Menu
Tampilkan postingan dengan label Palembang blogger. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Palembang blogger. Tampilkan semua postingan

Catatan mommy Ossas kencan bareng Nugisuke, owner thetravelearn di Palembang (bagian kedua -- habis)

Part 1-nya di sini


Ara-Nugi, our first date


"Mas, kamu adalah ke-tidak-pahamanku tentang semesta yang kupelajari dalam doa." (Arako, 2020)


Hotel Feodora, Kamar 307
Feodora Airport Hotel Palembang (pic : booking.com)

Saya memang kurang olahraga. Naik tangga ke lantai tiga saja sudah bikin saya megap-megap. Sampai di kamar yang lampunya remang-remang itu, saya mendadak nge-blank. Bingung ada apa. Lupa tadi kenapa.

Errr, lebih ke awkward juga sih. Baru nyadar kalau kami betul-betul cuma berduaan di dalam kamar. Malam minggu pula. Mau ngapain, Raaaa??? Main ular tangga? Apa monopoli? 

Menghilangkan kegugupan, saya langsung ke kamar mandi yang (sialnya) pintunya ga bisa dikunci. Mau pipis pun terus nggak jadi. Yah, tahu sih mas nggak bakal ngintip juga, tapi tetep saja. Nggak nyaman.

Saya cuma duduk di kloset. Mengatur nafas, sambil mengingat-ingat apa yang bikin saya tadi begitu "semangat 45" ngajak mas ke hotel. Asli, otak mendadak nge-lag di momen nggak tepat tuh nggak enak banget.

Pas keluar, begitu lihat tampang mas. Saya langsung paham. Kaya ada yang langsung nyalain lampu di sela keruwetan dalam kepala. Berbarengan dengan itu, mas bilang …

"Ra, aku kumat bengek …"

ASTAGA! IYAAA, GW TAU LU BENGEK, MAS! ORANG PALING BEGO AJA BAKAL TAHU KALAU LIAT TAMPANG LU SEKARANG. NGACA COBA UDAH KAYA IKAN PATIN DI PASAR NUNGGU DIGETOK!

Meski begitu, nggak sepatah kata pun sanggup keluar dari mulut saya. Saya sibuk mengontrol emosi sendiri. Tenang, Ra... Tenang ... Jangan meledak ...

"Tapi tenang aja. Udah minum obat kok," sambung mas buru-buru. 

TENANG, TENANG DARI HONGKONG?! KALAU LU MATI DI SINI SEKARANG GIMANA, MAS? MAMPUS GW, BISA JADI TERSANGKA PEMBUNUHAN INI… MANA CUMA BERDUAAN DI KAMAR HOTEL LAGI, PAPA BISA MENINGGAL DUA KALI KALAU TAHU ANAK GADISNYA BEGINI ...

Tapi yang keluar dari mulut saya cuma "Te… terus ini gimana ini, Mas? Kita ke rumah sakit?" 

"Nggak, nggak usah. Ntar juga baikan. Tunggu aja… Udah biasa kok ..."

Malam itu saya baru tahu kalau orang sesak nafas itu justru nggak nyaman kalau berbaring. Mereka harus tetap duduk meski sama nggak nyaman-nya. Kami berdua duduk di ujung tempat tidur.

Saya tuh sebenernya berusaha banget untuk menenangkan mas malam itu. Pengen nemenin dia dan pengen bisa bikin dia segera ngerasa baekan. Tapi saya juga nggak tahu harus gimana. Setiap kali ngajak ngobrol, mas jawabnya kaya orang sekarat di sinetron-sinetron itu (ya iyalah, Raaa… namanya orang asthma).

Tapi diem aja juga nggak enak. Bunyi detak jam masih kalah serem sama nafas mas yang "ngiiikk ...ngiiikk…" gitu. Setiap tarikan nafas mas, di kuping saya berasa kaya lonceng penanda kematian. Horor banget asli. Saya benar-benar ketakutan malam itu.

Takut kalau harus kehilangan Mas di meet up perdana kami. Kan nggak lucu.

Perlahan namun pasti, rasa takut kemudian berganti jadi rasa bersalah. Saya flashback momen seharian ini. Andai saya nggak bangunkan mas, dia bisa istirahat lebih lama. Andai saya segera ajak mas pulang begitu tahu ada yang nggak beres bahkan sejak masih di LRT, andai kami tunda dulu ketemuan sama teman (mereka toh orang-orang baik, pasti ngerti kalau janji terpaksa batal), andai saya paksa mas untuk nggak usah bawa motor …

Mas nggak perlu kumat sakit kaya' gini. 

Saya menyesal.

Lalu tanpa bisa dicegah, rasa bersalah pun bergeser ke benci sama diri sendiri. Yang kaya gini lu bilang sayang sama orang, Ra? Yakin lu sanggup berkomitmen seumur hidup? Pppfffttt … hari pertama aja lu udah gagal jagain dia! Mau bilang apa lu sama keluarganya kalau Nugi mati di Palembang? 

Dan … begitulah. Pikiran liar berkecamuk saling kejar di dalam kepala. Saya takut, cemas, dan panik luar biasa. Tapi di sisi lain, saya tahu harus menyembunyikan emosi sekuat tenaga.

Dalam satu kesempatan ngobrol di telepon, mas pernah bilang kalau serangan asthma-nya kumat, dia nggak mau orang di sekitarnya cemas dan khawatir. Itu bakal bikin dia makin nggak nyaman dan makin susah tenang. Makanya, saya nggak mau kelihatan panik atau cemas.

Tapi mas --tentu saja-- bisa lihat kalau ada yang nggak beres sama diri saya. Otak saya benar-benar kacau di dalam saat itu, tapi yang dilihat mas dari luar cuma Ara yang mendadak "freeze" dengan tatapan kosong. Persis kaya orang kesurupan, katanya.

"Ra… hey, Ara… kamu kenapa?" kata mas sambil menggenggam tangan saya lembut. 

Saya berusaha tetap diam, tapi ternyata nggak bisa. Sentuhan tangan mas ke kulit saya ibarat ujung peniti kena balon. Bikin saya nggak bisa nahan diri lagi.

Tangis saya meledak malam itu. Segala kecemasan dan kepanikan langsung tumpah. Saya bahkan sempat nyaris nggak bisa nahan keinginan untuk self harm lagi, even "cuma" jedot-jedotin kepala ke tembok. Ya ampun ... Badan sampai gemetar saking kalutnya.

Saya, yang semula ajak mas ke hotel berniat menenangkan dia, eh, malah berakhir dengan mas yang menenangkan saya. Kacau! 

Asli. Serangan asthma dan anxiety disorder itu sungguh bukan kolaborasi menyenangkan!

Untungnya, insiden malam itu berakhir juga. Setelah entah berapa jam, baik saya dan mas pada akhirnya sama-sama bisa tenang. Saya berhenti menangis, dan nafas mas berangsur normal meski belum sepenuhnya membaik. 

"Duuhh, jeleknya cewekku kalau nangis gini, cup cup cup…udah yaaaa," kata Mas sambil ngusap air mata saya dan ngelus ngelus puncak kepala. Kalau ada yang lihat tingkah dia yang begitu itu, orang-orang pasti mikir kalau umur saya ini baru 4 tahun. 

Meski begitu, saya cuma diam saja. Namanya juga sayang ... (Halah!)

Malam semakin larut, saya mulai bersiap pulang ke kosan. Tapi sebelumnya, saya sempat ajak mas berdoa. Saya peluk dia, dan kami doa bareng.

Begitu kata "Amin" terucap, mas bilang gini sambil senyum-senyum, "Ya ampun. Aku nggak pernah tahu lho pacarku ternyata relijius …"

Saya memutar bola mata. Nggak suka. Dilihat dari sudut mana pun, mana ada sejarahnya si Ara relijius. Fujoshi laknat begini lho.

 Saya tuh …, ajak mas berdoa ya karena cuma itu satu-satunya cara komunikasi ke Tuhan yang saya tahu. Saya cuma pengen berterima kasih. Nggak lebih. Andai … misalnya nih, Tuhan punya FB atau WA mah saya tentunya lebih pilih chat Tuhan begini : 

"TUHAAANNN …  harus banget ya bikin aku nunggu segini lamanya? Tapi nggak papa. Worth it banget tahu. Makasih ya, udah pertemukan aku sama belahan jiwa yang sekarang di sampingku ini. Engkau baik deh, selalu baik meski anakmu yang satu ini bandelnya nggak habis-habis…"



Standar Kegantengan Berbeda

Ganteng versi Mas 😹😹


Keesokan harinya, hari minggu (19/1) pagi, saya balik ke hotel lagi. Mas bangun kesiangan, tentu saja. Nggak papa sih, yang penting dia bisa tidur semalam.

Sampai kamar, mas ternyata belum mandi. Tapi pas saya peluk mas masih enak aja tuh aroma badannya meski ga lagi wangi deodorant, melainkan minyak kayu putih. Nggak lama, dia terus ke kamar mandi.

Kalau di hari sebelumnya saya ngeluh mas lelet banget mandinya, asli … nggak ada apa-apanya itu mah. Pagi itu mas JAUH LEBIH LELET. Kalau kemarin sambil luluran, yang ini bulu keteknya sambil dihitungin satu-satu kali. Habis tu dikepang.

Saya udah nyaris ketiduran di kasur saking bosannya nunggu dia. Tapi nggak sia-sia. Begitu pintu kamar mandi menjeblak terbuka dan wangi sabun menguar di udara, pemandangan indah langsung muncul di depan mata : Punggung fenomenal @nugisuke  versi live action 😹😹 Asli, yang di feed IG dia itu mah nggak ada apa-apanya. 

Lelaki yang memesona dengan punggungnya


"Kumisku udah dicukur nih, Ra…," kata Mas di depan cermin.

Oh, sambil cukuran toh tadi, pantesan lama. Saya diam-diam ngakak penuh kemenangan. Akhirnya, berhasil juga saya menyingkirkan men pride-nya mas plus apalah apalah yang dia sebut ideologi fisik itu.

Jadi gini, Mas itu ngerasa bangga dan ganteng dengan bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya. Kumis tipis di wajah bikin dia ngerasa dewasa dan macho. Saya? Yang dari kecil memuja idol jepang-korena-cina dan tontonannya sekarang BL series Thailand tentu saja nggak sepakat. 

Saya mah nggak butuh cowok sangar nan macho. Lha tipe cowok ideal versi saya itu yang kaya Haoge kok (yang belum tahu, please nggak usah googling). Yah, intinya saya suka cowok syantiek. Kalaupun nggak bisa dapet yang syantiek ya minimal yang manis, imut, cute bikin gemes gitu deh. Bukan yang sangar (sok) macho.

Pffftt, makanya, ketika akhirnya bisa lihat mas tanpa kumis saya puas bukan main. Segera saja saya ikut mendekat ke cermin. Mas yang tadinya lagi pake pelembap, buru-buru menoleh begitu saya tepat di sampingnya. 

Saya jadi bisa ngeliatin wajah dia yang dari awal emang udah imut dengan bulu mata lentik dan alis lucunya itu … belum lagi kalau ngomongin tangannya yang sehalus kulit bayi.

Entah gimana wajah kami terus mendekat satu sama lain kaya ada magnet-nya. Lebih dekat … lebih dekat lagi… sampai hembusan nafasnya berasa hangat di wajah … sampai wangi tubuhnya tercium … Saya bahkan bisa lihat jerawat unyu dan mungil di bawah telinganya ...

"Mas…," ucap saya, setengah mendesah, nyaris berbisik.

"Hmm?" Mas kaya kehilangan kata-kata. 

"Ini kita udah telat lho ke gereja …"

Mas langsung ngakak. "Ya nggak papa telat, ntar kalau ditanya mama, kubilang 'Iya, Ma. Ini tadi telat soalnya Ara nakal di hotel…'"

Tapi dia terus sibuk ngaca lagi. Kembali "dandan" setelah sebelumnya sempat saya interupsi. Cuma saya masih kepikiran bercandaan mas barusan. Kenapa sih ya cewek selalu (di)salah(kan) misal terjadi sesuatu yang iya iya?

Cewek diperkosa katanya pakaian atau kelakuannya menggoda dan mancing-mancing lawan jenis duluan. Lha kelakuan mas yang sengaja keluar kamar mandi topless gitu apa namanya kalau nggak menggoda? Emang cowok doang gitu yang punya nafsu? Cewek nggak boleh horny? 

Tapi misal kemudian beneran terjadi apa-apa, kesimpulan yang ada ya bakal tetep "Ara yang nakal".

Hebat!!! 


Cowok dibonceng Cewek, Why Not? 

Jalan ke dusun Ibu Ratu, kalau musim hujan


Jam 9 lewat kami baru meluncur dari hotel. Kami akan ibadah di gereja di dusun Ibu Ratu di Desa Sungai Rengit Kabupaten Banyuasin. Perjalanan normal 45 menit dari kosan. 

Tapi karena Mas yang bawa Akashi, perjalanan berasa sejuta kali lebih lambat. Berulang kali saya bilang ke mas biar saya yang bawa motornya, mas nolak. Biasalah, cowok. Gengsinya kegedean. Nggak ada cerita cowok dibonceng cewek katanya.

"Ini mas bakal gini terus bawa motornya?" tanya saya yang mulai emosi saking nggak sabarnya.

"Iya, kenapa emang?"

"Mana bisa ibadah kita. Tengah hari ntar baru nyampe."

Entah karena menangkap nada ketus di suara saya, atau ngerasa belum menguasai medan yang didominasi jalan berlumpur khas dusun, atau khawatir terlambat ibadah … mas akhirnya menyerah juga. Dia bolehin saya yang bawa motor. Dan dia nangkring di boncengan.

"Raaaa…. GILA! KAMU NGEBUT BANGET!!!!" Mas sibuk teriak-teriak panik di belakang begitu saya tancap gas. Mana jalanan nggak rata, pasti nggak enak banget. Ya ampun, saya nggak merasa ngebut blass lho padahal.

Mas bilang itu adalah pertama dan terakhir kalinya dia diboncengin saya. Kapok katanya. Nggak mau lagi. Mas juga bilang kalau begitu cara saya bawa motor, di Bandung nggak akan biarin saya bawa motor sendiri. 

Hadeh. Payah!



Kujatuh Cinta Lagi, 'Tuk ke Sekian Kali ...

 Kabar baiknya, kami sampai gereja dengan selamat meski jelas amat terlambat. Yah, at least masih sempat dengerin khotbah. Kami duduk di bangku paling belakang, sepanjang sisa ibadah tangan mas nggak berhenti genggam tangan saya. Mas masih sakit, tangannya benar-benar panas.

Selesai ibadah, gereja memberi kesempatan untuk orang-orang yang baru pertama ibadah pertama kali untuk maju ke mimbar untuk memperkenalkan diri. Jadi Mas maju dong. 

Tahu nggak, dulu saya nggak percaya orang bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama. Tapi di detik pertama Mas ngomong di depan seisi gereja, saya kembali jatuh cinta pada lelaki satu ini. 

Jadi, saya tuh berasa melihat Nugi dengan versi berbeda. Nugi yang selama ini saya kenal kan kaya childish, suka cengengesan, rajin bercandaan, tapi pendiam dan kalem bukan main kalau di depan orang yang baru ketemu. Nugi yang di mimbar pegang microfon itu betul-betul semacam punya aura misterius yang kemudian membius semua audience.

Betapa tenang dan meyakinkannya Mas saat bilang dia ke Palembang buat nemuin mama saya. Bahwa dia ingin hubungan kami berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Bahwa dia secara khusus minta didoakan untuk rencana menikah tahun depan. 


Dalam hati pengen teriak lho, "NAH! INI BARU COWOK!!! JANGAN CUMA NGEDEKETIN, MODUS-MODUSIN BERTAHUN-TAHUN TAPI NGGAK NGELAMAR-LAMAR" (Lah, curcol Ra? 😹)

Yah, intinya saya pulang gereja hari itu dengan senyum mengembang. Asli, puas banget ngeliat tampang-tampang speechless orang-orang yang selama ini nggak bosen neror dengan "Mana cowoknya?" atau "Kok nggak nikah-nikah? Awas jadi perawan tua lho…" atau "Nggak usah milih-milih banget lah, nanti malah bablas nggak laku susah lho, Mbak…". Atau yang neror mama dengan "Anaknya Bu Tri males ngerjain kerjaan rumah gitu memang ada laki-laki yang mau?"

WOYY… TUUHHH… TUUHH COWOK GW. CALON LAKI GW. MANIS KAN? KEREN KAANN? DENGER DIA NGOMONG APA TADI? TAHUN DEPAN CUY, TAHUN DEPAANN…

(Weits, santai Ra. Santai. Nggak usah nge-gas… Ingat, balas dendam termanis adalah dengan senyuman. Yang elegan dong ... MUAHAHAHAAHAHAHA…)


Di Istana Ibu Ratu

Yah, di sini mah sebagian besar pembicaraan memang udah jadi urusan calon mantu dan ibu mertua. Saya sibuk pijatin kaki mas saja, berharap dia agak sedikit lebih enakan badannya nanti.

Soal pijat ini, saya dari dulu emang pengen banget bisa. Menurut saya, ini adalah keahlian penting yang seharusnya dimiliki setiap perempuan bersuami. Bahkan jauh lebih penting ketimbang keahlian memasak. Karena percayalah, di zaman kaya sekarang ini, adalah lebih baik suami makan di luar ketimbang pijat di luar. 😹😹😹


Oh iya, Mas juga lulus ujian mengguntingkan kuku lho. Cerita lengkap soal ini sudah pernah saya share di Facebook.

Mmm, sebelum jumpa Mas, ada satu kekhawatiran besar saya yang masih mengganjal. Jadi Mas itu kan punya asthma, saya sempat takut mas nggak bisa dekat-dekat atau piara kucing. Sementara saya, mana bisa hidup tanpa gumpalan bulu itu?

Tapi kekhawatiran saya nggak terbukti. Mas sama sekali nggak batuk atau bersin-bersin. Ossas juga kaya yang langsung akrab gitu sama Mas. Ndusel ndusel manja minta dielus. Aneh, padahal selama ini langsung kabur kalau lihat orang asing. 

Ossas dan ayah baru ...


Hmm …, mungkin Ossas paham. Yang sekali ini bukan orang asing, tapi calon ayah tiri. Lelaki yang akhirnya memenangkan hati mommy-nya tercinta.




Meski begitu, seiring waktu, mood saya memburuk dengan cepat. Mungkin karena sadar kalau nggak bisa lagi berlama-lama sama Mas. Asli, waktu tersisa cuma tinggal beberapa jam saja …

Memikirkan itu bikin saya nggak bisa menahan air mata. Ya. Saya nangis lagi. Di pelukan mas. Nggak mau pisah. Nggak ingin ditinggal.

Ibu Ratu diam saja. 

Tahu anak gadisnya ini aslinya memang cengeng. 


Dan Waktu Tetaplah Mencair ...

Waktu itu seperti kurva. Menanjak lambat sebelum jumpa, namun terjun bebas setelah mas di sini. 2 hari bak sekejap saja. Mas benar-benar sudah waktunya kembali ke Bandung.

Btw, Mas itu plin plan ternyata. Waktu berangkat bilangnya nggak akan pernah mau dibonceng saya lagi. Tapi pas setelah pamitan sama mama, dia bilangnya,

"Udah. Kamu aja yang bawa motornya …"

Haha. Kecanduan dia dibonceng cewek!

Tapi beda dengan berangkat tadi, saat pulang saya bawa motornya sepelan mungkin. Mungkin dengan begitu, waktu bisa sedikit melambat.

Sampai kosan, kami punya waktu sekitar 1,5 jam sebelum mas ke bandara. Saya ajak mas ke kamar yang sepi. Hujan lebat di luar... Memungkinkan kami untuk segera … ena-ena.

Pppfffttt. MANA ADA!!!!

Jadi … gini lho, pemirsah

Sekalipun nafsu tuh ada (ya iyalah, kami kan masih normal cuy!), sekalipun tempat dan suasana mendukung … tapi kalau kita betul-betul sayang sama orang tuh beda tahu. Beda banget!

Ketika rasa sayang mendominasi, rasa menghormati sekaligus rasa ingin menjaga dan melindungi itu muncul juga. Mungkin kedewasaan juga berperan di sini, bahwa masing-masing sudah ngerti apa konsekuensinya kalau misalnya sampai melanggar batas. 

Intinya kalau ke arah sana nggak lah. Kami nggak mau. Cara Tuhan mempertemukan kami sudah begitu indah. Nggak asyik banget kalau misalnya harus dirusak sama kenikmatan sesaat. Biarlah, dari awal kami sudah komitmen mau sabar sampai waktunya tiba. Sampai sah. Well, ini bukan mau sok suci atau gimana … tapi semata percaya kalau buah kesabaran itu nggak akan berkhianat. 

Masih banyak cara lain buat sayang-sayangan tanpa harus kebablasan.

Lagipupa,  boro pengen yang gitu-gituan, mata saya juga udah kaya keran bocor. Bawaannya cuma pengen nangis aja.

Nggak rela, cuma sesingkat ini ternyata waktu yang bisa dinikmati bareng orang yang sudah ditunggu demikian lama. Kami cuma berakhir dengan pelukan lamaaaaaaa banget tanpa banyak kata. Sesekali mas membujuk dan menenangkan kalau isak saya mulai tak terkendali. 

Saya tahu, mas juga nggak rela pisah. Cuma harga diri dia sebagai cowoklah yang menahan dia nggak sesenggukan kaya saya. Momen di kamar kosan saya itu bener-bener yang sering dideskripsikan dalam novel-novel romance : "Nggak perlu ngomong apapun, nggak perlu ngapa-ngapain … Lo ada di sini, di samping gw. Cukup."


Dan waktu tetaplah mencair, sekalipun kau berharap ia membeku selamanya...

Berat sekali rasanya mengantar mas ke bandara sore itu. Nggak banyak lagi momen yang saya ingat kecuali nemenin mas makan di CFC bandara dan sempat selfie beberapa kali untuk terakhir kalinya. Saya terlalu emosional.

Meski begitu …, saya sempat bertanya hal ini, "Mas, tiga kata dong untuk dua hari ini …"

"Aku. Semakin. Yakin."




Air mata saya mengalir lagi senja itu. Tapi bukan lagi air mata kesedihan karena perpisahan, tapi keyakinan dan ketetapan hati untuk memandang hari depan yang penuh harapan.


Aku. Semakin. Yakin

Salam, LDR Fighter!!!! Yoshhhh!!!!

***

Sampai selesai menulis postingan ini,
saya masih nggak ngerti kenapa
orang kaya Mas bisa suka
cewek sinting kaya' saya.
Apa ya? Rasanya terlalu
banyak kekurangan seorang Ara
untuk disandingkan
sama Nugi.
Tapi
satu hal yang pasti,
yang nggak sedikit pun saya ragukan ...
bahwa mas adalah jawaban doa yang sudah demikian lama saya nantikan.

Mommy Ossas mau
say thank you untuk kalian yang sudah mau baca dan ninggalin komentar,
mohon doanya ya kalian semua 😘
semoga #RagiStory bakal terus
berlanjut sampai maut memisahkan.
Amin. Amin. Amin.
19


Berkat Tuhan tak selalu berupa materi. Kadang berwujud seekor kucing, teman-teman baik dan ... makanan enak. (Arako, 2020)

Rekomendasi Menu Baru Warung Tekko Palembang - kucingdomestik.com

***

"Tekko tuh artinya apa, sih?" tanya saya yang datang telat ke lantai 2 Warung Tekko Minggu (26/1) lalu. Undangan Food Blogger,  Travel Blogger, dan Influencer Gathering  yang saya terima seminggu sebelumnya menunjuk waktu setengah jam lalu. Teman-teman blogger lain sudah hadir semua. Tapi yah, mau bagaimana lagi, kan harus ke gereja dulu.

"Itu naahh… tempat air minum," sahut Bimo.

"Hah?"

"Ceret, ceret, Raa…," timpal Mbak Fainun dari seberang meja.

"Itu teko. K-nya satu …"

"Ya kan variasi aja. Kaya' mie s*dap kan a-nya banyak… s*da- a-a-ap," kata Kak Yayan yang kemudian disambut tawa.



 Saya ikutan ketawa, tapi dalam hati nggak percaya blas kalau kata Tekko di Warung Tekko itu artinya teko alias wadah air. Firasat saya mengatakan, nama itu mengandung filosofi tertentu yang maknanya tentu lebih dalam dari sekadar tempat air minum. 

Eh, betul ternyata. Selesai gathering saya dapat jawaban dari pihak Warung Tekko-nya sendiri kalau Tekko itu diambil dari bahasa Jawa yang artinya "datang". Tentunya biar banyak orang datang untuk makan ke restoran ini.

Selaku cewek jawa yang matanya sipit tapi sering dikira Batak (ini apa sih?), saya juga tahu kalo "tekko" artinya "datang". Tapi masalahnya, udah kadung susah buat saya mengubah lafal e-nya. Tekko yang berarti datang dalam bahasa jawa itu, huruf e-nya dibaca kaya di kata empat. Jadi biarlah, saya mau ngikutin sekte Bimo, Mbak Fainun, dan Kak Yayan saja yang percaya bahwa tekko itu wadah air karena lebih nyaman dilafalkan.

Mungkin agama dan kepercayaan itu sejatinya demikian, bukan melulu apa yang benar maupun diyakini, tapi juga perkara kenyamanan para pemeluknya.


Nah, ngelantur kan saya. Maaf. Itu tadi cuma intro. Sekarang mari kita lanjut ke inti sebenarnya postingan ini ... Hayuuuk, Maaangg!!!


Sekilas Tentang Warung Tekko


Warung Tekko adalah restoran keluarga yang menyediakan menu-menu tradisional khas nusantara yang bisa dinikmati semua kalangan. Sejak berdiri Januari 2009 lalu di Pantai Indah Kapuk, saat ini telah memiliki 46 cabang yang  beroperasi diberbagai kota besar beberapa provinsi di Indonesia, JABODETABEK, Yogyakarta, Jambi, Palembang, Belitung & Batam.

Khusus cabang Palembang, Warung Tekko baru merayakan ulang tahun ke-9 pada akhir Januari lalu. Dalam rangka ulang tahun inilah Warung Tekko menyiapkan menu-menu baru untuk diperkenalkan ke masyarakat. Apa saja menu barunya? Simak terus ya!


Menu Baru Warung Tekko

Iga, si penggugah selera

Warung Tekko selama ini terkenal dengan menu olahan berbahan dasar Iga yang sangat disukai pelanggan. Sebut saja variannya seperti Iga Sup, Iga Penyet, Iga Bakar Bumbu Kacang, Garang Asem Iga, Iga Cabe Ijo, Iga Goreng Tepung, hingga Konro Bakar Saus Madu.

Meski demikian, Warung Tekko punya varian masakan lain dari berbagai daerah yang beragam. Misalnya Bandeng presto, gulai kepala kakap, Sate Marangi khas Purwakarta, Pecak Nila, Soto Betawi, dan banyak lagi lainnya.

Dipilih ... Dipilih ...


Nah, adapun menu baru yang ditawarkan kali ini kian melengkapi kekayaan cita rasa kuliner nusantara di Warung Tekko. Berikut daftarnya :

- Soto Ayam
- Sate Padang
- Ayam Bakar
- Sup Ikan Tekko
- Sup Ikan Nila
- Pecel Sayur
- Ketoprak
- Fish Skin Cabe Garam
- Ceker Ayam Crispy Cabe Garam
- Mendoan
- Pecak Nila
- Bakso Tahu

Ketoprak pilihanku

Saya udah cicip semuanya. Tapi sebagai manusia setengah vegetarian, yang kadang masih suka baper dan kasihan kalau harus makan yang dari produk hewan, tentu saja saya seneng banget ada Pecel Sayur, Ketoprak, dan Mendoan di daftar menu baru. Soal rasa ga usah ditanya lah ya. Cuma sayang ada yang kurang … kurang banyak porsinya. Habis enak sih, pengen nambah terus jadinya :D

Pecel sayur + peyek kacangnya mantap!


Nah, buat kalian yang nggak masalah mau makan apa aja, saya paling rekomendasikan Fish Skin Crispy Cabe Garam. Ini kulit ikan selain rasanya gurih  unik, tekstur renyahnya itu berpadu sempurna sama pedasnya cabe yang dirajang kasar. Kriuukk banget!


Fish skin crispy, nempel di lidah juga di hati

Eh, sup Ikan Tekko dan sate padangnya juga wajib banget dicicipi. Nah, dari beragamnya pilihan menu Warung Tekko, kira-kira kamu bakal paling suka yang mana?

Kalender Cantik Penuh Voucher

Hayo, siapa yang masih belum punya kalender 2020 di rumah? Kalau belum, bisa banget lho dapetin kalender cantik dari Warung Tekko. Weits, ini bukan kalender sembarang kalender.

Mas Sidik pamer kalender penuh voucher persembahan Warung Tekko 

Marketing manager Tekko, Mas Sidik Kadarsyah menjelaskan, kalender yang dimaksud adalah bentuk promo Kado Tekko. Kalender untuk para customer ini di dalamnya berisi berbagai voucher menarik yang dapat digunakan setahun penuh dengan durasi dan jenis voucher  yang berbeda – beda tiap bulannya. "Cara mendapatannya pun mudah sekali, cukup dengan transaksi min Rp.250.000 sebelum pajak, lalu like fanpage Warung Tekko/Follow IG Tekko.official dan warungtekkopalembang ," beber Mas Sidik. 

Nah, saya dan teman-teman blogger udah puas seru-seruan (baca : bikin rusuh)  nyicipin menu baru plus menu-menu best seller-nya Warung Tekko. Bakal balik lagi dong karena berlembar-lembar voucher diskonnya masih menunggu dihabiskan.
 Kalian, kapan? 



Terima kasih, Warung Tekko!


Warung Tekko

www.warungtekko.com
FB : Warung Tekko
IG : @tekko.official / @warungtekkopalembang





Nb.
Mommy Ossas berterima kasih
pada Mas Sidik dan all crew
Warung Tekko
atas undangan serunya.
Juga sama Kak Yayan
sama Bimo yang bantuin foto-foto.
30

Spiderman Far From Home


Oh, jadi ini ceritanya bukan soal Peter Parker yang kabur dari rumah toh, pikir saya di awal-awal film. Maklum, saya kan menghindari semua trailer dan spoiler. Jadi nontonnya benar-benar dalam kondisi  kanvas putih alias nggak ada bayangan apa-apa. Nebak-nebak judul doang kirain si Peter kabur kemana gitu …

Peter emang lagi jauh dari rumah. Tapi “cuma” study tour bareng temen-temen sekelasnya ke Eropa. Widiihhh, langsung berbinar-binar ni mata ngintipin kota-kota cantik di sana yang nggak tahu kapan bisa didatangi langsung. Itali, Ceko, Belanda, Jerman, Inggris … dan favorit saya : Austria. Hijau-hijau pegunungannya itu lho. Adem, sampe berasa dalam bioskop (ppppfffttt, AC-nya terlalu dingin ya, Ar?)

Austria



Dari segi plot, standar banget sih menurut saya. Terlalu simpel. Tentang Peter yang sebenernya pengen liburan sekaligus pedekate sama MJ, tapi malah terjebak sama misi penyelamatan dunia. Siapa penjahatnya aja ketebak kok. Visualisasi dan sound effect meski tetep keren, tapi saya merasa agak nanggung. Mmm…, semacam “duh, harusnya bisa lebih waaaahhh dari ini!”

Meski begitu ni film fun banget lho. Jokes-jokesnya dapet. Beberapa emang garing, tapi cukup banyak yang bikin satu studio pecah. Dan tahu apa yang paling berkesan buat saya? Romance scenes yang bertebaran di sepanjang film.

Saya nggak tahu nih apa tepatnya yang bikin saya senyum-senyum sendiri kaya orang bego di kegelapan. Faktor Chemistry Peter-MJ yang makin dapet kah? Ned-Betty yang kisah cinloknya unyu banget itu? Mungkin juga karena  si Tante seksi May sama Om Happy yang kemunculannya saya jamin bikin ni film naik rating… atau bisa jadi juga nggak ada hubungannya sama film. Melainkan faktor someone yang kebetulan nemenin nonton? (Astaga! Apaan cobaaa 😹😹)

Found this fanart on FB. Kyaaa... I ship this two 😻


Oh, meski tadi saya bilang penjahatnya ketebak, dua adegan pasca-kredit itu sama sekali nggak ketebak. Wohooo ...layak banget ditungguin. Saya pas keluar bioskop tuh terus langsung mikir “Wah, bakal ada apa lagi nih film selanjutnya?”

Saya nonton di CGV Transmart Jumat (5/7) kemarin. Niatnya nonton jam 6 tapi kehabisan karena kejebak macet dalam perjalanan dari Plaju (lagian ngapain juga pake hujan segala). Alhasil cuma dapat yang nyaris jam 8 malam.

Studio cukup ramai. ¾ terisi. Nggak ada insiden berarti kecuali mas-mas di sebelah saya masih nggak bisa nahan diri buat stop mainin HP. Beberapa kali terganggu banget sama cahaya yang keluar dari HP dia. Separo penonton udah keluar bahkan sebelum aftercredit 1 selesai. Well, dimaklumi juga sih karena udah kemalaman.

Total skor … ummm … versi objektif 8 (mungkin kurang-kurang sedikitlah). Tapi karena ni film bikin mood saya stabil padahal lagi PMS, skor akhir saya kasih 8,5 deh. Intinya (lumayan) recomended lah ...

Dan mohon maaf buat yang baca postingan ini karena ngarepin lebih banyak bocoran. Saya bukan Kang Spoiler. Nggak mau mengganggu kenikmatan orang lain yang mungkin belum sempat nonton.

Udaaaahhh… buruan nonton sendiri aja sana sebelum turun layar!




Salam dari Tepian Musi ...
(Mommy Ossas).


::


Nb.

I have taken a photo with someone who accompanied me to watch this movie last night. I even got his permission to upload our pic on my blog.


But after I looked at the photo carefully, I've changed my mind. I like the pic so much. Umm ..., sorry for being selfish, but right now I just want to keep it for myself.









0



Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa.

Mimpi 15.529 km | kucingdomestik


Heny. Aku tidak pernah suka nama depanku. Bukan soal nama itu terdengar keren atau tidak, tapi pasarannya itu lho. Waktu SMP aku benar-benar muak saat tahu di kelas ada tiga Heni. Belum termasuk Heni-heni dari kelas lain.

Aku makin kesal saat tahu kalau semula aku dimaksudkan untuk bernama Hana. Yah, meski mungkin sama pasarannya, setidaknya ada dua perempuan keren bernama Hana yang kubaca kisahnya dalam Alkitab. Pertama ibunya nabi Samuel, lalu seorang Nabiah yang berjumpa Yesus saat masih kecil di bait suci.

Belakangan mama berkisah, bukan tanpa alasan papa mengubah pikirannya. Namun setelah diam lama memperhatikanku yang masih bayi merah itu pada suatu malam.

Yah, dilihat dari sisi manapun, aku sepertinya memang tidak akan pernah cocok punya nama Hana, yang berarti anggun dalam bahasa Ibrani. Pun dari bahasa Jepang, artinya adalah bunga.

Pfffttt, satu-satunya bunga yang bisa diasosiasikan denganku mungkin bunga bangkai kali. Dan, untuk yang sudah bertemu denganku, semuanya pasti sepakat kalau “anggun” itu tidak akan pernah ada dalam kamus kepribadianku. Yang ada bakal jadi bahan tertawaan atau istilah yang umum saat itu “keberatan nama”.

“Anak bungsu kita ini …, tidak akan pernah tumbuh jadi gadis danau yang tenang. Dia itu air terjun,” kata Papa.

“Tidak bisa diam, berisik, hidupnya penuh gejolak, namun menyimpan potensi besar … Dia bisa berbahaya maupun indah menyejukkan. Tergantung bagaimana sudut pandang orang lain saat melihatnya.

Lalu …, sepasang kaki mungil itu kelak akan membawanya pergi. Seperti aliran air terjun yang bebas kemana pun, dia akan bertualang ke banyak tempat. Jauh dari asal. Jauh dari mana ia dilahirkan.”

Dan begitulah. Akhirnya ketuk palu. Namaku terus jadi Heny Niagara sampai sekarang. Terukir abadi di semua dokumen yang kumiliki. Heny, yang merupakan panggilan lumrah untuk anak perempuan dalam bahasa jawa (seperti halnya akhiran -ko pada nama Jepang), dan Niagara … satu-satunya nama air terjun yang terpikir oleh papa saat itu.

Mama juga bilang, papa juga sekaligus menyematkan doa dan harapan. Biar kelak aku bisa jadi seorang yang punya nama besar seperti Niagara. “Jadi kalau kamu tanya mama arti namamu, Heny Niagara itu berarti anak perempuan yang suka berpetualang," kata mamaku.

____________________________________

Itu kisah 28 tahun lalu. Kalau lihat diriku sekarang, mungkin mendiang papa diam-diam menyesal dalam pusaranya.

Apanya yang anak perempuan yang suka berpetualang? Lha sampai nyaris kepala tiga begini, sejauh-jauhnya aku pergi cuma nyebrang pulau Jawa.

Tapi, kalau mau jujur sama diri sendiri …, jiwa petualang itu memang ada sih. Aku tidak pernah benar-benar tumbuh jadi cewek rumahan. Kecuali karena kucing, koleksi buku, dan masakan mama, aku tidak pernah benar-benar betah di rumah.

Aku selalu ingin pergi. Tak peduli walau cuma menyusuri gang-gang yang belum pernah kulewati, atau cuma motoran sendirian ke kota sebelah.

Aku tak pernah punya tujuan pasti walau kadang kusamarkan dengan“liburan”, “nyari inspirasi” atau “nyari bahan buat tulisan”. Tapi nggak, sebetulnya. Sama seperti kata Bodhi di seri Supernova, perjalanan itu sendirilah tujuanku. Kalau aku kemudian dapat sesuatu dari perjalananku itu, ya itu bonus.

Aku merenung. Jika memang jiwa petualang itu memang sudah terpeta di wajahku sejak aku lahir hingga papa bisa melihatnya sejelas itu, lantas kenapa hidupku “begini-begini-saja”? Tidakkah aku seharusnya sudah jadi traveller blogger? Atau minimal sudah bergabung dengan jaringan backpacker internasional?

Lihat aku sekarang. Terjebak di kota panas nan macet macam Palembang. Oh, aku nggak mengeluh kok. Di kota ini makanannya enak dan aku dianugerahi teman-teman luar biasa baik dan menyenangkan di sini.

Tapi seperti Ossas yang tersiksa kalau belum mencakari kursi, jiwaku akan senantiasa haus kalau belum menjejak kaki di tempat yang belum pernah kudatangi. Hasrat yang akan selalu menunggu dipuaskan.

Padahal travelling nggak sesulit itu juga sebetulnya. Dari sisi finansial sangat mungkin selama aku bisa sedikit mengerem khilaf-ku untuk barang-barang nggak penting. Nggak masalah juga kalau harus nabung dulu dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan tiket dan apapun itu.

Dari segi waktu, baik kuliah dan pekerjaanku sangat fleksibel sekarang. Pun aku juga nggak pernah tergantung sama orang lain untuk menemaniku bepergian. Singkatnya, aku SEBENERNYA bisa pergi kapan saja kalau memang niat.

LHA TERUS KENAPA HIDUPKU BEGINI-BEGINI SAJA?

Jawabannya mendadak muncul begitu saja. Dan amat sederhana.

Jadi selama ini, bertahun-tahun … tanpa sadar aku membendung aliranku sendiri. Aku terbiasa meredam hasrat dan mengalah …, terutama kalau berhubungan dengan sabda papa.

Di awal tadi sudah kusinggung soal papa yang merupakan manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal. Nah, papa itu sosok yang tak segan mendidik anak-anaknya dengan kekerasan, tapi beliau juga orang yang paling mudah menangis. Iya, papaku itu keras dan menakutkan tapi cengeng. Papa nggak segan nabokin aku dan kakakku kalau kami bandel, tapi aku sering memergokinya menangis kalau dengar ada tetangga atau saudara kami yang lagi susah.

Dan … papa yang dari awal paling tahu bagaimana kepribadianku dan bagaimana aku tumbuh, justru yang paling getol melarangku kemana-mana. Jangan harap bisa pergi liburan atau study tour kalau minta izinnya dulu.

Lha izin main ke kebun teh rame-rame di Kepahiang yang cuma 1,5 jam dari rumah kami saja nggak boleh kok. Ada saja alasannya. Banyak kecelakaanlah, jalan rawanlah, bahaya untuk perempuanlah apalah … Makanya, dulu aku sering kucing-kucingan. Atau pergi dulu baru ngomong. Mau dimarahi habis-habisan setelahnya aku nggak peduli, yang penting sudah jalan.

Yah, mungkin memang tipikal seorang ayah. Dimana-mana bakal begitu. Biar dilihatnya ada jiwa air terjun dalam diriku, di matanya aku akan selalu jadi putri kecilnya yang manja. Yang cukuplah dengan bermain ayunan dari ban bekas dan tergantung di pohon-pohon buah yang ditanamnya sendiri.

Oh, satu lagi. Kakakku. Yah, mungkin dia tak benar-benar punya niat jelek, tapi dalam banyak hal, dia itu benar-benar seperti toxic person yang tanpa sadar kerap memunahkan kepercayaan diriku dengan brutal. Dia yang multitalenta plus multitasking itu sering membuatku percaya kalau aku adalah manusia payah dan produk gagal, yang nggak bisa ngapa-ngapain.


___________________________________________

Akhir tahun 2018 lalu, jelang setahun peringatan kematian papa … aku memulai perjalanan solo perdanaku. Ke Jogja. Perjalanan yang kuberi judul “Perjalanan Menantang Tuhan”. Soal ini akan kuceritakan dalam postingan tersendiri kapan-kapan.

Namun salah satu yang kudapat dalam perjalanan itu adalah … aku akhirnya bisa benar-benar berdamai dengan Tuhan karena lelaki terhebat nomor satu-ku sudah diambil-Nya.

Meski awalnya masih seperti kepingan puzzle, kepergian papa bisa kumaknai berbeda sekarang. Lewat obrolan panjang berbulan-bulan dengan seorang kakak sekaligus bestie (Kak Yan, thank you so much), puzzle itu pun akhirnya lengkap.

Aku menerjemahkannya sebagai : Sudah saatnya membongkar bendungan. Kamu harus mulai bermimpi lagi, Ar!

Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku bertualang kemana pun, kecuali Tuhan. (Oh, tapi aku kan bakal selalu minta izin-Nya dulu nanti setiap kali memulai petualangan).

Papaku, aku yakin dia tidak pernah benar-benar berniat melarangku berpetualang. Selama ini beliau kok yang paling memahamiku. Cuma kalah saja dengan rasa khawatirnya yang terlalu besar. Sekarang tidak perlu lagi … toh dia bisa berbicara, memohon langsung pada Tuhan untuk menjagaku.

Kakakku, aku bahagia dia sekarang sudah punya sesuatu yang lain untuk diurusi selain menertawakan mimpi dan meragukan semua kemampuanku. Biarlah dia sibuk sama istri dan anaknya.

Untuk pertama kalinya … aku benar-benar merasa bebas dan bahagia. Aku siap kemanapun.

Tinggal menunggu sinyal izin dan waktu yang tepat dari Tuhan. Dan kemudahanku mengurus paspor beberapa hari lalu benar-benar kumaknai sebagai pertanda baik …

Errr, memangnya kamu mau kemana sih, Ar?

Sudah kubilang, bukan soal lokasinya, karena tujuanku adalah perjalanan itu sendiri. Tapi tidak ada salahnya juga memulai dengan menuliskan ulang mimpi masa kecilku setelah Jogjakarta dan Candi Borobudur berhasil dicoret dari daftar tanpa diduga sama sekali.


Niagara Falls • googlemaps

Ini mimpiku. Niagara Falls alias air terjun Niagara di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. 15.529 km jauhnya dari Palembang. Dan aku lebih ingin masuk lewat sisi Toronto Kanada ketimbang sisi New York.

Tentang mimpiku ini, bukan hanya harga tiketnya yang selangit, apply visa Kanada konon juga bakal sulit banget

Hahaha … memang terdengar mustahil ya kalau sekarang? Tapi kalau bermimpi aja nggak berani, gimana aku mau kuat jalani hidup yang payah ini?

Lagipula ... apa yang tertulis di kitab suci ini benar-benar jadi penghiburanku 😊


Ga ada yang ga mungkin


***
 
"Kenapa Niagara? Ga kejauhan? Memang kalau sudah sampai sana mau ngapain?" tanya mamaku begitu kuceritakan mimpiku ini.

"Ya ga kenapa-kenapa. Pengen aja. Lagian, salah sendiri ngasih nama anak begitu. Sampai sana ya cuma mau foto-foto aja, terus video call mama sambil dadah dadah...," jawabku.

"Punya duit apa kamu?"

"Sekarang sih belum. Tapi kan Bapa-ku Maha Kaya, DIA yang punya semesta ini. Kalau minta sungguh-sungguh, masa nggak dikasih?"

"Ya sudah. Pergilah kalau memang waktunya pergi kelak. Mama cuma bisa bantu doa. Tapi ada syaratnya ..."

"Syarat?"

"Selesaikan dulu kuliahmu!"


Ayayayaye, Captain!! Tanpa disuruh pun, selesaikan kuliah memang tujuan utama untuk saat ini. Berpetualang bisa menunggu, tapi nggak dengan pendidikan.


Nah, kalian. Doakan aku ya ... 😉

2

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...