"Siapa yang mengira, bahwa segumpal bulu bisa mendatangkan begitu banyak kebahagiaan" - Chicken Soup for the Soul : Pelajaran dari Kucingku
Semua Akan Bucing Pada Waktunya |
Dalam salah satu buku seri Chicken Soup for the Soul favorit saya : Pelajaran dari Kucingku, ada beberapa kisah tentang orang-orang yang semula tidak menyukai bahkan cenderung membenci kucing, lama kelamaan menjadi budak kucing (bucing) juga. Di dunia nyata, dua orang terkasih saya rupanya juga mengalami proses seperti itu. Dari cat haters menjadi cat lovers. Memang hanya butuh waktu dan kesempatan, pada akhirnya semua akan menjadi bucing pada waktunya.
___________________________________________
Sewaktu masih pacaran dengan Nugisuke, saya sempat sangat khawatir begitu tahu saya ternyata mengencani seseorang yang punya riwayat asthma akut. Saya cemas dengan kemungkinan tidak bisa memelihara kucing jika kelak berumah tangga.
Untungnya, Nugi bilang dia tidak bermasalah dengan bulu kucing. Saya ingat sekali, "kalau kita serumah nanti, kamu boleh piara kucing. Tapi mohon maaf aku nggak akan nguwel nguwel atau ngelus-ngelus mereka kaya kamu. Aku nggak suka kucing," katanya waktu itu.
Meski kecewa calon suami tidak suka kucing, tapi saya lega Nugi tidak melarang saya memeliharanya. Itu sudah cukup. Lagi pula, saya sangat maklum kenapa Nugi tidak suka kucing. Selain penyakit asthma bawaannya, Nugi lahir dan tumbuh besar di keluarga yang tidak suka kucing.
Ibu mertua saya akan sibuk mengusir dengan gagang sapu jika ada kucing yang mendekat atau lewat dekat rumahnya. Kata Nugi, tidak pernah ada seekor kucing pun yang pernah menginjak rumah mereka sejak dulu.
Di awal-awal menikah dan tinggal di sebuah rumah kontrakan petak, saya tidak langsung memelihara kucing. Sudah cukup terhibur dengan kehadiran kucing abu-abu milik ibu kos bernama Marco yang selalu singgah minta jatah uang keamanan tikus. Selain itu, ada banyak kucing liar yang menjadikan rumah kami sebagai basecamp karena saya selalu menyiapkan dry food di teras.
Meski demikian, kami sempat mencoba memelihara beberapa Kitten yang kami temukan di jalanan. Sedikitnya ada 3 ekor yang sempat kami pelihara dan beri nama, yakni Panda, Cireng, dan Uci. Sayang, ketiganya belum memilih kami sebagai babu. Panda kabur di hari kedua kami pelihara, Cireng mati setelah seminggu sempat kami rawat dengan penuh cinta, dan Uci hilang setelah kami titipkan ke tetangga saat harus ada pekerjaan ke luar kota (padahal hanya ditinggal 2 hari).
Ojan dan Otin saat baru diadopsi |
Namun di rumah kontrakan yang baru, kami sepertinya berjodoh dengan 2 ekor kitten yang kami jemput jauh-jauh dari Kaliurang. Sepasang kitten kembar berwarna oren-putih yang mirip sekali dengan Ossas saya di Palembang. Jadilah Ossas Jantan (Ojan) dan Ossas Betina (Otin) menemani hari-hari kami di kontrakan baru.
Perlahan namun pasti, Nugi mulai bersikap seperti layaknya ayah ke anak-anaknya. Segera saja dia punya anak favorit : Otin. Yah, semua ayah memang rasanya akan lemah kepada anak perempuan. Nugi bahkan menyebut dirinya sendiri "Bapak" jika bicara pada duo krucil itu.
Tidur pun minta kelon Bapak |
Nugi yang dulu bilang tidak akan mengelus-elus kucing manapun yang saya pelihara, kenyataannya setiap hari selalu punya quality time bersama anabul. Entah menimang-nimang, memangku salah satunya ketika sedang sibuk bekerja, atau mengajak mereka bermain yang disebut Nugi sebagai "momong anak".
Iyaa, nggak ngelus ngelus. Cuma nimang nimang aja 😝😝😝😝 |
Kalau sudah begini, apa masih pantas meng-klaim dirinya sebagai orang yang tidak suka kucing?
***
Selain Nugi, mama saya tercinta alias yang mulia Ibu Ratu juga selalu bilang dirinya tidak suka kucing. Sepanjang ingatan masa kecil saya, Ibu Ratu memang kejam dengan anak-anak bulu kesayangan saya dan papa. Beliau tidak segan menyabet, menendang, atau mengguyur para kucing jika nekat bandel naik ke atas meja mencuri makanan.
Ossas dan Ling ling, kucing saya di Palembang |
Ibu Ratu juga sering membuang para kitten yang menurutnya sudah bisa disapih. Saya benar-benar jadi dendam kesumat dengan mama saya sendiri gara-gara ini. Beruntung, saya punya papa yang sama-sama cat lovers. Kalau tidak ada papa, saya tidak akan pernah diizinkan memelihara kucing sama sekali tentunya.
Saya tidak ingat kapan persisnya Ibu Ratu berubah. Sepertinya tidak lama setelah papa meninggal. Saat itu, Ossas I yang saya pelihara sejak kecil ingin diminta tetangga dan saya minta pendapat Ibu Ratu.
"Ya jangan boleh lah, enak saja minta-minta. Sudah besar kok diminta, yang ngerumat sejak kecil siapa?!" komen Ibu Ratu saat itu.
Saya geli sendiri, rasanya selama ini beliau mati-matian memaksa saya berhenti memelihara kucing yang dianggapnya sumber banyak penyakit.
Lalu ketika Ossas I mati dan saya punya Ossas II yang masih kecil, saya sering mengajaknya pulang pergi dari kosan ke dusun Ibu Ratu setiap weekend. Ossas saat itu masih muat masuk tas selempang saya.
Pada suatu hari, ketika saya akan membawa Ossas kembali ke kosan, Ibu Ratu melarang saya. Beliau meminta Ossas ditinggal saja di dusun.
"Kasihan nggak muat lagi masuk tasmu, lagipula di kosanmu sempit, nggak bisa bebas main-main dia. Di sini kan halaman luas, banyak pohon..," kata Ibu Ratu.
Di situ saya sudah membatin, halah! Bilang saja mulai sayang dengan Ossas dan nggak mau pisah.
Kecintaan Ibu Ratu pada makhluk berkuping segitiga itu kian nyata setelah saya menikah. Setelah diboyong Nugi untuk pindah dan menetap di Yogyakarta, praktis saya meninggalkan anak-anak bulu saya dalam pengasuhan Ibu Ratu di Palembang. Selain Ossas, saya juga meninggalkan Ling Ling beserta 3 anaknya : Pedro, Cemong, dan Citam.
Setiap kali saya berkesempatan menelpon, Ibu Ratu akan mengoceh terkait kelakuan anak bulu itu. Ossas yang makin buduk dan keluyuran terus bak preman kampung lah, Ling Ling yang jadi primadona dusun dan selalu diapeli banyak pejantan lah, Pedro dan Cemong yang rutin menghadiahi Ibu Ratu upeti tikus dan anakan ular lah, juga Citam yang belum lama ini membantai 22 dari 25 ekor anak ayam kampung peliharaannya.
Semuanya diceritakan dengan begitu antusias oleh Ibu Ratu. Seolah tak ada topik lain yang lebih menarik ketimbang semua anak-anak bulu itu. Bahkan beliau tidak peduli apakah saya sudah hamil atau belum. Bagi beliau, menebak-nebak siapa sesungguhnya bapak dari janin-janin kucing di perut Ling Ling jauh lebih mendebarkan ketimbang menunggu kabar kehamilan saya, anak bungsu dan perempuan satu-satunya ini.
"Sebenernya nggak suka banget kucing saya tuh" |
Meski dengan segala kelakuan ajaibnya jika menyangkut kucing, Ibu Ratu masih suka berucap ke siapa pun yang mau mendengarkan, "Sebenernya nggak suka banget kucing saya tuh. Kotorannya bau, bulunya nempel ke baju kemana-mana, bandel nggak bisa dibilangin. Makannya banyak harus ikan pula..."
Kalau sudah begitu saya iya-iyakan saja.
Manusia yang dipercaya sebagai kasta tertinggi ciptaan Tuhan, memang kadang masih denial mengakui dirinya sudah menjadi seorang budak makhluk lain. Namun percayalah, semua itu hanya soal waktu dan kesempatan. Jika sudah sekali saja terhipnotis pesonanya, maka semua akan menjadi bucing juga pada waktunya.
Apa kalian punya kisah orang-orang seperti Nugi dan Ibu Ratu juga?
Salam dari Jogja yang istimewa, seistimewa kalian yang menyempatkan diri meninggalkan jejak di kolom komentar