Menu
Tampilkan postingan dengan label RagiStory. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RagiStory. Tampilkan semua postingan

Proses membeli sepeda motor secara cash di rumah tangga yang baru seumur jagung memberi banyak pelajaran buat Ara dan Nugi. Selengkapnya dalam Ragi Story, it's our story, a journey to stay happy 


Membeli Sepeda Motor Cash

Di awal pernikahan dan memulai hidup baru di sebuah kontrakan di Jogja, saya dan Nugi tidak langsung berpikir ingin membeli sepeda motor. Apalagi secara cash. Kondisi keuangan kami belum memungkinkan saat itu karena nyaris semua tabungan terkuras untuk biaya pernikahan. Kami juga masih memiliki beberapa cicilan, termasuk pengeluaran rutin tiap bulannya untuk membayar kamar kos Nugi di Bandung meski sudah lebih dari setahun tidak lagi ditempati.


Keinginan membeli sepeda motor baru timbul dan kian menguat setelah "mengaudit" buku kas rumah tangga kami. Pengeluaran untuk transportasi kami per bulan rupanya menyentuh angka Rp 700 ribu lebih. Padahal, mobilitas kami sebetulnya terbatas. Nugi juga masih work from home. Yang rutin paling biaya untuk ojol saat ke gereja PP setiap minggunya. Ditambah jika ada event/job ngeblog offline atau butuh belanja sesuatu sesekali, yang sungguh bisa dihitung dengan jari frekuensinya.


Sepeda motor yang tadinya kami anggap hanya sebatas keinginan, ternyata mulai berubah menjadi kebutuhan. Kontrakan kami yang terletak di Jogja coret, tepatnya di kawasan Godean yang sudah masuk kabupaten Sleman, membuat kami kerap kesulitan mendapat akses angkutan. Tidak ada angkutan umum yang proper, sementara jasa angkutan online juga tak sebanyak di dalam kota.


Seringkali kami harus menunggu lama setelah memesan, dan berakhir di-cancel drivernya. Terlebih jika hari hujan, nyaris tidak ada yang mau pick up. Driver Jogja ini rupanya belum semilitan driver Bandung, yang standby kapanpun dalam kondisi apapun.


Kami pernah pulang ke kontrakan sampai larut malam karena tidak ada yang pick up orderan kami untuk diantar ke Godean. Ketika akhirnya bisa pulang, itu pun karena sudah diakali untuk membagi jarak tempuh. Jadi misal total 10 km, kami pesan 2 kali untuk masing-masing jarak per 5 km agar tidak dicancel lagi.


Kami kadang juga terpaksa menolak sejumlah ajakan meet up teman-teman blogger Jogja karena memang sesulit itu untuk kemana-mana. Mungkin beberapa teman blogger masih ada yang menganggap kami sombong karena sekarang nyaris nggak pernah diajak-ajak ngumpul lagi 😅😅


Ah, nyesek memang kalau ingat masa itu. Tapi ya itulah asem-asemnya kehidupan manten baru yang mau ga mau harus dinikmati.



Motor Baru VS Motor Bekas


Ketika menyadari bahwa sepeda motor adalah kebutuhan yang harus segera dipenuhi (karena jika tidak, anggaran kami akan semakin membengkak tiap bulannya), kami langsung memasukkan itu ke skala prioritas. Lupakan dulu perabotan atau keinginan ini itu yang masih bisa ditunda.


Masalahnya, duit dari mana?

Semurah-murahnya motor, jelas tidak bisa didapat dengan uang 1-2 juta. Kecuali kalau mau beli motor bekas.


Nugi sempat melontarkan opsi ini, karena menurutnya, yang penting punya motor dulu. Tidak harus baru, yang penting bisa dipakai.


Tapi saya menentang, saya semasa gadis sudah beli 2 sepeda motor. Baru semuanya, meski 2-2nya kredit. Mohon maaf, saya tidak mau downgrade. Pernikahan harusnya membawa kualitas hidup lebih baik, jangan malah turun.


Alasan kedua, saya dan Nugi benar-benar "buta" soal otomotif. Siapa yang menjamin kami akan membeli motor yang layak meski bekas? Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana? Niat ingin hemat dan untung malah buntung karena uangnya habis untuk biaya reparasi di bengkel. Teman saya ada yang begini, beli motor bekas yang terjangkau dompet, tapi nyaris setiap minggu harus masuk bengkel karena adaaa saja yang bermasalah.


Di mata saya, opsi motor baru tetap yang terbaik untuk kami yang sama-sama tidak mengerti dunia motor. Kalau beli baru, ada garansi perawatan sampai berbulan-bulan. Kami hanya cukup meluangkan waktu untuk "check up" rutin di bengkel resmi.



Cash VS Kredit


Opsi pembelian sepeda motor secara kredit atau cash sempat menjadi perdebatan Jika ingin cepat dapat motornya, tentu pilihan kredit lebih mudah. Tapi kalau hitung-hitungan jangka panjang, pembelian secara kredit sungguh melelahkan. Bukan hanya harganya yang akan jauh berlipat ketimbang pembelian secara cash, namun juga membayangkan tagihan yang harus dibayar tiap bulannya sementara masih ada tagihan lain yang perlu diselesaikan apa tidak bikin kepala meledak? Bisa-bisa tak tersisa lagi anggaran untuk sekadar jajan es duren atau nonton di bioskop.


Saya bilang ke Nugi, sudah cukup saat masih single saya berurusan dengan utang dan tagihan. Saya lelah. Saya ingin hidup tenang. Saya ingin upgrade kondisi finansial saya. Kalaupun memang harus kredit, saya pilih kredit properti, bukan kendaraan.


"Ya sudah, kalau kamu memang yakin. Mari kita imani, kalau kita bisa membeli secara cash… Soal duitnya dari mana urusan nanti, mari kita minta sama Tuhan dulu," jawab Nugi yang menandai komitmen kami untuk membeli sebuah sepeda motor secara cash.



Rutin Berdoa


"Makin spesifik kita minta ke Tuhan, makin spesifik pula Tuhan menjawab."


Entah benar atau tidak, tapi saya sudah membuktikan sendiri soal ini saat meminta jodoh dari Tuhan. Super spesifik. Dan …, Tuhan menjawab tepat seperti apa yang saya minta. Makanya nggak ada keraguan sedikit pun soal Nugi adalah tulang rusuk. Karena memang se-spesifik itu Tuhan menjawab. Kapan-kapan saya cerita sendiri soal ini.


Lanjut ke motor, saya juga merasa perlu spesifik saat minta Tuhan. Setelah riset sedikit soal harga dan tipe-tipe motor, serta memperhitungkan kondisi finansial kami, kami pun memutuskan mulai berdoa untuk sebuah sepeda motor Honda Revo Fit. Warna merah. Persis seperti Akashi milik saya di Palembang yang masih mulus dan tidak pernah rewel meski sudah dipakai 6 tahun.


Harga cashnya Rp 15.000.000 , meski ada dealer yang memberikan harga Rp 14.750.000. Bukan nominal yang sedikit, tapi kami cukup optimis sudah bisa membelinya dalam setengah tahun. Tentang caranya, biarkan Tuhan yang urus.


Pada November 2021, kami mulai rutin menyelipkan permohonan kami untuk sebuah sepeda motor Honda Revo Fit Merah cash di setiap mezbah keluarga kecil kami setiap malam (Yah, mungkin semacam doa bareng keluarga setelah salat magrib berjamaah kalau untuk keluarga muslim, kira-kira).


Kami percaya jika Tuhan sudah ACC, kami akan mendapatkannya di waktu yang tepat. Tugas kami sebagai manusia adalah berusaha. Ya, menabung!



Bertahan dari Serbuan Badai


Sekilas rencana kami untuk menabung rutin sambil tetap berdoa terkesan sangat mudah dan bikin optimis. Kenyataannya setelah dijalani adaaaa saja serbuan badainya.


Mulai dari pengeluaran-pengeluaran tak terduga yang lebih prioritas, job sampingan yang seret-lancar silih berganti, rasa frustrasi dan tidak sabaran karena masih harus naik ojol kemana-mana dengan segala dramanya, mulut-mulut nyinyir tetangga dan netijen, hingga yang paling sulit dilawan yakni serbuan brosur dan iklan promo pembelian secara kredit.


Sistem kredit yang ditawarkan sungguh menggiurkan, bahkan ada yang hanya butuh DP ratusan ribu rupiah dengan cicilan cukup ringan (meski harus ambil yang 3 tahun). Tapi saya dan Nugi saling mengingatkan dan menguatkan, bahwa kredit itu jebakan betmen. Kami gantian saja saling mengingatkan untuk bertahan dalam komitmen membeli secara cash.


Terkesan sangat mudah dituliskan, tapi yang kami alami berbulan-bulan lalu rasanya sungguh berat. Puji Tuhan, kami bertahan



Ao, Sang Jawaban Doa


Pada akhir tahun sebetulnya tabungan kami sudah cukup untuk membeli sepeda motor cash, terutama dengan tambahan THR Nugi yang diterima jelang Natal. Namun terpakai untuk biaya mudik kami Palembang dan Bengkulu, lalu lanjut ke Bandung.


Di Bandung kami banyak pengeluaran, namun memang harus dilakukan demi misi mengakhiri "tagihan" kosan Nugi. Sudah waktunya kami menutup keran pengeluaran tak berguna. Kalaupun suatu saat nanti Nugi harus kembali masuk kantor dan kami pindah lagi ke Bandung, biarlah itu urusan nanti.


Singkat cerita, baru pada pertengahan Februari dana kami terkumpul. Itupun berkat bantuan Ibu Ratu yang mentransfer dana nyaris ⅓-nya. Terima kasih, Yang Mulia. Mohon maaf, kami belum mampu ngasih yang terbaik malah dikasih terus ini😭😭😭


Saya sudah semangat 45 mau ke dealer untuk mengambil motor kami, ndelalah sales yang selama ini berhubungan dengan kami mengabari stok Revo Fit warna merah kosong. Bukan hanya di dealer setempat, namun bahkan Se-Jogja Raya ini kosong.


<To be continued
Tulisan belum selesai. Wkwkwk..lanjut besok ya



0


Hal hal yang berubah dari Nugisuke setelah menikah

April ini, usia pernikahan saya dan Nugisuke udah 7 bulan. Akhirnya, lebih setengah tahun dan menginjak semester kedua. Iyaaa, masih terhitung seumur jagung banget meski udah mulai terasa aneh di kuping kalau ada yang bilang kami manten anyar. Dibanding dengan saat masih single atau awal-awal pernikahan, suami saya ini lumayan banyak berubah setelah menikah.

Nah, dalam rangka merayakan monthversary kami (hilih), saya memilih menulis postingan ini untuk mengabadikan momen tentang suami tercinta. Agar suatu saat nanti bisa dibaca lagi, entah untuk mencari kekuatan untuk bertahan di masa sulit, atau sekadar untuk membangkitkan memori senyum dan bersyukur atas hari-hari yang sudah kami lewati berdua.

Cukup intronya, langsung saja, berikut hal-hal yang berubah dari Nugisuke setelah setengah tahun menikah dalam Ragi Story ~ a Journey to Stay Happy :

1. Lebih Berisi

Ara~Nugi sebelum dan sesudah menikah

Kadang definisi cinta itu adalah menggendut bersama. Wkwkwkwk.

Kalau tidak membandingkan foto-foto Nugi saat masih bujangan, saya tidak terlalu notice sih kalau tubuhnya tambah berisi sekarang. Tapi saya sendiri juga melar sih.

Sebetulnya kalau dari porsi makan biasa saja. Rasanya kami nyaris tidak pernah makan berlebihan. Sesekali makan di luar namun tetap didominasi makanan rumahan yang selalu diupayakan memenuhi menu gizi seimbang.

Satu-satunya biang kerok penyebab melarnya tubuh kami adalah kemageran akut. Saya dan Nugi harus akui, sejak punya Ao (motor baru kami), kami jadi kian malas bergerak. Apalagi olahraga. Dulu saat awal menikah masih rutin jalan-jalan tipis di sekitar sawah atau keliling kampung, sekalian menikmati pemandangan dan udara segar. Kadang kalau belanja pun sengaja pilih rute yang agak jauh biar bisa jalan kaki lebih lama.

Sekarang nyaris nggak pernah. Ya ampun … kalau tidak mau kebablasan obesitas, sepertinya kami sudah harus segera rutin berolahraga lagi. Demi kesehatan dan kebugaran juga tentunya mengingat faktor U juga mulai berpengaruh.

Tolong doakan niat ini agar segera direalisasikan dan bukan sekadar angan-angan ya ...

2. Tidak (Terlalu) Idealis Lagi

Saat staycation di Ramada Suites Solo

Nugisuke dengan Blog  thetravelearn.com -nya selama ini punya personal branding sebagai traveler dan hotel reviewer. Nugi yang dulu cenderung idealis, dia berdedikasi mempertahankan niche travel dan hotel reviewer di blog maupun akun media sosialnya semaksimal mungkin.Nugi yang dulu juga tak segan menolak tawaran paid promotion yang berpotensi "merusak" blognya.

Tapi lihatlah sekarang, blognya mulai "kacau" dengan banyaknya postingan yang sebenarnya bukan-Nugi-banget. Meski tak sampai bikin Nugi kehilangan identitas asli sepenuhnya, tetap saja, Nugi berubah. Dia tak seidealis dulu lagi.

Dan saya tahu persis alasannya. Semata karena Nugi sangat paham kalau sekarang dia tak hanya menghidupi diri sendiri, tapi sudah punya istri yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebetulnya gaji bulanan Nugi sebagai budak korporat sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kami berdua tanpa Nugi harus mengorbankan idealisme blognya. 7 bulan kami berumah tangga, rasanya belum pernah sekali pun kekurangan apa yang mau dimakan atau dipakai.

Tapi buat Nugi itu belum cukup. Kata Nugi, kami berdua masih punya banyak mimpi yang harus diwujudkan. Men pride Nugi diam-diam juga kerap terluka ketika dilihatnya saya harus menahan diri nunggu gajian atau fee cair dulu kalau mau beli sesuatu. Dia berulang kali bilang ingin segera mencapai kemerdekaan finansial, sehingga bisa lebih maksimal menyejahterakan rumah tangga kecilnya, sekaligus menyokong kebutuhan hidup orang tua kami yang usianya beranjak senja.

Meski menyayangkan nasib blognya, tapi saya tidak bisa menyalahkan Nugi sepenuhnya. Bukan salah Nugi kalau dia ingin jadi suami yang lebih bertanggung jawab. Bukan salah Nugi kalau dia ingin membahagiakan saya, istrinya. Bukan salah Nugi kalau dia ingin tetap berbakti pada orang tuanya. Dan bukan salah Nugi kalau dia punya banyak rencana juga mimpi-mimpi masa depannya.

Melihat Nugi sampai segitunya, saya cuma bisa berdoa agar kondisi finansial kami segera settle. Income yang lewat saya juga semoga bisa lebih banyak, biar Nugi tidak terus-terusan mengkhawatirkan isi keranjang akun marketplace saya.

Dengan begitu, Nugi tidak perlu lagi "merusak" blognya dengan job-job receh yang malah bikin dia kehilangan identitasnya.

3. Lebih Berani Melawan Ara

Ape lo ape Lo!

Beneran lho ini. Di awal menikah, seperti yang sudah saya singgung di postingan ini, Nugi itu tipe Yes Boy. Dia akan iya iya saja terkait apa saja yang saya bilang demi menghindari konflik. Maklum, produk Jogja gaes, harus meladeni istrinya yang mulutnya produk pesisir Sumatera ini. Bisa apa dia?

Di masa itu, saya sangat yakin Nugi bakal aktif misal tergabung dalam organisasi atau komunitas macem Ikatan Suami-Suami Takut Istri🤣

Tapi sekarang, Nugi sudah berubah gaes. Dia tidak inggih inggih lagi sekarang. Sudah berani mendebat, berargumen, bahkan tidak segan menolak apapun yang saya putuskan sebelah pihak dan dia ga sreg. Nugi bukan lagi yes boy-nya Ara.

Perlahan namun pasti, dia makin meresapi perannya sebagai kepala rumah tangga secara utuh. Makin jelas kalau dia tidak mau menyerahkan posisinya sebagai leader di rumah ini kepada siapapun, bahkan kepada istrinya yang super galak dan sering kesurupan reog ini.

Perubahan yang sungguh bikin saya terharu dan bangga. Bikin saya kian yakin kalau saya tidak menikahi pria yang salah.

Nugi memang makin berani melawan saya, untuk hal-hal yang menurutnya tidak benar. Tapi dia melakukannya masih dengan cara  super lembut khas mas mas Jogja. Tanpa tarik urat leher, tanpa kata-kata mutiara, dan tentu saja tanpa main tangan sama sekali.

Kelembutan dan kesabarannya tidak sirna, bahkan seiring waktu kian bertambah. Inilah yang pada akhirnya selalu meluluhkan sisi emosional berlebih seorang Ara.

Semakin hari, kami makin lihai berdebat dan bernegosiasi dengan lebih elegan untuk menyelesaikan setiap konflik. Belum sempurna, tentu saja. Kadang masih ada momen-momen "kelepasan", tapi sudah jauh membaik dari triwulan pertama.


4. Sudah Bisa Pasang Badan untuk Ara



Saat baru menikah, masih di minggu-minggu awal kami serumah, saya dan Nugi sempat ada ribut besar. Saya berkonflik dengan keluarga Nugi perkara kesalahpahaman. Respon Nugi? Dia auto di pihak keluarganya dan menyalahkan saya dong. 3 lawan 1 gaes.

Apakah saya terus nangis-nangis minta dipulangkan ke Palembang? Oh, tentu tidak, Esmeralda! Justru saya yang "ngusir" Nugi dari kontrakan kami. Saya minta dia pulang ke tempat orang tuanya, ke keluarganya. Saya minta dia ambil waktu sebanyak yang dia perlukan, dan silakan kembali kapan saja saat dia sudah benar-benar siap berumah tangga.

Di mata saya saat itu, Nugi belum siap menjadi suami seorang Ara. Dia masih berat ke keluarganya. Memang tidak bisa disalahkan juga sih, keluarga kandung jelas segalanya buat Nugi. Tapi jujur saja, saya tidak mau serumah dengan suami macam itu. Buat saya, suami yang tidak bisa memberikan rasa aman ke istrinya itu suami yang belum beneran suami.

Tapi ternyata Nugi hanya kembali ke rumah ibunya beberapa hari saja, setelah itu dia pulang ke kontrakan petak kami dengan permintaan maaf dan perubahan sikap yang nyata.

Setelahnya, Nugi nyaris selalu berdiri di pihak saya ketika ada konflik dengan orang lain. Bahkan ketika menurutnya saya yang salah. Dia akan menegur dan mendidik saya di dalam rumah, tapi ketika menghadapi "dunia" dan segala masalahnya, dia selalu di sisi saya.

Lalu beberapa hari lalu, Nugi mendadak berbicara sangaaaattt ketus pada seseorang yang sebetulnya sangat dia hormati. Saat saya tanya kenapa, Nugi bilang dia tidak suka cara seseorang itu bertanya pada saya dengan nada mengintimidasi. Jadi perlu diberi pelajaran sedikit.

Padahal, saya merasa tidak ada masalah lho. Ya, cara orang itu bertanya memang bikin tidak nyaman sih, tapi rasanya tidak perlu juga kalau sampai diganjar keketusan Nugi sedemikian rupa. Saya masih bisa handle sendiri.

Tapi tentu saja saya berterima kasih dan mengapresiasi tindakan Nugi. Itu momen di mana saya merasa Nugi benar-benar makin matang sebagai seorang suami. Dia betul-betul pasang badan untuk saya tanpa diminta. Spontan begitu saja. Dan … Nugi terlihat seperti sosok berbeda. Saya masih sulit percaya kalau dia masih lelaki yang sama dengan yang saya suruh kembali pada ibunya berbulan bulan bulan lalu.

Tapi itu beneran Nugi. Nugi yang sama. Nuginya Ara, yang semakin hari semakin dewasa saja

***


Perubahan adalah keniscayaan. Segala sesuatu yang bertumbuh akan berubah. Tak terkecuali Nugi (juga saya). Jika seseorang tidak berubah, maka artinya dia berhenti tumbuh. Dan kalau sudah demikian, proses pembusukan pun dimulai.

Menikah benar-benar mengubah banyak hal. Disadari atau tidak. Disukai atau tidak. Diinginkan atau tidak. Perubahan apsti terjadi. Tinggal ke arah mana perubahan terjadi. Kian membaik kah? Atau justru memburuk? Siapkah kita menghadapi semua perubahan itu?


Salam dari Jogja yang istimewa, seistimewa kalian yang masih berkenan meninggalkan jejak di postingan ini.


<to be continued>


Bonus :

Otin dan Ojan, anak baru kami


3


Ragi Story : Sudah siap lepas kondom kah?

"Gimana? Udah siap lepas kondom kah?" tanya saya ke Nugi kapan hari.

(Btw, sebelum melanjutkan baca postingan si Emak Kucing Kampung kali ini, better baca tulisan Nugi soal kondom di sini dulu ya biar agak nyambung).

Saya nanya begitu karena waktu detoks saya udah selesai. Dengan kata lain, secara fisik, saya sebenarnya sudah siap hamil.

Tapi seperti yang saya duga, Nugi menggeleng dan menjawab "belum" sambil nyengir. Saya ketawa. Ya, saya emang udah tau jawaban Nugi sebelum nanya karena udah sering disisipkan di pillow talk rutin kami. Dan, ya, saya juga sama. Belum siap. Secara fisik mungkin sudah, tapi secara mental belum.

Meski begitu, saya dengan berbahagia pengen ngabarin kalau kami berprogress, tentu saja. Sudah jauh lebih siap jika dibanding awal-awal pernikahan kami.

Soal finansial, Puji Tuhan sudah ga ada kekhawatiran lagi (bukan karena duit udah tidak berseri, tapi setidaknya kami udah nabung dan percaya Tuhan yang akan mencukupkan sisanya). Pun dengan kondisi fisik, baik saya sama Nugi ngerasa ok. Meski belakangan ngerasa butuh stok koyo lebih banyak 😅

Paling hanya sedikit PR untuk mengganti faskes 1 di BPJS karena baru bisa diproses bulan April besok. FYI, faskes 1 saya masih tercatat di sebuah puskesmas di Palembang. So, kalau ini beres, harusnya tidak ada kendala yang aneh-aneh lagi.

Satu-satunya masalah kami memang masih di sisi mental. Belakangan ini, kami merasa sangat stress dengan tangisan anak tetangga (maklumlah, masih tinggal di kontrakan yang cuma berbatas dinding). Kami memang ga sampai marah-marah atau mengeluh ke tetangga. Sekali lagi sangat maklum. Tetangga kami didominasi keluarga muda dengan anak yang masih kecil-kecil. Tapi ya itu, tidak bisa membohongi diri juga kalau saya dan Nugi merasa sangat frustrasi ketika para bocil itu kompak menangis di jam jam ajaib, sementara kami sangat butuh ketenangan.

Semua kondisi ini menyadarkan kami kalo kami sungguh belum siap dengan salah satu konsekuensi sebagai orang tua : mendengar tangisan bayi setiap hari, setiap saat.

Saya tahu, mungkin ada banyak yang akan bilang "Itu kan anak tetangga. Nanti kalau anak sendiri akan terbiasa, naluri keibuan pasti akan muncul dengan sendirinya dan akan membantumu..."

Ya. Ya. Ya. Saya tahu teorinya. Tapi kalau sesederhana bisa selesai dengan naluri keibuan, saya rasa ga akan pernah ada kasus baby blues atau Post Partum Depression (PPD) di dunia ini. Ga bakal ada cerita ibu gorok leher anaknya atau ngelempar bayinya sendiri ke sumur kek yang bersileweran di berita dan timeline sosmed akhir-akhir ini.

Dengan riwayat kesehatan mental yang bisa dibilang tidak terlalu bagus, wajar dong kalau saya khawatir dengan kondisi saya sebagai ibu?

"Ah, lu mah terlalu khawatir. Terlalu takut untuk hal yang belum tentu terjadi ... Kaya ga punya Tuhan aja..."
Yep. Benar. Mungkin saya takut. Saya tidak akan menyangkal pernyataan itu. Tapi menurut saya, ketakutan juga bukan sebuah kesalahan ye kan?

Saya memang takut, tapi saya juga tidak yang diam saja. Saya takut, tapi juga berusaha mengatasinya.

Saya banyak memperhatikan tetangga, bagaimana cara dia menenangkan anaknya yang nangis ... gimana cara dia mengalihkan emosi dan rasa frustrasi. Saya juga rajin ikut webinar parenting dan kelas persiapan kehamilan. Membekali diri juga dengan banyak bacaan. Well, semua itu belum tentu kepakai di saya emang (karena saya tau bahwa setiap ibu, kehamilan, dan anak itu unik), tapi setidaknya, dengan melakukan segala persiapan itu, saya jadi merasa punya bekal atau kisi kisi.

Selain itu, banyak malam juga yang saya habiskan buat menyerahkan semua ketakutan ini ke Tuhan. Saya percaya, akan ada titik dimana Tuhan akan kasih keyakinan bahwa saya sanggup menjadi ibu, sama seperti saat DIA kasih keyakinan bahwa saya sanggup jadi istrinya Nugi.

Namun yang perlu diingat di sini, menjadi orang tua itu bukan cuma tugas ibu lho. Ayah juga besar perannya. Kapan hari ada seorang temen yang cerita, ada saudaranya yang baru 3 hari jadi ayah tapi sudah bersungut-sungut ga keruan mengeluh kurang tidur, dll. Ini menunjukkan kalau sebenernya dia belum siap mental jadi ayah, bukan? Belum siap sama konsekuensi punya anak bayi gitu ...

Nah, saya tidak mau itu terjadi sama Nugi. makanya saya mau pastiin dulu kesiapan mental dia juga. Dan kalaupun Nugi ternyata memang belum siap juga ya nggak papa ... Better jujur begitu ketimbang memaksakan diri.

Selain itu, saya dan Nugi merasa perlu membereskan beberapa "urusan kami" dulu sebagai pasangan, tanpa "direcoki" anak. Yah, sedikit ini dan sedikit itu. Mudah-mudahan, setelah semua selesai, kami akan siap lahir batin untuk dititipin anak sama Tuhan.
"Lha kalian aja nunda-nunda momongan begitu, yakin bakal dikasih emang?"
Yakin kok. Dia kan Sang Maha Pemberi. Meski saya sama Nugi sejak masih pacaran sama-sama melihat kalau anak bukan tujuan pernikahan. Buat kami, anak hanya pelengkap. Dikasih dari rahim sendiri (amin), Puji Tuhan. Enggak pun bisa adopsi dan tetep Puji Tuhan.

So, tidak masalah sama sekali buat kami (paling nanti yang masalahin keluarga besar, tetangga, sama netijen 🤣🤣🤣)

Dan kalau misalnya kesiapan punya anak bisa diukur pakai skala angka 1-10, saat baru menikah kesiapan saya sama Nugi mungkin di angka minus 4, tapi sekarang udah naik di angka 6. Kami tidak berencana menunggu sampai siap 100% di angka 10 kok, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan (tsaaaahhhh). Tapi setidaknya ada di angka 8 lah kira-kira, syukur-syukur bisa mencapai 9.

Dari 6 ke 8 atau 9 harusnya tidak akan terlalu lama lagi. Seharusnya.
Doakan kami ya, teman-teman terkasih ... Agar pada waktuNya nanti kami betul-betul siap dititipin anugerah terindah dari Tuhan.

Sekian postingan si emak kucing kampung malam ini,
Salam dari Jogja yang kalo siang puanas dan kalo malem dingin 😘

Bonus :

Ossas Markosas digendong mommy

2


Alasan Uang dan LM adalah Kado Pernikahan Terbaik


Waktu saya dan Nugi menikah bulan September lalu, saya sudah woro-woro ke teman terdekat untuk tidak memberi kado pernikahan berupa barang. Saya terang-terangan buat pengumuman di media sosial kalau akan sangat berterima kasih jika mereka berkenan memberi "mentah"nya saja alias uang tunai atau transferan. Jika memang segan atau canggung sekali memberi uang, yah, Logam Mulia (LM) boleh lah. Buat saya LM sama saja dengan uang tunai, hanya berubah bentuk saja.

Bagi sebagian orang, hal yang saya lakukan ini mungkin tabu atau malah dianggap tidak tahu malu. Sudah untung ada yang mau ngasih, kok malah ngelunjak. Bukankah kado dan hadiah itu tergantung keikhlasan si pemberi?

Namun saya yang punya alasan kuat dan tahu apa yang terbaik untuk diri saya sendiri ini sudah siap dengan segala risiko dikata-katain atau dirasani dalam bentuk apapun. Ketimbang tetap menerima kado berbagai bentuk tapi tidak terpakai, ye kan?

Nah, langsung saja, berikut Alasan-alasan Uang dan LM adalah Kado Pernikahan Terbaik versi Mommy Ossas, Si Emak Kucing Kampung :

1. Setiap Orang Punya Favoritnya Sendiri

Setiap orang punya favorit terkait barang yang akan dia pakai. Entah brand atau warnanya.

Pengantin baru (terutama wanita), seringkali sudah merancang akan mendekor sedemikian rupa tempat tinggal barunya dengan suami. Kamar tidur bernuansa abu-abu, dapur hijau lumut, ruang tamu hitam-putih, dlsb.

Namun kado barang yang diterima umumnya membuyarkan semua rancangan itu. Dapat kadonya malah bed cover warna jingga menyala, gelas mama papa warna ungu buah naga, bingkai foto motif Keropi dan bunga-bunga, dst.

Kasus lain, sudah kepingin sekali ricecoocker merk A sejak lama, eh dapat kadonya merk B yang jauh dari harapan si pengantin baru. Entah speknya di bawah standar, atau pilihan warna dan modelnya tidak sreg. Intinya tidak sesuai selera, tidak cocok dengan hati. Mau tidak dipakai mubazir, nekat dipakai kok bikin sepat mata.

Nah, hal semacam ini tidak akan terjadi jika kadonya berupa uang. Si pengantin baru akan bebas memilih barang sesuai dengan keinginan dan seleranya.

2. Tidak Mubazir

Masih berkaitan dengan poin no 1, kado barang seringkali tidak dibutuhkan oleh pengantin  baru. Atau dibutuhkan, namun ada yang memberi suatu barang yang sama lebih dari satu orang.

Saya pernah membantu seorang teman membuka kado-kado pernikahannya, dan dia menerima banyak sekali handuk dan bed cover. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Bukannya tidak bersyukur, namun harus diapakan handuk dan bed cover sebanyak itu?

Mau disimpan makan tempat, mau dijual atau diberikan orang lain lagi tidak enak hati karena bagaimana pun itu pemberian. Tidak etis dipindahtangankan begitu saja. Pada akhirnya kado-kado itu hanya teronggok mubazir, didiamkan tak terpakai bahkan hingga bertahun-tahun kemudian sampai dimakan rayap.

Lain halnya jika dalam bentuk uang tunai. Pengantin bisa menyeleksi sendiri barang-barang sesuai dengan kebutuhannya dan tinggal pilih mau beli yang mana.

3. Praktis

Beberapa teman saya masih ada yang memberi saya kado barang, kemungkinan karena tidak tahu bahwa saya sudah woro-woro di sosmed minta di"amplop" atau dikirim LM saja. Namun dengan berat hati, hampir semuanya saya tinggalkan kado-kado tersebut di Palembang karena sangatlah repot membawanya pindah ke Yogyakarta.

Setelah sampai di Jogja, Mbak Rianti, seorang teman sesama blogger malah ada yang ingin memberi kami kado mesin cuci. Beruntung dia konfirmasi dulu, sebab rumah kontrakan kami masih berupa rumah petak. Hanya ada satu ruangan, satu kamar mandi, dan teras yang ukurannya tidak luas-luas amat.

Meski mesin cuci adalah barang yang sangat kami butuhkan, namun kondisi tempat tinggal kami sekarang belum memungkinkan untuk punya mesin cuci. Untunglah, setelah kami jelaskan kondisinya, Mbak Rianti berkenan mengalihkan kado mesin cucinya dengan transferan bank.

Well, tidak masalah jika pengantin baru punya rumah luas atau gudang tersendiri untuk menampung kado-kado barang yang belum terpakai. Jika kondisinya seperti kami? Ribet cuuuyy!

Nah, uang dan LM adalah kado yang jauh lebih praktis dan jelas tidak makan tempat, bukan? No ribet ribet club meski harus pindah ke kota mana pun dengan tempat tinggal sekecil apa pun.

4. Bisa untuk Tabungan dan Investasi

Pernikahan sesederhana apapun akan tetap membutuhkan uang. Kado berupa uang akan sangat terasa sekali manfaatnya bagi para pengantin. Bisa buat nambah-nambahin biaya sewa tenda atau dekorasi atau malah biaya honeymoon.

Jika semua kebutuhan pernikahan sudah terpenuhi, uang dan LM masih tetap bisa jadi tabungan atau investasi. Jelas lebih bermanfaat untuk hari-hari pengantin ke depan kan?

___________________________________

Ada yang mau menambahkan alasan uang dan LM adalah kado pernikahan terbaik?

Tidak masalah lho jika ada yang tetap menganggap kado barang di hari pernikahan lebih baik. Saya dan Nugi saja berbeda pendapat kok soal ini. Meski Nugi juga mengakui kado uang dan LM lebih sesuai dengan kebutuhan para pengantin baru, namun dia sama sekali tidak menolak kado-kado berupa barang.

Nugi tipikal orang yang memberi nilai pada barang, sementara saya lebih melihat sisi manfaatnya. Nugi betah mengoleksi barang-barang yang menurutnya punya kenangan, tapi menurut saya sudah layak dibuang karena bikin rumah penuh dan berantakan.

Nah, kalau kalian, lebih suka kasih kado uang atau barang?

Apapun pilihanmu, sebaiknya saat memberi hadiah pikirkanlah dari sudut pandang si penerima. Jangan egois memilih barang tertentu hanya karena kamu INGINnya kasih itu. Terlebih jika sampai memaksakan selera sendiri ketimbang selera di penerima.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya...

Salam dari Jogja yang selalu istimewa, seistimewa kalian yang berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar.

Bonus : 




5


Ragi Story #RagiStory


Yosh, dua bulan berlalu sejak saya dan Nugi resmi menjadi sepasang suami istri. Masa-masa indah, mesra-mesraan, honeymoon khas pengantin baru katanya. Saya cuma nyengir kuda. Iya sih, banyak yang indah, tapi bukan berarti sama sekali tanpa masalah. Bunga-bunga boleh bermekaran, tapi munculnya duri juga kadang tak terhindarkan.

Di tulisan kali ini, saya mau sharing soal masalah-masalah yang terjadi di dua bulan pertama pernikahan. Apa yang saya tuliskan bisa dialami pasangan yang lain, bisa juga tidak. Issokee, setiap rumah tangga itu punya kisah sendiri kan?

Langsung saja, berikut 5 masalah di dua bulan pertama pernikahan versi #RagiStory, it's our story, a journey to stay happy.

1. Adaptasi



Di balik kemesraan, ada proses adaptasi yang ga gampang


Saya sudah tahu masalah adaptasi ini akan jadi PR sejak jauh sebelum menikah. Saya sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun tetap saja, ketika harus menghadapi langsung, rasanya cukup arrrggghhh juga ternyata.

Adaptasi ini meliputi segala aspek. Mulai dari ber-culture shock ria dari kehidupan "bar bar" Sumatera ke "Inggih inggih" Jogja, hingga berdamai dengan kebiasaan atau pola pikir pasangan yang bertolak belakang dengan diri sendiri.

Saya tahu, tidak mudah untuk Nugi menerima sprei kamar kami bisa SANGAT awut-awutan kalo saya yang tidur (atau goleran), lalu malas merapikannya lagi. Saya juga masih harus belajar banyak-banyak "istighfar" kalo Nugi luluran dulu setiap mandi, atau ngitungin nasi dulu setiap makan.

Saat menghadapi situasi yang tidak sesuai ekspektasi di luar sana, Nugi capek lihat saya over-react dan pengennya nge-gas terus, sementara saya frustrasi lihat Nugi memilih jalur diplomasi untuk hal-hal yang harusnya lebih pas untuk "langsung tonjok" sekalian.

Namun adaptasi terberat justru bukan ketika menghadapi faktor eksternal (pasangan, orang lain, lingkungan, dll), namun justru di proses internal alias diri sendiri. Ini yang luput saya dan Nugi persiapkan dengan porsi lebih sebelum pernikahan.

Kami ternyata sama-sama butuh waktu untuk menerima kalau kami sudah menikah. Yang berarti harus merelakan nyaris segala privilege saat masih single. Ini benar-benar berat karena yang dilawan adalah diri sendiri.

Kami gantian aja down, terutama di bulan pertama. Kami sama-sama tertekan "merindukan kehidupan single". Bedanya, saya lebih ekspresif, ditambah mental yang belum stabil, saya pun meledak. Tercatat di 3 kali weekend berturut-turut emosi saya meledak tak terkontrol.

Sebaliknya, Nugi tipe yang mendem. Dia diam, selalu diam. Tapi saya tahu dia sama tertekannya seperti saya. Ada satu momen ketika saya meledak, Nugi juga terduduk menangis sesenggukan. Dan entah gimana saya tahu, di momen sekali itu Nugi tidak menangis karena saya, atau frustrasi ngadepin kelakuan saya, namun lebih karena sudah nggak tahan dengan apa yang dia pendam sendiri selama ini.

Manusia bukan robot. Selempeng-lempengnya, sewoles-wolesnya, manusia selalu punya batas memendamnya sendiri.

Tips saya untuk kalian yang belum menikah dan akan menikah, sempatkan lah diri terlebih dahulu untuk say goodbye yang proper dengan kehidupan singlemu. Ini bukan soal bridal shower atau pesta bujangan yang terkesan "ceremonial" dari luar, namun lebih ke dalam dirimu. Personal dan intim. Hanya kamu dan dirimu.

Karena sebahagia apapun saat menyambut dan memasuki pernikahan, faktanya menikah memang mengubah banyak hal. Bahkan tak sedikit pula yang harus direlakan dan hilang.

Sekuat apapun mental kita, proses kehilangan dan mengikhlaskan itu tidak pernah gampang. persiapkan diri kita lebih untuk ini.


2. Komunikasi


Suatu hari saya ngomong ke Nugi untuk yang ke-sejuta kalinya soal cara jemur baju.

"Mas, kalo jemur dalemanku, tolong jangan diumbar-umbar. Bisa diselipkan di sela baju, yang penting jangan langsung kelihatan orang. Malu..."



"Iya, " jawab Nugi sambil tetap menjemur seperti ini.



***

Well, udah banyak yang bahas sih ya, kalau soal komunikasi ini. Saya dari pacaran sama Nugi, ngomong blak blakan aja masih suka salah salah paham… apalagi kode-kodean. So, sebisa mungkin kami nggak main kode-kodean dalam bentuk apapun.

Saya merasa komunikasi saya dengan Nugi sudah terbangun cukup baik selama pacaran. Kami sama-sama suka ngobrol dan terbiasa berbicara tentang apapun termasuk perasaan masing-masing. Tapi tetap saja ada duri-duri kecil yang rasanya masih saja terus mengganggu.

Di samping masih suka amazed dengan bisa segitu njomplangnya perbedaan pola pikir antara laki-laki dan perempuan, masalah saya terkait komunikasi adalah terlalu emosional. Sulit sekali ngomong biasa tanpa nge-gas atau air mata.

Sementara Nugi… tipikal yang selalu menghindari konflik. Nugi itu tipe yes boy, yang auto iya-iya misal saya bilang sesuatu sekalipun dia ga sepakat. Dia bilang "iya" demi bikin saya berhenti ngomel. Padahal di belakang, ya nggak dilakukan juga "iya"-nya itu karena punya pemikiran sendiri.

Ini bikin saya frustrasi. Buat Nugi itu demi menjaga stabilitas dan kedamaian rumah, tapi buat saya itu sama aja bohong. Dan saya lebih suka diajak debat dan adu argumen sekalian ketimbang dibohongi. Iya bilang iya, enggak bilang enggak. Lebih dari itu berasal dari si jahat. Hohoho…

Tapi ya namanya juga lelaki Jogja yang terbiasa unggah ungguh, memang ga bisa juga sih ya ujug ujug langsung nyablak kaya wong Palembang. So, kalau sudah begini, memang balik ke poin satu tadi : adaptasi.

Ya. Kami masih berproses untuk mencari formula yang paling enak, jalan tengah terbaik untuk mengatasi masalah komunikasi yang kaya gini. Semangat! Pasti bisa!


3. Finansial



Saya bersyukur dengan segala drama lamaran dan pemberkatan kami di dua kota (Palembang dan Jogja), kami nyaris tidak meninggalkan utang. Kecuali sedikit tagihan CC Nugi yang saat itu terpakai untuk tiket pesawat keluarganya dan bisa segera dilunasi.

Sesuai ekspektasi, rangkaian pernikahan sederhana sesuai kemampuan, dan tidak meninggalkan beban finansial setelahnya. Kami cukup percaya diri ketika memulai pembukuan. Dengan coret-coretan kasar rencana anggaran bulanan, kami optimis kalo uang dan gaji kami akan lebih dari cukup untuk hidup sampai payday selanjutnya.

Kenyataannya?

Baru tengah bulan, saldo kami minus dong 😂😂😂

Baru tanggal 13, saldo sudah minus 😂

Meski kata Alkitab jangan khawatir tentang apa yang kamu makan atau pakai, ngeliat saldo udah minus ratusan ribu aja sementara tanggal gajian masih lama bikin panik juga. Ada rasa frustrasi juga karena merasa gagal mengelola keuangan. Padahal gaji seorang content director Bandung untuk standar hidup di Jogja HARUSnya kan bukan cuma sekadar cukup ye kan, tapi surplus plus plus plus. Ini malah minus 😭😭😭

Beruntung, kami punya pembukuan sederhana yang mencatat setiap aliran dana masuk dan keluar di rumah tangga kami. Dari sana, kami mulai analisa apa yang salah. Bagian mana yang ga pas. Keran mana yang bocor sehingga harus segera ditutup?

Hasil analisa kami, ada beberapa faktor yang bikin saldo kami minus padahal merasa diri sudah tidak boros-boros amat dan biaya hidup kami sehari-hari "segitu-gitu aja". Rupanya ada banyak pengeluaran untuk perabotan baru untuk kebutuhan awal tinggal di kontrakan kami. Kompor dan teman-temannya itu harganya sekilas terjangkau, bahkan beberapa item sangat murah, namun lumayan menguras anggaran rupanya.

Lalu ada biaya transport kami saat Nugi harus menjemput saya di Palembang setelah mengantar mama. Juga tagihan rutin bulanan yang harus dibayar bareng di waktu berdekatan (kos Nugi di Bandung, tagihan CC, BPJS, asuransi, termasuk persepuluhan untuk gereja, dll).

Sebagian besar memang "bukan salah kami". Ya sudah kebutuhannya saja begitu Namun harus diakui, ada juga sejumlah "kekhilafan" yang sepenuhnya tanggung jawab kami. 

Jadi, entah bawaan selama ini LDR dan nyaris nggak pernah merasakan pacaran yang proper atau memang masih banyak bunga-bunga cinta manten baru, kami rupanya cukup sering ngedate dan makan di luar. Well, tidak sering-sering amat sih sebetulnya, tapi karena bulan pertama kebutuhan lain betul-betul membengkak, jadinya biaya ngedate ini terasa cukup menguras saldo.


Asyik jalan dan kulineran terus, sampai ga sadar saldo udah minus

Yah, karena nasi sudah kadung jadi bubur, kami cuma bisa memohon pada Sang Tukang Bubur Agung itu agar bubur kami ditambahin suwiran ayam, bawang goreng, dan daun seledri biar tetep enak dimakan. Kami minta tolong pada Papi di Surga, agar kami bisa melewati bulan ini. Disertai janji dan komitmen kalau next akan lebih bijak lagi mengatur keuangan.

Sungguh, Puji Tuhan, penyertaan-Nya sungguh nyata di kehidupan rumah tangga kami. Tangan-Nya ga kurang panjang untuk ngasih makan kami lewat berbagai jalan. Angpao-angpao susulan, invoice yang cair, job-job receh namun cairnya instan, promo Shopee food, dll menyelamatkan kami bulan itu. Surprisingly, di akhir bulan saldo kami malah surplus dan masih bisa nabung. Ya, matematika Tuhan memang kadang terlalu ajaib untuk dimengerti.

*

Selain masalah kontrol keran pengeluaran, ada masalah finansial yang kami hadapi lagi yakni transparansi dan perkara penentuan skala prioritas. Ada satu momen saya meledak marah ke Nugi karena dia mengirim dana tagihan listrik rumah mamak tanpa sepengetahuan saya.

Tolong digarisbawahi, TANPA SEPENGETAHUAN SAYA. Tranparansi buat perempuan itu mutlak hukumnya. Tranparansi juga adalah syarat yang saya minta ketika waktu masih pacaran kami memutuskan bahwa semua uang nanti Nugi yang pegang begitu menikah. 
Saya nggak masalah lho Nugi kasih orang tua berapa pun asal duitnya ada, toh itu juga dia yang cari, terserah mau buat apa. Tapi apa susahnya sih bilang dulu? Saya kalau Nugi udah "ngumpet-ngumpet" begitu jadi overthinking, apa image saya sejahat itu sampai kamu mikir saya akan larang kalau bilang dulu? Apa saya segitu ga bisa dipercaya-nya ya? Saya ini dianggap apa sih sebenernya sama kamu, dll, dsb, dst, dkk. Panjang ayatnyo kalo kata orang Palembang.

Saya juga sangat tersinggung ketika Nugi dengan entengnya minjemin uang 100 k ke kerabat, padahal saldo pembukuan kami sudah di ambang minus. Meski dia izin dulu ke saya, dan saya ga kuasa menolak, di mata saya Nugi sudah keliru menentukan skala prioritas. Saat itu jatah belanja harian saya yang biasa 50-100 k saja sudah dipangkas jadi 30 k karena sudah tahu harus berhemat. Tapi kok bisa-bisanya keluar 100 k buat orang lain. Buat saya Nugi sudah berlaku tidak adil. 

Penentuan skala prioritasnya harus diluruskan dulu. Rumah tangga sendiri dulu, baru ortu dan keluarga, baru yang lain. Syukurlah ketika masalah ini kami bicarakan baik-baik, Nugi mengakui kesalahannya. Dia tidak bermaksud jahat atau tidak adil ke saya, namun memang masih perlu waktu beradaptasi. 

Nugi berjanji akan lebih memprioritaskan keluarga kecilnya terlebih dahulu dan tidak akan "ngumpet-ngumpet" lagi. Tentu saja Nugi ga cuma omdo. Nugi berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Sekarang dengan kondisi keuangan kami yang mulai stabil, Nugi bahkan sudah macam sugar daddy-nya Ara. 

Saya minta apa selalu iya, selalu oke. Kadang, saya malah harus mengingatkan Nugi untuk pisahkan langsung yang pos khusus untuk orang tua biar ga kepake untuk yang lain-lain.


Ada sedikit tips yang saya dapat dari mendiang Mbah Kakung saat masih hidup terkait ngasih orang tua setelah menikah yang saat ini kami praktikkan. Kalau mau ngasih ortu suami, sebaiknya istri yang menyerahkan. Sebaliknya, kalau mau kasih ortu istri, suami yang menyerahkan. Penjelasannya sederhana, seorang anak kalau baik sama ortu sendiri itu biasa, tapi menantu yang baik akan jadi penghiburan luar biasa untuk para mertua.


4. Keluarga Besar


Keluarga besar kami yang kecil


Soal ini pengen saya bahas di postingan sendiri karena complicated. Tapi intinya begini, benar kalau orang bilang ketika menikah itu bukan cuma harus siap menikahi pasangan, tapi juga seluruh keluarganya.

Yang rempong pas hari H ga cuma mempelai, tapi keluarga besar juga. Yang perlu adaptasi dan menerima kenyataan kalau kehidupannya berubah itu nggak cuma mempelai, tapi keluarga besar juga.

Semacam itulah. Ada banyak emosi. Ada banyak kegelisahan terkait keluarga besar ini. Baik dari keluarga saya maupun keluarga Nugi.

Tips dari saya untuk yang belum nikah terkait ini, tinggallah sejauh mungkin dari keluarga besar masing-masing saat baru menikah (kalau memungkinkan) kelak. Proses adaptasi dalam rumah sendiri aja sudah cukup berat untuk dihadapi soalnya. Tinggal jauh dari keluarga besar akan kasih kita ruang dan waktu untuk lebih leluasa menata diri serta hati demi menerima dan berdamai dengan semua perubahan yang menguras energi.

Kata orang tua dulu gitu kan? Jauh bau wangi, dekat bau tahi 😂😂


5. Seks


Part ini juga sesungguhnya ingin dibahas sendiri juga. Tapi saya masih maju mundur. Masih bingung juga apakah yang seperti ini patut diulas untuk publik?

So, saya dan Nugi juga mengalami masalah ranjang. Saya yakin, kalau saya sharing soal ini, akan ada banyak pasangan baru yang mungkin mengalami masalah seperti kami ini akan terbantu. Karena puji Tuhan, kami sudah berhasil mengatasinya. Kalaupun tidak, semoga bisa kasih pesan "hey, you're not alone, dear... "

Tapi untuk saat ini, saya belum siap mental untuk bahas ini. Cuma bisa kasih spoiler sedikit, bahwasannya urusan seks itu bisa amat sangat bikin frustrasi banget ternyata, terutama untuk para newbie.

Ketika masih single dan lagi sange suka berpikir, enak ya kalau udah nikah bisa bebas ngewe, ga ada beban, kapan aja bisa, ga perlu takut misal jadi anak… oh, sekarang saya sungguh mau bilang, tidak semudah itu, Ferguso!

Seks. Tidak. Sesederhana. Itu.

Kalau pengantin baru bisa lancar dan langsung bisa menikmati hubungan seksual, maka bersyukurlah. Itu anugerah. Nggak semua pasangan seberuntung itu.

Ketika galau menghadapi masalah ini, saya memberanikan diri curhat kepada seorang sahabat cewek yang sudah lebih dahulu menikah. Saya butuh pelukan seorang teman dulu, sebelum harus konsultasi ke profesional (misalnya perlu banget). Surprisingly, sahabat saya ini ternyata mengalami masalah yang sama, bahkan belum teratasi sampai sekarang meski sudah hitungan tahun menikah. 

Ini bikin saya berpikir, jangan-jangan masalah ini sebenernya cukup umum ditemui, hanya tidak ada (atau jarang sekali) yang mau membahasnya terang-terangan. Tahu lah ya, orang kita kaya'nya masih susah bedain seks edukasi dengan konten porno. 

Btw, boleh kok kalau mau menebak-nebak dulu apa persisnya masalah ranjang kami ini, tapi kalau saya ditanya masalahnya di saya atau Nugi, saya pastikan jawabannya : keduanya.

Tapi masalah yang sempat kami alami ini membuat saya kian mengerti, kenapa hubungan seks memang sebaiknya baru dilakukan dalam ikatan pernikahan kudus. Karena ketika hubungan seksual dilakukan dengan tidak hanya bermodal nafsu, seks memang benar jadi sekudus, semanis, dan seindah itu.

Saya dan Nugi sama-sama menyebutnya : kado. Kado yang teramat manis, terlebih karena harus berjuang dan nangis-nangis dulu sebelum membukanya. Hehe... 


Mau berapa ronde malem ini, Om? 

Penutup

Pernikahan kami baru seumur jagung. Jalan kami masih panjang. Cerita kami baru dibuka. Belum ada apa-apanya.

Tapi ini sudah cukup untuk mengerti, bahwa segala sesuatu ada musimnya. Bunga ga selamanya mekar, duri-duri juga ga selalu melukai. Ada hikmah dari musibah, ada berkat di balik persoalan.

Tulisan ini dibuat sebagai pengingat cerita sekaligus penyeimbang, karena di sosmed kami sepertinya kebanyakan pamer bunga-bunga kemesraan. Saya cuma bisa bilang, aslinya ga selamanya begitu.

Jangan cuma terjebak dengan ilusi gemerlapnya pemberkatan atau resepsi, sampai habis segala energi dan upaya untuk satu hari itu.

Jangan menikah kalau cuma mau lari dari masalah. Atau cuma bosan dengan kehidupanmu yang sekarang. Percayalah, kalau begitu nanti cuma akan semakin bosan dan masalahnya akan berlipat-lipat.

Menikahlah saat sudah menemukan orang yang tepat. Menikahlah dengan kesiapan. Menikahlah di waktunya Tuhan.


Salam dari Sleman,

Bonus : 

Marco alias Komar, anabul ibu kontrakan yang tiap hari mampir nagih jatah keamanan tikus

12



Ketika dihadapkan pada dua lelaki yang sama-sama berarti dalam hidup, di mana yang satu sudah jadi mantan, dan yang satu penjamin masa depan… Harus bagaimana? 


Antara Mantan dan Masa Depan



17 Desember 2020


Saya beruntung. Itu tanggal terakhir berlakunya rapid test untuk naik pesawat. Besoknya, tanggal 18 sudah diberlakukan aturan baru yang wajib pakai swab antigen itu. Fiuh, selamat. Hasil rapid saya yang diambil 2 hari sebelumnya di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II itu tidak sia-sia. Bandung, i'm coming ~~

Pertama kalinya naik Batik Air, saya mendarat di Soeta dengan selamat. Meski sempat kesal bukan main dengan penumpang di kursi tepat di depan saya karena (ternyata) dia membuang kulit kuaci sembarangan di sepanjang perjalanan. 


berasa pesawat punya emaknya

Makin badmood karena bandara masih sama ramainya. Seperti tidak sedang pandemi saja. Segigih apapun upaya saya untuk menerapkan protokol kesehatan, tetap adaaaa saja yang nempel-nempel. Langsung dah diri ini merasa kotor dan penuh noda 🥺🥺🥺

Saya makan siang di AW terminal 2. Sebetulnya sih tidak (terlalu) suka AW. Cuma sengaja biar bisa pamer fotonya ke Omnduut 😂😂😂 Secara Kak Yayan ini udah ngidam bener sama AW bandara Soetta. 

Setelah makan, saya bergegas mencari angkutan selanjutnya yang akan membawa saya menginjak Bumi Parahiyangan. Pilihannya dua : Travel atau Bus. 

Ketika saya kebingungan memilih dua hal ini, tepat di depan saya ada seorang cowok yang auranya ramah dan (sepertinya) bisa ditanyai. Dengan pasang tampang sangat kebingungan a la first traveller (eh, tapi emang iya sih, ini pertama kalinya saya ke Bandung) , si Aa yang kemudian saya tahu namanya Imran ini dengan sabar menjelaskan rute-rute bus dan plus minus naik travel. 

Membaca tulisan Nugi di sini, saya berkesimpulan betapa lelaki itu suka SOK TAHU banget ya dengan apa yang ada di pikiran ceweknya. Baiklah, saya merasa perlu klarifikasi tentang kenapa akhirnya saya memutuskan naik bus bersama Aa Imran ketimbang travel yang jadi rekomendasi dia. 

Di blognya Nugi bilang alasannya uang. Selisih ongkosnya yang cuma beberapa puluh ribu saja itu memang menjadi salah satu pertimbangan. Tapi sungguh bukan SATU-SATU-nya alasan saya milih naik bus. Kalau memang cuma masalah uang, ngapain pusing? Saya udah punya ATM pribadi ini kok 😂😂

So, pertama… Sebagai orang yang baru pertama kali menuju Bandung, saya yakin di sepanjang jalan akan banyak hal yang bikin saya kepo. Saya pengen ada yang ditanya. Saya pengen ada temen ngobrol. 

Bayangkan, di travel yang penumpangnya terbatas itu, pasti akan sangat sulit ngobrol dengan santai dan bebas tanpa mengganggu orang lain. 

Yang kedua, I have condition yang mungkin memang belum sempat Nugi tahu. Jadi, saya ini "semi-claustrophobia". Nggak claustrophobia banget yang sampai bikin kena panic attack gitu, tapi saya benar-benar nggak suka dengan ruangan sempit atau kendaraan kecil yang tertutup. Yah, semacam minubus, taxi, atau mobil pribadi. 

Untuk perjalanan jarak pendek, saya masih bisa atasi. Tapi jika harus naik kendaraan-kendaraan ini dalam jangka waktu yang lama, saya bisa sangat gelisah dan super tidak nyaman (Dan biasanya terus memicu saya untuk mabok karena kekurangan oksigen). 



Saya suka kendaraan besar. Kereta api, pesawat, bus, atau bahkan belakang truk terbuka. Yang masih memungkinkan saya untuk berdiri atau berjalan di dalamnya. Bisa juga kendaraan kecil, namun tidak bikin saya merasa "dikurung" seperti sepeda motor atau mobil-mobil jeep yang tanpa atap dan pintu itu. (Makanya, tbh saya kecewa saat tahu motor Nugi ga bisa dipakai dan ke mana-mana malah nge-gocar. Padahal udah ngebayangin motoran keliling Bandung). 

Lanjut, ketiga, punya teman baru di perjalanan itu menyenangkan. Terlebih Aa Imron ini asyik banget diajak ngobrol. Baek pula mau bantuin bawa barang-barang saya yang bejibun. (Makasih banget ya Aa, kalau baca ini salam buat anak dan istri ya). 

Kalau lihat sawah rapi, artinya sudah di Pulau Jawa

Intinya, saya sama sekali tidak menyesali pilihan saya naik bus. Karena kalau saya naik travel, saya nggak bisa menikmati panorama di sepanjang tol dari sudut lebih tinggi. 

Drama Penjemputan

Saya memang sudah menangkap gelagat kejengkelan Nugi karena saya "ngeyel" naik bus. Plus dia sepertinya nggak suka banget sama Aa Imran yang dinilainya "menjerumuskan" saya. Padahal enggak lho.

Nugi ngabarin kemungkinan kalau dia nggak bisa jemput dan saya disarankan naik taxi online. Huh! Cowok macam apa dia? 

Well, yang Nugi nggak tahu, saya benar-benar nggak pusing tuh kalau memang dia nggak bisa jemput. Wahai Nugi, ketahuilah, di Bandung ini saya punya satu orang lain yang bisa saya andalkan selain kamu. Mas mantan! 

Mas mantan yang dari saya boarding sudah berisik mengawal perjalanan saya. Memastikan saya menghitung barang bawaan dengan benar. Mengingatkan saya makan tepat waktu plus printilan lainnya seperti tolak angin dan obat anti mabuk agar stamina saya tetap terjaga sampai tiba di Bandung. 

"Jemput Ara oy," bunyi chat saya tanpa basa-basi. 

"Lho, Nugi kemana?"

"Masih kerja nggak bisa jemput… "

"Aku mau aja lho jemput, tapi kan nggak enak sama Nugi."

"Ish. Jahaaattt…"

Mas mantan mencium bau marabahaya kalau saya sudah mulai ngambek, akhirnya menenangkan dengan bilang dia yang akan menjemput jika (dan hanya jika) Nugi betul-betul tidak bisa. 

Nah. Beres. Saya bisa kembali melanjutkan ber-oh dan wah ria dengan pemandangan di sepanjang tol. Di beberapa titik, proyek kereta cepat tampak masih dikerjakan. 

Dan syukurlah, di detik terakhir Nugi ngabarin bilang bisa jemput. Pffftt, perhatian juga ternyata dia meski sempat bikin saya menunggu lumayan lama karena dia bilang ingin makan dulu. Ini juga sempat bikin saya heran, Nugi kok ya jahat banget makan sendiri padahal saya juga udah kelaparan karena ketika bus tiba di pool, hari sudah jelang magrib. Mana dingin pula karena Bandung baru diguyur hujan. 

Tapi ya sudahlah. Better begitu karena Nugi kalau sudah (ke)lapar(an) atau sakaw cafeine itu asli super menyebalkan. Raut wajahnya bakal kaya ketiak saya : asem! Sungguh bikin pengen nabok saking nggak enaknya dilihat. Jadi biarlah dia makan dulu agar bertemu saya pertama kali dalam kondisi good mood


Hae, LDR Fighter

Dan… ketika akhirnya bisa lihat Nugi lagi untuk pertama kalinya setelah 9 bulan, asli sempat kaget. Nugi jadi montok banget gitu 😂😂 Pengen ngatain dia, tapi terus sadar diri. Lha saya sendiri juga sama nambah bengkaknya kok 😂😂 
Yeahh, kadang definisi cinta adalah bahagia dan menggendut bersama...
Thank God, aroma badan Nugi nggak berubah. Sampai detik ini masih menempati peringkat ke-3 aroma favorit Ara setelah durian dan bau kucing yang sudah tidur lama. 

Umm, sisa cerita malam itu sudah diceritakan Nugi di blognya. Kurang lebih sama. Tbh, saya ingin ini ingin itu banyak sekali sama Nugi di kamar hotel. Apa daya, saya datang bulan hari itu dan cuma bisa guling-guling di kasur menahan kram perut nan menyiksa. 

Yah, mau nggak mau harus disyukuri sih. Tuhan ternyata masih melindungi komitmen pacaran kudus kami dari godaan setan yang mungkin menyelinap di dinginnya Bandung malam hari. Ya. Meski harus dengan jalan penuh penderitaan gini. (Ya Tuhan, prosesi sah di altarnya bisa dipercepat nggak? ) 

Btw, kalau Nugi punya nasi goreng sebagai comfort food, saya adalah tim sate padang. Sayang, setelah makan malam bukannya membaik, saya malah muntah-muntah di toilet. 

Pelajaran nomor satu untuk kalian yang baru pertama kali menginjak Bandung : Jangan. Pernah. Pesan. Sate. Padang. 


Pesanlah cuanki saja. Atau seblak. Atau cilok. 

Mahulana, Ksatria di Balik Lensa


Jumat (18/12) keesokan harinya, saya dibangunkan Nugi dan Mahul pagi-pagi sekali. Kepala saya masih gliyengan sejujurnya. Tapi schedule pemotretan sudah menunggu. (Tsaaaahhhh!!!) 

Memaksakan diri mandi dan dandan tipis pagi-pagi demi menyamarkan wajah pucat, saya siap foto-foto. Sama seperti Nugi, saya juga tidak menyangka Mahul se-total itu. 




Melihat hasil foto-foto "prewedding" kami yang luar biasa, saya tidak berpikir dua kali untuk meminta Mahul untuk memotret acara pemberkatan nikah kami kelak. Tentu kami siap jika harus membayar Mahul secara profesional, lengkap dengan transportasi dan akomodasi full service-nya di Palembang. 










Sayang sekali, Mahul menolak dengan halus. "Saya nggak pernah mau motoin nikahan temen, Teh. Soalnya saya nggak mau lihat yang lain senang-senang, saya sibuk kerja sendiri. Kalaupun saya datang ke Palembang, saya pengennya ikut senang-senang juga bareng tamu yang lain… "


Tidak selamanya orang ke-tiga adalah setan


Hmm. Iya juga sih. Baiklah, Mahul, kami mengerti. Tapi kabari segera kalau berubah pikiran ya, siapa tahu kan… 

Mantan VS Masa Depan

Usai sesi foto yang menyenangkan dan sarapan di hotel, Nugi masih harus lanjut kerja karena belum libur. Saya yang dicuekin, memilih chat mas mantan mengatur janji ketemuan. 

Well, sebetulnya saya belum terlalu siap jumpa mantan setelah pertemuan terakhir kami pada empat atau lima tahun silam. Apa daya, Ibu Ratu menitipkan mandat oleh-oleh yang harus diserahkan. Iyaaa, segitu sayangnya emang emak saya itu sama mas mantan 😂

Kami janjian di KFC Pasar Baru setelah salat jumat. Yang dekat saja. Cukup turun dari hotel. Tempatnya juga sepi dan lumayan nyaman untuk Nugi menemani kami ngobrol sambil kerja. 

Kesan pertama setelah jumpa mantan? 

Ya ampun. Nggak berubah banget dia. Masih sama kurusnya. Cuma terlihat sih makin dewasa (ya iyalah, udah punya anak). 

Kami bertukar kabar terbaru sekaligus mengenang kisah lama. Meng-ghibahkan teman-teman lama kami. Saya juga membereskan "utang" yang menghantui saya bertahun-tahun ini (yang ternyata mas mantan lupa kalau dia pernah memiutangi saya). 

Berkali-kali saya menyelidiki perasaan sendiri. Saya merasa harus membereskan perasaan lama yang mungkin masih tersisa. Bagaimanapun, pria yang sekarang statusnya sudah jadi laki orang ini pernah begitu berarti dalam perjalanan hidup saya. Dia lelaki yang bikin saya sangat sulit move on. 

Saya merasa akan sangat berbahaya untuk lanjut ke jenjang berikutnya bersama Nugi jika saya terus menerus menoleh ke belakang. Kalau memang masih ada rasa yang tertinggal, mending break dulu kan ya? 

Dan saya rasa, saya tahu jawabannya. 

Jadi, sekalipun saya ngobrol berhadapan dengan mas mantan, ekor mata saya selalu mencari-cari keberadaan Nugi (yang sebenernya cuma di sebelah saya persis). Bahkan beberapa kali saat membahas kisah-kisah emosional, saya sampai merasa perlu menggenggam tangan Nugi di bawah meja untuk menenangkan diri. 

Saya sempat dengan kejam membandingkan keduanya dalam hati. Oh, jelas… dilihat dari sisi mana pun, tetap mantan yang menang 😂😂 Mantan jauh lebih sabar, menyenangkan, dan dewasa ketimbang Nugi. 

Nugi aja mengakui kok. Saat perjalanan kembali ke hotel, dia bilang "Si X itu baik dan menyenangkan banget orangnya. Dan sampai sekarang pun kelihatan banget dia sayangnya sama kamu… "

Ya. Sayang mas mantan memang nggak berubah. Dari dulu dia begitu. Tapi ya sudah. "Cuma" sayang. Sebatas sayang. Nggak lebih. Dan nggak pernah lebih. 

Bukan cinta. Apalagi hasrat seorang lelaki ke perempuan. Jauhh... 

Dari dulu mas mantan memang begitu. Saya-nya yang terlalu GR. Saya terlalu bodoh sebagai cewek, karena belum bisa membedakan antara sayang dan cinta. Saya tidak tahu bedanya perhatian dan kasih sayang sebagai saudara atau sebatas sahabat, dengan keinginan dan hasrat untuk menjadi teman hidup hingga usai usia. 

Ah, itu dulu. 

Sekarang saya sudah tahu. Setelah melihat sendiri wujud cinta itu. Ada di Nugi. Terlihat jelas. Karena cowok itu yang akhirnya menunjukkan pada saya bahwa ada perbedaan amat besar antara cinta dan sekadar sayang. 

Nugi selama ini sangat percaya diri jika menyangkut perasaan saya. Bahkan saat memenangkan hati saya setahun lalu, dia dengan songongnya menikung seorang cowok yang sudah 4 tahun dekat dengan saya. 

Namun saat bertemu dengan mantan, untuk pertama kalinya saya melihat kegelisahan dalam diri Nugi. Bukan kecemburuan sih, tapi semacam kepercayaan dirinya selama ini terusik. Dia mungkin tidak sadar hal ini dan mungkin menyangkal jika ditanya langsung. Tapi menurut saya, Nugi cukup ekspresif kok... 

Nugi terlihat sedikit terganggu dengan begitu naturalnya interaksi saya dengan mantan. Saya memang jauh lebih luwes sih di depan mantan ketimbang saat bersama Nugi (Saya bahkan sempat "memalak" mantan, dan seketika dapat Rp 50 ribu yang menurutnya sudah cukup untuk jajan es duren di Bandung. Dengan orang lain mana berani saya begitu 😂😂). 

"Aku yakin ini cuma soal waktu. X peka dan memahami kamu karena dia udah kenal lama sama kamu. Aku cuma kalah start masuk di hidupmu, " kata Nugi menghibur diri. 

Saya senyum-senyum sendiri lihat ekspresi Nugi saat ngomong itu. Sebagai pacar yang baik, saya merasa perlu menenangkan Nugi. Meyakinkan dia kalau saya sungguh sudah berdamai dengan masa lalu. Yang sudah biarlah berlalu dengan kesudahannya. 


Kalau boleh saya analogikan, mas mantan itu seperti pohon rindang di tepi jalan. Rimbun nan teduh di tengah terik dan padatnya lalu lintas kehidupan. Dia mampu menimbulkan rasa nyaman dalam diri dan bikin saya selalu ingin kembali meski hanya sekadar memetik buahnya barang dua atau tiga buah. Buah bernama ketulusan persahabatan dan persaudaraan yang nyata serta nggak lekang oleh waktu di tengah begitu banyaknya senyum palsu di dunia ini. 

Sementara Nugi adalah rumah. Yang mungkin belum selesai dibangun, atau masih butuh renovasi di sana-sini. Tidak (atau belum) terlalu nyaman karena masih banyak "perabotan" yang harus dilengkapi. Masih ada banyak proses yang harus dilalui. Tapi di rumah inilah saya tahu saya akan bisa tidur dengan nyenyak. Ada ketenangan dan kenyamanan aneh meski hujan badai topan berlangsung di luar sana. Nugi adalah rumah tempat saya bisa merasa pulang. 

Wahai Nugi, Mas mas Jogja kesayanganku ..., kalau kamu baca ini (dan aku yakin kamu akan baca ini) ... Tenang ya. Selagi kita terus pupuk dan rawat cinta ini, aku jamin nggak ada satu mantan pun yang bisa merampas hatiku darimu. Seperti katamu, kita ini adalah pasangan yang telah mengalahkan dunia dan hantu masa lalu. 

Kuharap, selamanya begitu. 


Akhir kata, 

Terima kasih, Bandung… 

Untuk membereskan segalanya. 


To be continued ~











10

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...