, terserah mau buat apa. Tapi apa susahnya sih bilang dulu? Saya kalau Nugi udah "ngumpet-ngumpet" begitu jadi overthinking, apa image saya sejahat itu sampai kamu mikir saya akan larang kalau bilang dulu? Apa saya segitu ga bisa dipercaya-nya ya? Saya ini dianggap apa sih sebenernya sama kamu, dll, dsb, dst, dkk. Panjang ayatnyo kalo kata orang Palembang.

Saya juga sangat tersinggung ketika Nugi dengan entengnya minjemin uang 100 k ke kerabat, padahal saldo pembukuan kami sudah di ambang minus. Meski dia izin dulu ke saya, dan saya ga kuasa menolak, di mata saya Nugi sudah keliru menentukan skala prioritas. Saat itu jatah belanja harian saya yang biasa 50-100 k saja sudah dipangkas jadi 30 k karena sudah tahu harus berhemat. Tapi kok bisa-bisanya keluar 100 k buat orang lain. Buat saya Nugi sudah berlaku tidak adil. 

Penentuan skala prioritasnya harus diluruskan dulu. Rumah tangga sendiri dulu, baru ortu dan keluarga, baru yang lain. Syukurlah ketika masalah ini kami bicarakan baik-baik, Nugi mengakui kesalahannya. Dia tidak bermaksud jahat atau tidak adil ke saya, namun memang masih perlu waktu beradaptasi. 

Nugi berjanji akan lebih memprioritaskan keluarga kecilnya terlebih dahulu dan tidak akan "ngumpet-ngumpet" lagi. Tentu saja Nugi ga cuma omdo. Nugi berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Sekarang dengan kondisi keuangan kami yang mulai stabil, Nugi bahkan sudah macam sugar daddy-nya Ara. 

Saya minta apa selalu iya, selalu oke. Kadang, saya malah harus mengingatkan Nugi untuk pisahkan langsung yang pos khusus untuk orang tua biar ga kepake untuk yang lain-lain.


Ada sedikit tips yang saya dapat dari mendiang Mbah Kakung saat masih hidup terkait ngasih orang tua setelah menikah yang saat ini kami praktikkan. Kalau mau ngasih ortu suami, sebaiknya istri yang menyerahkan. Sebaliknya, kalau mau kasih ortu istri, suami yang menyerahkan. Penjelasannya sederhana, seorang anak kalau baik sama ortu sendiri itu biasa, tapi menantu yang baik akan jadi penghiburan luar biasa untuk para mertua.


4. Keluarga Besar


Keluarga besar kami yang kecil


Soal ini pengen saya bahas di postingan sendiri karena complicated. Tapi intinya begini, benar kalau orang bilang ketika menikah itu bukan cuma harus siap menikahi pasangan, tapi juga seluruh keluarganya.

Yang rempong pas hari H ga cuma mempelai, tapi keluarga besar juga. Yang perlu adaptasi dan menerima kenyataan kalau kehidupannya berubah itu nggak cuma mempelai, tapi keluarga besar juga.

Semacam itulah. Ada banyak emosi. Ada banyak kegelisahan terkait keluarga besar ini. Baik dari keluarga saya maupun keluarga Nugi.

Tips dari saya untuk yang belum nikah terkait ini, tinggallah sejauh mungkin dari keluarga besar masing-masing saat baru menikah (kalau memungkinkan) kelak. Proses adaptasi dalam rumah sendiri aja sudah cukup berat untuk dihadapi soalnya. Tinggal jauh dari keluarga besar akan kasih kita ruang dan waktu untuk lebih leluasa menata diri serta hati demi menerima dan berdamai dengan semua perubahan yang menguras energi.

Kata orang tua dulu gitu kan? Jauh bau wangi, dekat bau tahi 😂😂


5. Seks


Part ini juga sesungguhnya ingin dibahas sendiri juga. Tapi saya masih maju mundur. Masih bingung juga apakah yang seperti ini patut diulas untuk publik?

So, saya dan Nugi juga mengalami masalah ranjang. Saya yakin, kalau saya sharing soal ini, akan ada banyak pasangan baru yang mungkin mengalami masalah seperti kami ini akan terbantu. Karena puji Tuhan, kami sudah berhasil mengatasinya. Kalaupun tidak, semoga bisa kasih pesan "hey, you're not alone, dear... "

Tapi untuk saat ini, saya belum siap mental untuk bahas ini. Cuma bisa kasih spoiler sedikit, bahwasannya urusan seks itu bisa amat sangat bikin frustrasi banget ternyata, terutama untuk para newbie.

Ketika masih single dan lagi sange suka berpikir, enak ya kalau udah nikah bisa bebas ngewe, ga ada beban, kapan aja bisa, ga perlu takut misal jadi anak… oh, sekarang saya sungguh mau bilang, tidak semudah itu, Ferguso!

Seks. Tidak. Sesederhana. Itu.

Kalau pengantin baru bisa lancar dan langsung bisa menikmati hubungan seksual, maka bersyukurlah. Itu anugerah. Nggak semua pasangan seberuntung itu.

Ketika galau menghadapi masalah ini, saya memberanikan diri curhat kepada seorang sahabat cewek yang sudah lebih dahulu menikah. Saya butuh pelukan seorang teman dulu, sebelum harus konsultasi ke profesional (misalnya perlu banget). Surprisingly, sahabat saya ini ternyata mengalami masalah yang sama, bahkan belum teratasi sampai sekarang meski sudah hitungan tahun menikah. 

Ini bikin saya berpikir, jangan-jangan masalah ini sebenernya cukup umum ditemui, hanya tidak ada (atau jarang sekali) yang mau membahasnya terang-terangan. Tahu lah ya, orang kita kaya'nya masih susah bedain seks edukasi dengan konten porno. 

Btw, boleh kok kalau mau menebak-nebak dulu apa persisnya masalah ranjang kami ini, tapi kalau saya ditanya masalahnya di saya atau Nugi, saya pastikan jawabannya : keduanya.

Tapi masalah yang sempat kami alami ini membuat saya kian mengerti, kenapa hubungan seks memang sebaiknya baru dilakukan dalam ikatan pernikahan kudus. Karena ketika hubungan seksual dilakukan dengan tidak hanya bermodal nafsu, seks memang benar jadi sekudus, semanis, dan seindah itu.

Saya dan Nugi sama-sama menyebutnya : kado. Kado yang teramat manis, terlebih karena harus berjuang dan nangis-nangis dulu sebelum membukanya. Hehe... 


Mau berapa ronde malem ini, Om? 

Penutup

Pernikahan kami baru seumur jagung. Jalan kami masih panjang. Cerita kami baru dibuka. Belum ada apa-apanya.

Tapi ini sudah cukup untuk mengerti, bahwa segala sesuatu ada musimnya. Bunga ga selamanya mekar, duri-duri juga ga selalu melukai. Ada hikmah dari musibah, ada berkat di balik persoalan.

Tulisan ini dibuat sebagai pengingat cerita sekaligus penyeimbang, karena di sosmed kami sepertinya kebanyakan pamer bunga-bunga kemesraan. Saya cuma bisa bilang, aslinya ga selamanya begitu.

Jangan cuma terjebak dengan ilusi gemerlapnya pemberkatan atau resepsi, sampai habis segala energi dan upaya untuk satu hari itu.

Jangan menikah kalau cuma mau lari dari masalah. Atau cuma bosan dengan kehidupanmu yang sekarang. Percayalah, kalau begitu nanti cuma akan semakin bosan dan masalahnya akan berlipat-lipat.

Menikahlah saat sudah menemukan orang yang tepat. Menikahlah dengan kesiapan. Menikahlah di waktunya Tuhan.


Salam dari Sleman,

Bonus : 

Marco alias Komar, anabul ibu kontrakan yang tiap hari mampir nagih jatah keamanan tikus

12

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...