Menu




Pernah mengalami tanpa sengaja lewat dekat orang membakar sampah? Atau tak sengaja terpapar asap orang membakar sate? Bagaimana rasanya?

Napas sesak, selalu ingin batuk, mata pun berair dan memerah karena pedih. Pokoknya tidak nyaman dan buru-buru ingin pergi dari sumber asap.

Nah, seperti itulah kira-kira sensasi yang dirasakan para korban bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang memicu kabut asap. Bedanya, sensasi tidak nyaman itu berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Lebih sulitnya lagi, korban tidak bisa menghindar karena asapnya sudah tersebar merata ke seluruh kota. Tidak semudah menghindar dari orang membakar sampah atau menjauh dari si tukang sate.

Sebagai anak Sumatera Selatan, saya tidak asing dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sepanjang umur, sedikitnya dua kali saya menjadi korban kabut asap yakni tahun 2015 dan tahun 2019 silam.


Jarak pandang di kota Palembang kala itu menjadi sangat terbatas karena terhalang kabut pekat. Sekilas memang tampak seperti kabut biasa, namun kabut ini bikin sesak nafas dan mata pedih. Sekolah-sekolah diliburkan, penerbangan dibatalkan, dan helikopter pembawa balon air bersileweran setiap harinya. Di malam hari, dari kejauhan langit tampak kemerahan di lokasi-lokasi yang merupakan area kebakaran.

Ah, saat itu saya tidak sanggup kemana-mana. Lebih pilih berdiam diri di rumah dan menutup rapat semua pintu jendela. Sialnya, kabut asap rupanya juga masih bisa masuk melalui lubang ventilasi.

Kabut asap membuat kami, warga Sumatera Selatan sudah terbiasa mengenakan masker sehari-hari. Jauh sebelum era covid dimulai.


Saya dan Lahan Gambut

Masih sebagai anak Sumatera, sejak kecil saya sudah familiar dengan lahan gambut (meski saat itu masih belum tahu namanya). Alm papa dulu punya sawah dan ladang di lahan gambut. Yang khas dari lahan gambut adalah, tanah yang kita injak terasa lunak dan "membal", mirip seperti kalau kita berdiri di atas trampolin.

Setelah dewasa, tepatnya tahun 2018 lalu, saya malah berkesempatan terjun lebih jauh di dunia pergambutan. Ketika ditawari menjadi salah satu tim yang terlibat dalam project penulisan dan penyusunan Buku Profil Desa Peduli Gambut bersama Badan Restorasi Gambut (BRG).



Perkenalan langsung di lapangan dengan lahan gambut kala itu membuat saya menyadari betapa besarnya peran lahan gambut bagi bumi kita.

Rupanya "jodoh" saya dengan gambut masih berlanjut. Setelah tak lagi di lapangan dan kini menjadi fulltime ibu rumah tangga, saya kembali "berjumpa" dengan dunia pergambutan lewat online gathering bersama #EcoBloggerSquas  pada Jumat (11/8) lalu.

Bertajuk "Indonesia Merdeka dari Karhutla", ingatan saya terkait lahan gambut kembali disegarkan oleh pemaparan Kak Ola Abas dari Pantau Gambut selaku narasumber.


Lahan gambut itu bak sumur cadangan air bagi Bumi. Seperti spons, lahan gambut mampu menyerap dan menyimpan air. Daya tampung airnya mencapai 450-850% dari bobot keringnya.


Lahan gambut juga merupakan rumah bagi sejumlah flora dan fauna. Sejumlah tanaman yang hidup di lahan gambut di antaranya adalah ramin (kayu mewah untuk furnitur), pulai, jelutung, durian, getah sundi, jambuan, geronggang, dan pala. Untuk satwanya sendiri misalnya orangutan, lutung merah, macan dahan kalimantan, bangau hutan rawa, angsa sayap putih, buaya sinyulong, macan sumatera, beruang madu, dan tapir. Tak sedikit dari fauna tersebut merupakan binatang hampir punah dan/atau dilindungi.


Gambut dan Karhutla

Setiap hektar lahan gambut yang dikeringkan berarti melepaskan 55 metrik ton CO₂ tiap tahunnya, setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin. Belum lagi jika musim kemarau tiba, lahan gambut yang teksturnya berpori itu menjadi sangat mudah terbakar dan kemudian menyebar luas hingga menimbulkan bencana karhutla.

Sayangnya, sejumlah pihak masih menganggap pembakaran adalah cara paling cepat dan murah untuk membersihkan lahan. Padahal, bencana karhutla yang meluas dan tak terkendali itu bisa berawal hanya dari sepuntung rokok yang dibuang sembarangan.


Seperti yang sudah saya singgung di awal tulisan, kabut asap dari pembakaran lahan gambut sangat menganggu. Bukan hanya menganggu kesehatan, namun juga mengganggu aktivitas keseharian masyarakat. Akses pendidikan dan transportasi terganggu, dan ujung-ujungnya berimbas pada sektor perekonomian karena warga tidak bisa bekerja dengan normal.

Indonesia Merdeka Karhutla

Indonesia di tahun 2023 ini rupanya masih belum merdeka dari karhutla. Tercatat masih banyak provinsi terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang masih rentan karhutla (lihat gambar).




Memasuki musim kemarau dan El Nino (fenomena pemanasan Suhu Muka Laut/SML di atas kondisi normalnya), potensi karhutla rupanya semakin meningkat meningkat pula. Sepanjang Januari-Mei 2023 saja, tim Pantau Gambut menemukan 5.030 titik panas di 29 lokasi KHG. Dari 29 lokasi tersebut, 10 di antaranya terjadi di bulan Mei saja.

Indonesia memang belum merdeka dari Karhutla, namun Ola Abas mengatakan jika kita tidak boleh berhenti berharap. Meski masih harus menghadapi banyak tantangan, menyelamatkan lahan gambut masih bisa dilakukan.

Cara terbaik memang mencegah jangan sampai terjadi kebakaran. Sebab lahan gambut yang sudah terbakar akan susah dipadamkan kembali. Meski bisa dipadamkan dengan mobil pemadam kebakaran, tangki air, bom air dari helikopter, membuat sekat bakar, hingga Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), namun cara ini akan menghabiskan banyak sekali daya dan dana.

Dalam hal ini, menurut Ola, masyarakat umum dan perusahaan perlu diedukasi terkait bahaya pengeringan dan pembakaran lahan gambut. Tapi menurut saya, perusahaan yang lebih krusial untuk disadarkan, karena kalau edukasi pada masyarakat sudah banyak dan mudah dijalankan. Penegakan hukum bagi para pelanggar atau pelaku pembakaran juga harus lebih tegas.

Dan tentunya partisipasi masyarakat umum sendiri tetap diperlukan dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan pemantauan restorasi lahan gambut di lapangan.

Saya sendiri ambil bagian dengan apa yang saya bisa saat ini, yakni menuliskan dan meneruskan informasi ini seluas-luasnya. Dengan harapan bisa membangkitkan awareness masyarakat terkait nasib lahan gambut kita.

Mari, di bulan kemerdekaan ini kita jaga lahan gambut kita untuk masa depan. Ingat, Bumi kita juga milik generasi setelah kita. Yuk sebarkan informasi ini pada circle-mu, bergabung dengan kegiatan atau komunitas pecinta lingkungan seperti di Team Up For Impact.
1

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...