Menu

 

Kamaya dan Kisae 


Aku selalu membiarkan putri kembarku, Kamaya dan Kisae menangis satu dua menit lebih lama, meskipun aku sudah tahu mengapa mereka menangis. Buat sebagian orang, apalagi ibu-ibu senior, aku mungkin ibu yang kejam. Kok tega membiarkan anak menangis.

Tapi sebelum menghakimiku lebih jauh, biarkan dulu aku bercerita.

Aya dan Sae bukanlah anak-anak rewel. Mereka sangat jarang menangis. Bidan-bidan di ruang bayi berkata si kembar selalu anteng. Ibu Ratu juga membenarkan. Saat mereka baru berumur 3 hari dan harus kutinggalkan di rumah karena aku harus lanjut opname akibat preeclampsia dan anemia berat, Ibu Ratu bilang Aya dan Sae tidak pernah menangis. Jika ada yang membuat mereka tidak nyaman seperti lapar atau popoknya basah, mereka hanya menggeliat seperti cacing kepanasan.


Benar saja, Aya dan Sae memang tidak rewel. Tetangga kontrakan sampai tidak percaya kami punya anak bayi karena nyaris tidak ada suaranya.


Awalnya aku senang dengan kondisi ini, ketidakrewelan Aya Sae membantuku pulih dengan pesat. Aku bisa beristirahat dengan proper, begitupun Nugi dan Ibu Ratu. Kami hanya cukup memeriksa kondisi mereka berkala. Minum setiap 1-2 jam sekali dan memeriksa popoknya. Selebihnya aman tenteram damai sentosa.


Namun semakin hari, aku merasakan kejanggalan. Naluri keibuanku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.


Sampai suatu ketika, aku melihat ekspresi Sae yang kira-kira berumur 2 mingguan tampak sangat tidak nyaman karena popoknya minta diganti, namun dia seperti berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis.


Aku seperti tertampar. Melihat Sae seperti itu membawa ingatanku ke masa lalu. Di mana hatiku sempat mengeras seperti batu, dan tidak bisa menangis selama setidaknya 1,5 tahun. Jangan ditanya rasanya. Sungguh sesak dan tersiksa. Seperti mau mati.


Aku menangis melihat Sae seperti itu. Aku sadar bahwa selama ini Sae dan Aya bukannya tidak rewel, tapi mereka berusaha keras untuk tidak rewel agar tidak menyusahkan orang dewasa di sekitarnya.
Maka di hari-hari setelahnya, kuhabiskan quality time-ku bersama mereka dengan membisikkan kalimat-kalimat semacam …


"Nak, boleh lho nangis kalau tidak nyaman. Siapa yang suruh Aya dan Sae ga boleh nangis? Boleh lho, Nak..."


"Nak, nangis aja kalau ga nyaman. Kalau lapar boleh nangis, kalau sakit boleh nangis, kalau popoknya basah boleh nangis. Nangis lah, Nak..."


"Aya dan Sae takut nangis ya? Takut ganggu mommy, Bapak, sama Eyang? Ga papa, Nak. Kami ga papa kok... Aya sama Sae boleh nangis sepuasnya..."


dst.


Butuh waktu, namun perlahan-lahan mereka mulai berani mengekspresikan diri. Belum berbentuk tangis yang sebenarnya memang, lebih berupa rengekan atau keluhan. Tapi setidaknya ada kemajuan.
Dan aku, Nugi, dan Ibu Ratu juga kompak untuk terus sounding ke mereka. Bukan hanya soal tangisan, namun kami kompak mengenalkan mereka pada emosi dan perasaan-perasaan lain yang dirasakan.
Termasuk jika ada saat-saat aku kelepasan marah pada Nugi dan mereka terpaksa mendengarnya. Kujelaskan pada mereka bahwa tadi aku marah sekaligus meminta maaf karena bikin mereka tidak nyaman.


Hari demi hari berlalu, Aya dan Sae mulai tampak normal. Mereka sudah bisa menangis, meski intensitasnya masih tidak sesering bayi-bayi lain yang selama ini kutemui seumur hidup.


Sampai sekarang, Aya dan Sae hanya menangis ketika kami sudah sangat terlambat memahami kode-kode ketidaknyamanan mereka. Itupun langsung diam seketika jika kami sudah memenuhi apa yang jadi kebutuhannya. Selebihnya, mereka lebih memilih berkomunikasi lewat ekspresi wajah, gerakan tangan, atau ocehan-ocehan kecil dari bibir mungil mereka.


Saking langkanya momen mereka menangis, aku selalu membiarkan mereka menangis satu atau dua menit lebih lama. Semata untuk mengajarkan mereka bahwa menangis itu melegakan. Bagaimana pun, manusia itu butuh menangis. Seperlunya. Sewajarnya.


Dan itulah yang dilakukan Aya dan Sae. Mereka menangis seperlunya dan sewajarnya. Aku sebagai ibunya tentu juga tidak akan membiarkan mereka menangis berlama-lama.


Karena diberi kesempatan menangis dengan porsi yang cukup, Aya dan Sae kini perlahan tumbuh jadi bayi-bayi yang cukup cerdas secara emosional. Sama sekali tidak sulit menenangkan mereka jika sudah terlanjur menangis. Mereka juga banyak tertawa dan sudah bisa diajak bercerita.


Dan kubiarkan anakku menangis satu dua menit lebih lama, agar mereka tahu apa guna air mata. Kelak tentu akan kuajarkan juga, bahwa menangis itu bukan hanya bentuk ekspresi ketidaknyamanan, namun bisa juga sebagai wujud kebahagiaan.
Akhir-akhir ini aku sering sekali mendadak menangis sendiri saking bahagianya.

Kalau kamu? Kapan terakhir menangis bahagia?



0

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...