Ragi Story #RagiStory
Yosh, dua bulan berlalu sejak saya dan Nugi resmi menjadi sepasang suami istri. Masa-masa indah, mesra-mesraan, honeymoon khas pengantin baru katanya. Saya cuma nyengir kuda. Iya sih, banyak yang indah, tapi bukan berarti sama sekali tanpa masalah. Bunga-bunga boleh bermekaran, tapi munculnya duri juga kadang tak terhindarkan.
Di tulisan kali ini, saya mau sharing soal masalah-masalah yang terjadi di dua bulan pertama pernikahan. Apa yang saya tuliskan bisa dialami pasangan yang lain, bisa juga tidak. Issokee, setiap rumah tangga itu punya kisah sendiri kan?
Langsung saja, berikut 5 masalah di dua bulan pertama pernikahan versi #RagiStory, it's our story, a journey to stay happy.
1. Adaptasi
Di balik kemesraan, ada proses adaptasi yang ga gampang
Saya sudah tahu masalah adaptasi ini akan jadi PR sejak jauh sebelum menikah. Saya sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun tetap saja, ketika harus menghadapi langsung, rasanya cukup arrrggghhh juga ternyata.
Adaptasi ini meliputi segala aspek. Mulai dari ber-culture shock ria dari kehidupan "bar bar" Sumatera ke "Inggih inggih" Jogja, hingga berdamai dengan kebiasaan atau pola pikir pasangan yang bertolak belakang dengan diri sendiri.
Saya tahu, tidak mudah untuk Nugi menerima sprei kamar kami bisa SANGAT awut-awutan kalo saya yang tidur (atau goleran), lalu malas merapikannya lagi. Saya juga masih harus belajar banyak-banyak "istighfar" kalo Nugi luluran dulu setiap mandi, atau ngitungin nasi dulu setiap makan.
Saat menghadapi situasi yang tidak sesuai ekspektasi di luar sana, Nugi capek lihat saya over-react dan pengennya nge-gas terus, sementara saya frustrasi lihat Nugi memilih jalur diplomasi untuk hal-hal yang harusnya lebih pas untuk "langsung tonjok" sekalian.
Namun adaptasi terberat justru bukan ketika menghadapi faktor eksternal (pasangan, orang lain, lingkungan, dll), namun justru di proses internal alias diri sendiri. Ini yang luput saya dan Nugi persiapkan dengan porsi lebih sebelum pernikahan.
Kami ternyata sama-sama butuh waktu untuk menerima kalau kami sudah menikah. Yang berarti harus merelakan nyaris segala privilege saat masih single. Ini benar-benar berat karena yang dilawan adalah diri sendiri.
Kami gantian aja down, terutama di bulan pertama. Kami sama-sama tertekan "merindukan kehidupan single". Bedanya, saya lebih ekspresif, ditambah mental yang belum stabil, saya pun meledak. Tercatat di 3 kali weekend berturut-turut emosi saya meledak tak terkontrol.
Sebaliknya, Nugi tipe yang mendem. Dia diam, selalu diam. Tapi saya tahu dia sama tertekannya seperti saya. Ada satu momen ketika saya meledak, Nugi juga terduduk menangis sesenggukan. Dan entah gimana saya tahu, di momen sekali itu Nugi tidak menangis karena saya, atau frustrasi ngadepin kelakuan saya, namun lebih karena sudah nggak tahan dengan apa yang dia pendam sendiri selama ini.
Manusia bukan robot. Selempeng-lempengnya, sewoles-wolesnya, manusia selalu punya batas memendamnya sendiri.
Tips saya untuk kalian yang belum menikah dan akan menikah, sempatkan lah diri terlebih dahulu untuk say goodbye yang proper dengan kehidupan singlemu. Ini bukan soal bridal shower atau pesta bujangan yang terkesan "ceremonial" dari luar, namun lebih ke dalam dirimu. Personal dan intim. Hanya kamu dan dirimu.
Karena sebahagia apapun saat menyambut dan memasuki pernikahan, faktanya menikah memang mengubah banyak hal. Bahkan tak sedikit pula yang harus direlakan dan hilang.
Sekuat apapun mental kita, proses kehilangan dan mengikhlaskan itu tidak pernah gampang. persiapkan diri kita lebih untuk ini.
2. Komunikasi
Suatu hari saya ngomong ke Nugi untuk yang ke-sejuta kalinya soal cara jemur baju.
"Mas, kalo jemur dalemanku, tolong jangan diumbar-umbar. Bisa diselipkan di sela baju, yang penting jangan langsung kelihatan orang. Malu..."
"Iya, " jawab Nugi sambil tetap menjemur seperti ini. |
***
Well, udah banyak yang bahas sih ya, kalau soal komunikasi ini. Saya dari pacaran sama Nugi, ngomong blak blakan aja masih suka salah salah paham… apalagi kode-kodean. So, sebisa mungkin kami nggak main kode-kodean dalam bentuk apapun.
Saya merasa komunikasi saya dengan Nugi sudah terbangun cukup baik selama pacaran. Kami sama-sama suka ngobrol dan terbiasa berbicara tentang apapun termasuk perasaan masing-masing. Tapi tetap saja ada duri-duri kecil yang rasanya masih saja terus mengganggu.
Di samping masih suka amazed dengan bisa segitu njomplangnya perbedaan pola pikir antara laki-laki dan perempuan, masalah saya terkait komunikasi adalah terlalu emosional. Sulit sekali ngomong biasa tanpa nge-gas atau air mata.
Sementara Nugi… tipikal yang selalu menghindari konflik. Nugi itu tipe yes boy, yang auto iya-iya misal saya bilang sesuatu sekalipun dia ga sepakat. Dia bilang "iya" demi bikin saya berhenti ngomel. Padahal di belakang, ya nggak dilakukan juga "iya"-nya itu karena punya pemikiran sendiri.
Ini bikin saya frustrasi. Buat Nugi itu demi menjaga stabilitas dan kedamaian rumah, tapi buat saya itu sama aja bohong. Dan saya lebih suka diajak debat dan adu argumen sekalian ketimbang dibohongi. Iya bilang iya, enggak bilang enggak. Lebih dari itu berasal dari si jahat. Hohoho…
Tapi ya namanya juga lelaki Jogja yang terbiasa unggah ungguh, memang ga bisa juga sih ya ujug ujug langsung nyablak kaya wong Palembang. So, kalau sudah begini, memang balik ke poin satu tadi : adaptasi.
Ya. Kami masih berproses untuk mencari formula yang paling enak, jalan tengah terbaik untuk mengatasi masalah komunikasi yang kaya gini. Semangat! Pasti bisa!
3. Finansial
Saya bersyukur dengan segala drama lamaran dan pemberkatan kami di dua kota (Palembang dan Jogja), kami nyaris tidak meninggalkan utang. Kecuali sedikit tagihan CC Nugi yang saat itu terpakai untuk tiket pesawat keluarganya dan bisa segera dilunasi.
Sesuai ekspektasi, rangkaian pernikahan sederhana sesuai kemampuan, dan tidak meninggalkan beban finansial setelahnya. Kami cukup percaya diri ketika memulai pembukuan. Dengan coret-coretan kasar rencana anggaran bulanan, kami optimis kalo uang dan gaji kami akan lebih dari cukup untuk hidup sampai payday selanjutnya.
Kenyataannya?
Baru tengah bulan, saldo kami minus dong 😂😂😂
Baru tanggal 13, saldo sudah minus 😂 |
Meski kata Alkitab jangan khawatir tentang apa yang kamu makan atau pakai, ngeliat saldo udah minus ratusan ribu aja sementara tanggal gajian masih lama bikin panik juga. Ada rasa frustrasi juga karena merasa gagal mengelola keuangan. Padahal gaji seorang content director Bandung untuk standar hidup di Jogja HARUSnya kan bukan cuma sekadar cukup ye kan, tapi surplus plus plus plus. Ini malah minus 😭😭😭
Beruntung, kami punya pembukuan sederhana yang mencatat setiap aliran dana masuk dan keluar di rumah tangga kami. Dari sana, kami mulai analisa apa yang salah. Bagian mana yang ga pas. Keran mana yang bocor sehingga harus segera ditutup?
Hasil analisa kami, ada beberapa faktor yang bikin saldo kami minus padahal merasa diri sudah tidak boros-boros amat dan biaya hidup kami sehari-hari "segitu-gitu aja". Rupanya ada banyak pengeluaran untuk perabotan baru untuk kebutuhan awal tinggal di kontrakan kami. Kompor dan teman-temannya itu harganya sekilas terjangkau, bahkan beberapa item sangat murah, namun lumayan menguras anggaran rupanya.
Lalu ada biaya transport kami saat Nugi harus menjemput saya di Palembang setelah mengantar mama. Juga tagihan rutin bulanan yang harus dibayar bareng di waktu berdekatan (kos Nugi di Bandung, tagihan CC, BPJS, asuransi, termasuk persepuluhan untuk gereja, dll).
Sebagian besar memang "bukan salah kami". Ya sudah kebutuhannya saja begitu Namun harus diakui, ada juga sejumlah "kekhilafan" yang sepenuhnya tanggung jawab kami.
Jadi, entah bawaan selama ini LDR dan nyaris nggak pernah merasakan pacaran yang proper atau memang masih banyak bunga-bunga cinta manten baru, kami rupanya cukup sering ngedate dan makan di luar. Well, tidak sering-sering amat sih sebetulnya, tapi karena bulan pertama kebutuhan lain betul-betul membengkak, jadinya biaya ngedate ini terasa cukup menguras saldo.
Asyik jalan dan kulineran terus, sampai ga sadar saldo udah minus |
Yah, karena nasi sudah kadung jadi bubur, kami cuma bisa memohon pada Sang Tukang Bubur Agung itu agar bubur kami ditambahin suwiran ayam, bawang goreng, dan daun seledri biar tetep enak dimakan. Kami minta tolong pada Papi di Surga, agar kami bisa melewati bulan ini. Disertai janji dan komitmen kalau next akan lebih bijak lagi mengatur keuangan.
Sungguh, Puji Tuhan, penyertaan-Nya sungguh nyata di kehidupan rumah tangga kami. Tangan-Nya ga kurang panjang untuk ngasih makan kami lewat berbagai jalan. Angpao-angpao susulan, invoice yang cair, job-job receh namun cairnya instan, promo Shopee food, dll menyelamatkan kami bulan itu. Surprisingly, di akhir bulan saldo kami malah surplus dan masih bisa nabung. Ya, matematika Tuhan memang kadang terlalu ajaib untuk dimengerti.
*
Selain masalah kontrol keran pengeluaran, ada masalah finansial yang kami hadapi lagi yakni transparansi dan perkara penentuan skala prioritas. Ada satu momen saya meledak marah ke Nugi karena dia mengirim dana tagihan listrik rumah mamak tanpa sepengetahuan saya.
Tolong digarisbawahi, TANPA SEPENGETAHUAN SAYA. Tranparansi buat perempuan itu mutlak hukumnya. Tranparansi juga adalah syarat yang saya minta ketika waktu masih pacaran kami memutuskan bahwa semua uang nanti Nugi yang pegang begitu menikah.
Saya nggak masalah lho Nugi kasih orang tua berapa pun asal duitnya ada, toh itu juga dia yang cari, terserah mau buat apa. Tapi apa susahnya sih bilang dulu? Saya kalau Nugi udah "ngumpet-ngumpet" begitu jadi overthinking, apa image saya sejahat itu sampai kamu mikir saya akan larang kalau bilang dulu? Apa saya segitu ga bisa dipercaya-nya ya? Saya ini dianggap apa sih sebenernya sama kamu, dll, dsb, dst, dkk. Panjang ayatnyo kalo kata orang Palembang.
Saya juga sangat tersinggung ketika Nugi dengan entengnya minjemin uang 100 k ke kerabat, padahal saldo pembukuan kami sudah di ambang minus. Meski dia izin dulu ke saya, dan saya ga kuasa menolak, di mata saya Nugi sudah keliru menentukan skala prioritas. Saat itu jatah belanja harian saya yang biasa 50-100 k saja sudah dipangkas jadi 30 k karena sudah tahu harus berhemat. Tapi kok bisa-bisanya keluar 100 k buat orang lain. Buat saya Nugi sudah berlaku tidak adil.
Penentuan skala prioritasnya harus diluruskan dulu. Rumah tangga sendiri dulu, baru ortu dan keluarga, baru yang lain. Syukurlah ketika masalah ini kami bicarakan baik-baik, Nugi mengakui kesalahannya. Dia tidak bermaksud jahat atau tidak adil ke saya, namun memang masih perlu waktu beradaptasi.
Nugi berjanji akan lebih memprioritaskan keluarga kecilnya terlebih dahulu dan tidak akan "ngumpet-ngumpet" lagi. Tentu saja Nugi ga cuma omdo. Nugi berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Sekarang dengan kondisi keuangan kami yang mulai stabil, Nugi bahkan sudah macam sugar daddy-nya Ara.
Saya minta apa selalu iya, selalu oke. Kadang, saya malah harus mengingatkan Nugi untuk pisahkan langsung yang pos khusus untuk orang tua biar ga kepake untuk yang lain-lain.
Ada sedikit tips yang saya dapat dari mendiang Mbah Kakung saat masih hidup terkait ngasih orang tua setelah menikah yang saat ini kami praktikkan. Kalau mau ngasih ortu suami, sebaiknya istri yang menyerahkan. Sebaliknya, kalau mau kasih ortu istri, suami yang menyerahkan. Penjelasannya sederhana, seorang anak kalau baik sama ortu sendiri itu biasa, tapi menantu yang baik akan jadi penghiburan luar biasa untuk para mertua.
4. Keluarga Besar
Keluarga besar kami yang kecil |
Soal ini pengen saya bahas di postingan sendiri karena complicated. Tapi intinya begini, benar kalau orang bilang ketika menikah itu bukan cuma harus siap menikahi pasangan, tapi juga seluruh keluarganya.
Yang rempong pas hari H ga cuma mempelai, tapi keluarga besar juga. Yang perlu adaptasi dan menerima kenyataan kalau kehidupannya berubah itu nggak cuma mempelai, tapi keluarga besar juga.
Semacam itulah. Ada banyak emosi. Ada banyak kegelisahan terkait keluarga besar ini. Baik dari keluarga saya maupun keluarga Nugi.
Tips dari saya untuk yang belum nikah terkait ini, tinggallah sejauh mungkin dari keluarga besar masing-masing saat baru menikah (kalau memungkinkan) kelak. Proses adaptasi dalam rumah sendiri aja sudah cukup berat untuk dihadapi soalnya. Tinggal jauh dari keluarga besar akan kasih kita ruang dan waktu untuk lebih leluasa menata diri serta hati demi menerima dan berdamai dengan semua perubahan yang menguras energi.
Kata orang tua dulu gitu kan? Jauh bau wangi, dekat bau tahi 😂😂
5. Seks
Part ini juga sesungguhnya ingin dibahas sendiri juga. Tapi saya masih maju mundur. Masih bingung juga apakah yang seperti ini patut diulas untuk publik?
So, saya dan Nugi juga mengalami masalah ranjang. Saya yakin, kalau saya sharing soal ini, akan ada banyak pasangan baru yang mungkin mengalami masalah seperti kami ini akan terbantu. Karena puji Tuhan, kami sudah berhasil mengatasinya. Kalaupun tidak, semoga bisa kasih pesan "hey, you're not alone, dear... "
Tapi untuk saat ini, saya belum siap mental untuk bahas ini. Cuma bisa kasih spoiler sedikit, bahwasannya urusan seks itu bisa amat sangat bikin frustrasi banget ternyata, terutama untuk para newbie.
Ketika masih single dan lagi sange suka berpikir, enak ya kalau udah nikah bisa bebas ngewe, ga ada beban, kapan aja bisa, ga perlu takut misal jadi anak… oh, sekarang saya sungguh mau bilang, tidak semudah itu, Ferguso!
Seks. Tidak. Sesederhana. Itu.
Kalau pengantin baru bisa lancar dan langsung bisa menikmati hubungan seksual, maka bersyukurlah. Itu anugerah. Nggak semua pasangan seberuntung itu.
Ketika galau menghadapi masalah ini, saya memberanikan diri curhat kepada seorang sahabat cewek yang sudah lebih dahulu menikah. Saya butuh pelukan seorang teman dulu, sebelum harus konsultasi ke profesional (misalnya perlu banget). Surprisingly, sahabat saya ini ternyata mengalami masalah yang sama, bahkan belum teratasi sampai sekarang meski sudah hitungan tahun menikah.
Ini bikin saya berpikir, jangan-jangan masalah ini sebenernya cukup umum ditemui, hanya tidak ada (atau jarang sekali) yang mau membahasnya terang-terangan. Tahu lah ya, orang kita kaya'nya masih susah bedain seks edukasi dengan konten porno.
Btw, boleh kok kalau mau menebak-nebak dulu apa persisnya masalah ranjang kami ini, tapi kalau saya ditanya masalahnya di saya atau Nugi, saya pastikan jawabannya : keduanya.
Tapi masalah yang sempat kami alami ini membuat saya kian mengerti, kenapa hubungan seks memang sebaiknya baru dilakukan dalam ikatan pernikahan kudus. Karena ketika hubungan seksual dilakukan dengan tidak hanya bermodal nafsu, seks memang benar jadi sekudus, semanis, dan seindah itu.
Saya dan Nugi sama-sama menyebutnya : kado. Kado yang teramat manis, terlebih karena harus berjuang dan nangis-nangis dulu sebelum membukanya. Hehe...
Mau berapa ronde malem ini, Om? |
Penutup
Pernikahan kami baru seumur jagung. Jalan kami masih panjang. Cerita kami baru dibuka. Belum ada apa-apanya.
Tapi ini sudah cukup untuk mengerti, bahwa segala sesuatu ada musimnya. Bunga ga selamanya mekar, duri-duri juga ga selalu melukai. Ada hikmah dari musibah, ada berkat di balik persoalan.
Tulisan ini dibuat sebagai pengingat cerita sekaligus penyeimbang, karena di sosmed kami sepertinya kebanyakan pamer bunga-bunga kemesraan. Saya cuma bisa bilang, aslinya ga selamanya begitu.
Jangan cuma terjebak dengan ilusi gemerlapnya pemberkatan atau resepsi, sampai habis segala energi dan upaya untuk satu hari itu.
Jangan menikah kalau cuma mau lari dari masalah. Atau cuma bosan dengan kehidupanmu yang sekarang. Percayalah, kalau begitu nanti cuma akan semakin bosan dan masalahnya akan berlipat-lipat.
Menikahlah saat sudah menemukan orang yang tepat. Menikahlah dengan kesiapan. Menikahlah di waktunya Tuhan.
Salam dari Sleman,
Bonus :
Ngakak di foto jemuran. Apa kabar kalo aku yang jemur, manalah sempak pada "anginan" kebanyakan lubang hwhwhw.
BalasHapusSemoga terus mengenal satu sama lain dan makin langgeng, amin.
Kalo udh nikah beda mas. Pasti semua yg berventilasi disingkirkan dulu 🤣🤣🤣. Ganti Ama yg modelnya sexy mengundang 🤣
HapusHahaha gitu ya mbak Fanny. Nikah baru-baru.
HapusKalau udah lama, yang berventilasi dipertahankan kali ya. "Alagh, bini juga udah tahu gini" wkakaakakak.
Amiiinn... Makasih Kak doanya...
HapusOy, buanglah yang berventilasi itu... Wkwkwkwk... Cari yang sekseh kaya kata Mbak Fanny
Aku sukaaaaaa tulisan mu 😄👍👍👍. Dan foto trakhir , cucooooook loooh Ama caption 🤣🤣🤣.
BalasHapusBtw, feel you kok Ra. Secara kita sama , yg cewe dari Sumatra, yg co Jawa :D. Aku Batak, suami solo. Ga usah tanya adaptasinya, mulai dr komunikasi aja kami suka eror.
Kayak kata SIAP. 'aku siap mandi nih'. Bagiku itu artinya aku udh selesai mandi. Tapi bagi Raka, itu arti nya aku baru mulai mandi, yg berarti dia bakal jemput sekitar 1 jam lagi 🤣🤣🤣.
Tapi memang itu serunya, adaptasi di berbagai macam hal. Buat kami itu tantangan utk ditaklukin :). Untungnya sifat kami yg bertolak belakang, aku blak blakan, no kode2, dan Raka yg ga enakan, jadi semacam penetral, supaya ga 2-2 nya ngegas ATO slow motion kelewatan 😄.
Utk hal2 yg perlu diskusi panjang, ii banyak yg udh kami bahasa pas pacaran. Cth nya kayak anak. Aku ga suka anak, Raka suka. Malah pernah putus Krn masalah ini. Akhirnya ambil titik tengah. Aku mau punya anak, asaaaaaal hrs ada babysitter dan ART. Dia setuju, dan akhirnya aku dengan senang hati baru mau hamil 😁. Ga bisa dipaksain soal anak gitu, penting Krn yg dilahirin makhluk hidup. Yakali abis lahir ga diurus hanya Krn emosi di awal.
Kalo soal matematikanya tuhan, akupun suka amazed. Karena memang ga pernah disangka2. Yg pastinya, kita lurus2 aja lah, rezeki pasti selalu ada😘.
Eh tapi aku ngakak bener ini baca yg bagian Nugi luluran 🤣🤣. Kebalik benar kalian 😂
Sebenernya ga literally luluran, Mbak... Tapi Nugi kalo mandi lamaaaaaa... Kalo makan lamaaaaa...kalo siap siap mau pergi juga lamaaaaa..... Kita yang apa apa grasa grusu jadi kek cacing gelisah nungguin 😂😂😂
HapusKehidupan nikahan seru emang ya, Mbak Fanny...
Mas Nugi ini tipe Aku banget. Meng-iya-kan apa saja untuk membuat si Doi berhenti ngomel terlepas dari setuju atau tidak. Dan dibalik Iya, percayalah, Kami sedang memikirkan cara untuk membuat hal tersebut tidak terulang dan terungkit lagi...
BalasHapusWkwkwk... Mumet kalo denger bebeb ngomel ya, Mas Rahman?
HapusNtar kalo diem lebih mumet lagi lho
Btw terima kasih sudah mampir...
giliran orang sumatra pindah ke jawa, wahh itu beda banget kk, hahah... bener sih awalnya yg bahasanya :bar-bar" jadi "nggih..nggih.." haha...
BalasHapusitu masalah jemuran, ya daleman memang harus diselipin sih biar ga keliatan, kwkwk...
Kunci terbesarnya di komunikasi Ra, sesulit apapun harus komunikasi dan diskusi bareng. Jangan ambil keputusan sendiri.
BalasHapusHahaha, ketawa-ketawa sendiri baca artikelnya, karena memang pengalamannya orang baru nikah rata-rata mirip.
Hai Ossas...salam kenaaal. Eh salam kenal juga mami dan papinya yaaa :)
BalasHapusSelamat bertualang dalan pernikahan. Bahkan, saya dan suami yang sudah belasan tahun menikah dan sama suku pun bukan berarti sudah lancar jaya...
Hehe the art of marriage yaaa :)
Tuhan memberkati :)
Tulisannya cukup menarik, ga semua blogger bisa melakukannya lho. Aseli...
BalasHapus