Menu
Tampilkan postingan dengan label blogger (ngaku) kristen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label blogger (ngaku) kristen. Tampilkan semua postingan



Wew. Judulnya kaya nganu banget ya? 😂

Tapi tenaaang... Isinya bukan ngotbahin orang kok. Demi apa saya nggak punya kompetensi apa-apa untuk itu. Cuma sharing pengalaman hidup kaya biasanya aja kok. Syukur-syukur bisa jadi berkat buat orang lain, kalau nggak ya sudah. Cukup buat jadi pengingat diri sendiri laiknya tugas sebuah catatan harian …

***

Ada satu kegelisahan yang saya sampaikan ke Tuhan. Kenapa sih hidup kaya'nya makin sulit? Tuhan juga kaya hobi banget mengabaikan saya (well, sebenernya saya tahu DIA nggak pernah benar-benar mengabaikan, tapi pokoknya saya merasa diabaikan. Gitu).

Maksudnya, dibanding sama dulu yang setiap doa kaya’ gampang banget dikabulkan. Setiap keinginan yang cuma terpendam dalam hati pun bisa tercapai. Easy!

Pernah lho dulu pas masih SMP cuma 'mbatin pengen banget bisa punya majalah Aneka Yes! tapi nggak punya duit plus ga berani minta ke ortu. Mana kalau beli jauh pula harus ke kota (saya di Bengkulu dulu tinggalnya rada di dusun sih). Sampai doa gini ke Tuhan “Duh Tuhan, yang bekas aja nggak papa deh. Aku cuma pengen baca cerpen-cerpennya.”

Eh, nggak lama pas main ke rumah temennya papa, pulangnya dikasih berdus-dus buku dan majalah. Tentu saja, isinya termasuk puluhan majalah Aneka Yes! Mana edisi lama yang halaman fiksinya lumayan mendominasi ketimbang edisi baru yang saat itu cuma penuh berita artis 😂

Tapi belakangan udah jarang banget ngerasain begitu. Bukan nggak dikabulkan sih, tapi apa ya? Semacam perlu usaha lebih keras  yang kadang sampe bikin capek kalau pengen mendapatkan sesuatu.

Ketika saya pertanyakan ini pada-Nya selama berbulan-bulan, akhirnya dijawab juga. Lewat khotbah seorang pendeta sekian minggu yang lalu.

***

Well, orang Kristen itu diajarkan bahwa Tuhan bukanlah pribadi yang Jauh-Tinggi-Tak Terjangkau. Dia justru sesungguhnya amat dekat dengan hidup manusia, laiknya seorang Ayah sendiri. Makanya sapaan ke Tuhan pun bilangnya “Allah Bapa”, “Bapa di Surga”, atau belakangan yang lebih ngetren di kalangan generasi milenial : “Papi J” alias “Papi Jesus”.


Saat iman kita baru lahir, maka Tuhan akan memperlakukan kita seperti bayi atau anak kecil juga. Ya, perlakuan orang tua ke anak kecil kaya mana sih? Dipeluk-peluk, disayang-sayang, dimanjain, apa kebutuhannya dicukupi, apa permintaannya dituruti… gitu-gitulah. Apalagi kalau misal anaknya  manis dan penurut, ortu makin seneng juga pasti ngasih hadiah macem-macem. Makanya, di fase awal kenal Tuhan … nggak heran dah kalau sukacita terus. Bahagia senantiasa …enak. Doanya dikabulkan mulu (nggak sedikit pula yang instan).

Sedikit ngingetin sama lagu “... Waktu ku kecil, hidupku … amatlah senaang….” 😂

Tapi seperti anak kecil pula, iman itu adalah sesuatu yang hidup. Dia bisa tumbuh dan berkembang. Makin besar si anak, katakanlah di usia remaja …  ortu pun pelan-pelan bakal “melepas”. Biar si anak belajar. Biar si anak mengerti apa itu tanggung jawab. Apa itu konsekuensi.

Apa masih boleh minta macem-macem ke ortu? Ya boleh dong. Ortu bakal masih tetap bertanggung jawab memenuhi kebutuhan si anak. Tapi si anak juga seharusnya udah paham, kalau ada yang namanya kewajiban seiring tanggung jawab yang makin besar. Misal udah disekolahin atau dikuliahin, ya belajarlah yang bener… misal udah dibeliin HP atau laptop, ya dijagalah baik-baik.

Di fase ini, anak juga mulai bisa "berpikir sendiri". Jika tadinya segala hal harus dikasih tahu dan diajarin, di sini mulai ngerti apa yang sebenernya boleh dan nggak boleh dilakukan. Orang tua nggak terlalu mengekang lagi, tapi memberi kebebasan dan kepercayaan pada anak. Namun di sini hubungan antara ortu sama anak akan mulai berasa renggangnya. Si anak sebenarnya tahu kalo ortunya tetap sayang dan nggak pernah mengabaikan, tapi justru si anaklah yang biasanya mulai menjaga jarak karena sibuk dengan dunianya sendiri.

Makin besar dan besar si anak, apalagi kalau udah kerja dan berpenghasilan sendiri … dia akan paham sendiri kalau minta macam-macam ke ortu itu udah nggak pantes lagi. Sebaliknya, dia akan mulai belajar memberi. Dia pengen menyenangkan orang tuanya.

Nah, seseorang dengan iman yang sudah sampai di fase ini biasanya bakal dengan gampang diidentifikasi dengan seberapa banyak (dan ikhlas) dia memberi. Sedekah , misi kemanusiaan ...atau pemberian dalam bentuk apapun yang dilakukan bukan lagi didasari oleh hukum tabur tuai alias “aku memberi karena pengen berkatku dilipatgandakan”, tapi justru lebih ke ungkapan rasa syukur dan terima kasih karena sudah TERLEBIH DAHULU dibaikin dan dipelihara selama ini sama Tuhan.

Di sisi lain, hidup juga pasti bakal makin penuh tantangan. Tanggung jawab makin besar. Masalah yang tadinya cuma sebatas tugas sekolah, mulai kompleks dengan masalah kerjaan atau relasi. Masalah iman yang tadinya mungkin sebatas ujian-ujian kecil, mulai menghadapi pencobaan yang macam-macam dan lebih berat.

Gimana sikapnya ke ortu? Ya tergantung pribadi masing-masing … ada yang cukup bijak dengan terbuka ke ortu jadi bisa dapat support yang dibutuhkan. Sebagian yang lain memilih sok setrong menghadapinya sendiri dengan berbagai alasan kaya “nggak mau membebani ortu,dll”.


Tapi pada akhirnya bakal paham sendiri kok … bahwa sejauh-jauh kita pergi. Kita selalu rindu pulang. Kita tahu cuma ortu yang sayang sama kita tanpa syarat. Gitu pun ke Tuhan … sejauh-jauh kita berusaha menyelesaikan masalah sendiri … pada akhirnya kita bakal cari Tuhan. Cuma Dia yang nerima kita apa adanya … Cuma Dia yang benar-benar bisa diandalkan.

***

Dalam khotbahnya, pendeta yang memberi saya pelajaran ini bertanya pada jemaat …

“Buat kalian yang sudah besar-besar, yang sudah kerja, yang sudah menikah dan berkeluarga … coba tanya ke ayah atau ibumu … apa yang sebenarnya paling diinginkan dari kalian? Apa yang bisa kalian lakukan dan paling menyenangkan buat mereka?”

Jemaat terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Mengira-ngira apa jawabannya.

“Saya yakin, jawabannya adalah waktu. Orang tua sebetulnya nggak butuh kalian kasih macam-macam. Kalian ajak bicara, kalian ajak komunikasi pun sudah senang. Apalagi yang tinggal jauh, sekadar ditelepon dan kalian ngabari tentang hidup kalian pun mereka bakal senang…apalagi kalau kalian sediakan waktu khusus buat nengokin.

Dan… kalian juga pasti sudah ngerti sendiri, bahwa di umur segini kalian nggak pernah perlu lagi minta-minta sama mereka. Kalian paham, orang tua manapun kalau mereka punya… kalau mereka yakin itu adalah yang baik buat kalian, mereka pasti bakal kasih. Nggak perlu kalian mohon mohon minta ini itu sampai nangis darah, kadang cuma bilang 'Pak E, si kecil mau daftar TK ini, bapaknya baru gajian seminggu lagi...bisa minta tolong dulu nggak, Pak?” hari itu juga kalau memang ada pasti ditransfer. Saya jamin itu.


Nah. Jika orang tua di dunia ini saja bisa melakukan hal seperti itu, apalagi Tuhan. Apalagi Bapa kita di Surga … DIA tentu jauh melampaui semua orang tua terbaik di dunia ini. DIA mengenal kita. DIA tahu isi hati kita.

Tapi laiknya orang tua, DIA juga ingin kita mengingat-Nya, menyediakan waktu untuk-Nya di sela apapun kesibukan kita. DIA ingin kita berkomunikasi rutin denganNya. Berapa lama kita menjadi Kristen? Di fase mana keimanan kita saat ini? Model anak seperti apakah kita? Sudahkah hidup kita menyenangkan hati-Nya?”

***

Khotbah itu jujur saja, telah menampar saya. Telak. Saya mungkin sudah lama berhenti berdoa untuk meminta ini-itu. Toh sudah lama tahu kalau pemberian Tuhan itu selalu yang terbaik tanpa harus repot meminta.

Tapi ada suatu hal lain yang menabok saya. Waktu ke dusun Ibu Ratu, saya tanya ke beliau. Apa yang paling diharapkan dari anak-anaknya yang sudah besar? Dan jawabannya persis sama : waktu.

Hadeehhh, waktu untuk orang tua di dunia saja sepertinya sangat minim, apalagi untuk Tuhan. Pun kalau sempat berkomunikasi, jarang sekali dari hati ke hati. Kebanyakan isinya cuma mengeluh atau komplain ini itu. Jarang sekali bersyukurnya. Jarang sekali berterima kasihya. Parahnya lagi, kadang komunikasi ke Tuhan juga cuma berasa sebagai rutinitas belaka. Belum lagi tanggung jawab dalam iman yang masih belum mampu dijalankan sepenuhnya… jauuuhh … masih jauuuhh….


Lha kaya gitu kok berani-beraninya ngedumel dan bilang hidup diabaikan Tuhan. Yang ada elu kali yang mengabaikan Tuhan, Araaaaa …!!!

Mbok tobat toh, Nduk!!


"Iman yang dewasa itu seperti anak yang sudah berkeluarga. Bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan orang-orang yang dikasihinya ... Tak lagi banyak meminta --apalagi menuntut-- untuk dibahagiakan orang tua, tapi juga tak menutup akses komunikasi pada mereka. Sebaliknya, dia justru akan lebih berhasrat mengasihi orang tuanya ... semakin rindu untuk bertemu... Semakin sering menelpon ...meski hanya sekadar berkabar atau meminta nasehat bijak menjalani kehidupan."


0



Kanker dalam Alkitab

Intro :
Jika teman-teman gereja saya hobi berbagi ayat Alkitab, maka saya lebih senang menyelidikinya. Membedah, mempertanyakan, bahkan mendebatnya kalau perlu … Entahlah. Rasanya itu jauh lebih seru dan menantang ketimbang hanya meng-copy satu dua ayat lalu meneruskan ke semua kontak saudara seiman yang ada di HP.

Alkitab bagi saya bukan cuma kitab suci, yang isinya cuma perkara rohaniah dan khotbah sana sini. Nggak. Sungguh, Alkitab nggak se-membosankan itu.

Dia lebih seperti sebuah rak dengan 66 buah buku lintas genre. Mulai sastra, biografi, petualangan, sejarah,kumpulan quote inspiratif, hingga “ramalan masa depan” ada semua. Beberapa di antaranya bahkan seperti buku misteri, puzzle atau mungkin juga kumpulan Teka Teki Silang yang menunggu dipecahkan pembacanya.

Dan postingan kali ini, cuma mencatat proses ketika saya berhasil memecahkan sebuah “misteri” kecil dalam Alkitab. Anggap saja pengingat, mana tahu saya pikun berapa tahun lagi 😂
_______________________________

Berawal dari celetukan seorang teman di WA yang bilang “Gue baru tahu, dari jaman Alkitab ternyata sudah ada penyakit kanker.”

Ya, saya tahu meski tidak pernah benar-benar memikirkannya sebelum ini. Tapi kalimat teman saya itu membuat otak saya gatal. Saya gelisah, ingin tahu apakah kanker yang disebut itu benar-benar kanker sebagaimana yang kita kenal di masa kini? Atau keterbatasan terjemahan saja? Mengingat Alkitab sudah ditulis sejak kurun waktu ribuan tahun lalu. Benarkah penyakit kanker sudah setua itu?

Seperti biasa, Mbah google menjadi rujukan awal saya dengan keyword “kanker dalam Alkitab”. Sayangnya, artikel-artikel yang ada nggak bikin saya puas. Malah ada satu artikel yang jadi rujukan utama mesin pencarian yang bilang Alkitab tidak mencatat soal penyakit ini sama sekali.

Padahal, Alkitab menyebut kata kanker satu kali kok, tepatnya di 2 Timotius 2:17 . Bunyinya begini :
Perkataan mereka menjalar seperti penyakit kanker. Di antara mereka termasuk Himeneus dan Filetus
Pencarian saya berlanjut dengan sejarah penyakit kanker, lalu menemukan sebuah tulisan dari cancer dot org yang kemudian dikutip Yulaika Ramadhani untuk tulisannya di website Tirto.
“ … Beribu-ribu tahun penyakit ini tidak memiliki nama. Hingga Hippocrates yang merupakan seorang dokter Yunani kuno (460-370 SM) menggunakan istilah karsinoid dan karsinoma untuk menggambarkan penyakit tersebut.
Dalam bahasa Yunani, kata-kata itu merujuk pada kepiting. Yang pada akhirnya diterjemahkan dalam bahasa latin menjadi cancer yang hingga kini digunakan untuk menamai penyakit tua tersebut.”
Nah, Hippocrates yang hidup tahun 460-370 SM pake kata Karsinoid. Sementara di Alkitab bahasa aslinya ---Yunani--- (yang saya lihat pake aplikasi My Sword Bible), kata kanker di 2 Timotius itu bentuk aslinya adalah kata γάγγραινα (gaggraina).

Gaggraina - Mysword Bible

Definisi Thayer tentang Gaggraina di aplikasi tersebut saya terjemahkan jadi :

“Sebuah penyakit yang menyebabkan bagian tubuh mana pun menderita peradangan dan membuatnya rusak. Kecuali jika obatnya diterapkan secara teratur, sel-selnya bisa menyebar dan menyerang bagian lain, dan akhirnya memakan tulang.”

Gaggraina sendiri berasal dari kata γραίνω (graino) atau to gnaw (eng) yang artinya menggerogoti.

Surat 2 Timotius ditulis Paulus pada sekira tahun 65 Masehi. Artinya, meski pada zaman itu jelas sudah ada penyakit kanker seperti yang kita kenal pada masa kini sesuai deskripsinya, kata yang digunakan masih belum “kanker”.

Bahkan, Alkitab versi Indonesia Terjemahan Lama (ITL) pun belum pakai kata “kanker” juga lho. Penerjemah pakainya kata “pekung” yang menurut KBBI artinya (n) penyakit kulit yang berbau busuk (akibat sakit sifilis atau kanker).


perbandingan terjemahan baru, lama, dan KJV

Alkitab Inggris versi King James Version (KJV) rupanya yang sudah pake kata “kanker”. KJV sendiri diterbitkan pertama kali pada tahun 1611. Artinya, di masa ini istilah kanker sudah mulai dikenal.

Sampai saya selesai menulis artikel ini, saya masih belum ketemu kapan tepatnya istilah kanker (cancer) pertama kali digunakan. Kalau ada yang tahu, tolong tulis di komentar ya?
__________________________________

Meski masih menyisakan satu puzzle tertinggal, setidaknya pencarian panjang ini sudah membuat saya tidak segelisah tadi. Mengingat saya kuliahnya juga ambil konsentrasi Translation, saya sangat memahami betapa sulitnya seni menerjemahkan itu.

Yang jelas, kata kanker seperti yang tertulis di 2 Timotius itu memang benar adalah penyakit kanker seperti yang sudah kita kenal di zaman modern ini. (Wow, jadi kanker benar-benar bukan penyakit newbie ternyata).

Lagipula, konteks ayat itu juga tidak membahas penyakit kankernya secara khusus kok. Itu cuma penegas nasehat Om Paulus di ayat sebelumnya. Dan baiknya memang dibaca langsung serangkai kaya gini :

2 Timotius 2:15-19

Om Paulus intinya nasehatin Dek Timotius (dan kita semua) untuk hati-hati sama omongan. Jangan kaya Himeneus dan Filetus yang hobi nyebar hoax pada zamannya sampai bikin iman orang lain rusak.

Begitchuuu.....

_______________________________

Nah, sekian dulu tulisan dari Mommy Ossas kali ini. Semoga bisa jadi berkat buat kita semua. Amin.


Salam ....


Tepian Musi, Mei 2019
Ditulis di sela kesuntukkan nggarap skripsi.
Dan Mommy Ossas berterima kasih pada Kak Samuel Dwi Martono, teman masa kecil yang sekarang udah jadi Pak Pendeta ✌️
Tanpanya tulisan ini masih mengendap di draft.



0

Alkitab atau Alki-Tab?  | pict : shutterstock.com



Malam minggu lalu, saya mengikuti ibadah pemuda gabungan di Gereja Baptis Kentan, Palembang. Sebuah ibadah gabungan khusus, edisi Valentine yang dipercepat. Seperti biasa, mulainya ngaret sekira setengah jam. Tapi berlangsung cukup khusyuk dan lancar sampai selesai.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya, tepatnya saat Firman Tuhan disampaikan alias khotbah. Rupanya masih cukup banyak anak-anak muda yang bertahan membawa Alkitab versi buku, meski yah tetap kalah banyak juga dengan mereka yang pilih pakai aplikasi Alkitab yang terinstal di ponsel pintar atau tab. Sejak tiga atau lima tahun terakhir, memang makin jarang terlihat orang kristen (khususnya usia pemuda-remaja) yang membawa Alkitab versi buku saat ke gereja maupun persekutuan doa. Termasuk saya.


Aplikadi MySword Bible | kucingdomestik.com

Ya. Saya memang lebih pilih aplikasi Alkitab karena alasan kepraktisan. Selain itu, saya pakai aplikasi MySword Bible. Mungkin bukan aplikasi Alkitab terbaik pilihan sejuta umat, tapi aplikasi ini menyediakan layanan Alkitab versi bahasa asli. Bahasa Ibrani untuk perjanjian lama, dan Bahasa Yunani untuk perjanjian baru. Menemukan kosakata baru atau sekadar membandingkan dengan versi terjemahan Bahasa Indonesia yang selama ini dibaca selalu membawa kebahagiaan tersendiri bagi saya. Seru dan jauh dari kata membosankan.

belajar bahasa Ibrani lewat MySword Bible | kucingdomestik.com


Beberapa tahun lalu, saat penggunaan aplikasi Alkitab dalam gawai belum semasif sekarang, seorang --katakanlah-- pemimpin rohani yang saya kenal sempat melarangnya. Dia tidak mau melihat ada ponsel diaktifkan saat beribadah, termasuk untuk mengakses aplikasi Alkitab. Entah apa yang dia pikirkan, namun saya berpendapat beliau semacam antipati dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.

Lalu pada satu kesempatan mengobrol santai, saya katakan "Alkitab berwujud buku yang kita pakai sekarang memangnya asli? Bukannya itu wujud perkembangan zaman juga? Kalau mau bertahan asli ya kita harusnya masih pakai papirus atau loh batu sekalian..."

Saya sudah lama tidak bertemu beliau. Tapi pada natal akhir tahun lalu, saya lihat beliau sudah pakai Alki-tab, aplikasi Alkitab dalam tablet yang dibawanya saat berkhotbah.

***

Tentu tidak ada salahnya memanfaatkan teknologi dan mengikuti perkembangan zaman. Namun penggunaan Alkitab digital ini bukan tidak punya efek samping. Dibanding Alkitab versi buku, aplikasi Alkitab lebih rentan gangguan. Pengalaman saya, sekalipun HP dalam silent mode + airplane mode, sulit sekali memaksa diri tetap fokus pada jalannya khotbah. Tangan ini terlalu gatal untuk tidak mengutak-atik aplikasi yang lain. Entah membaca chat-chat lama dalam whatsapp, atau sekadar melirik foto-foto dalam galeri.

Dalam hal ini, jarak antara kekhusyukan ibadah dan kekejaman dunia digital memang hanya sebatas kontrol diri. Seberapa tahan kemampuan diri kita untuk fokus hanya ke Tuhan, dan bukannya aplikasi dalam genggaman.

Saat menulis ini, mendadak saya ingat Firman Tuhan yang berbunyi begini :

"Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.

Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka." Matius 5:29-30


Kedua ayat ini tentunya bukan untuk dimaknai secara harafiah. Namun Yesus sudah dengan tegas mengingatkan, bahwa jangan pernah main-main dengan dosa. Kalau tanya jujur pada nurani sendiri, pasti sebenarnya tahu kok ... bahwa bermain-main dengan ponsel saat beribadah, saat pendeta serius berkhotbah, itu bukan hanya tidak pantas secara etika manusia, namun juga berdosa. Menyepelekan Tuhan.

Tulisan ini saya akhiri dengan omelan ke diri sendiri :

"Hai Arako! Jika HPmu menyesatkan engkau, pecahkan dan buanglah itu, karena lebih baik jika kamu nggak punya ponsel, dari pada tubuhmu harus dicampakkan ke neraka gara-gara itu!"

Hehehe, yuk. Mulai bijak gunakan gawai-gawai kita.






0

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...