Menjadi Ibu, Sebuah Sebuah Belajar yang Tak Pernah Usai - kucingdomestik
______________________________________________
Tanggal 14 Desember lalu, Aya dan Sae, twin toddlers-ku itu tampil menari di perayaan Natal Sekolah Minggu di gereja. Sebagai ibu, aku excited. Mereka sudah berlatih dengan baik selama berbulan-bulan. Sayang, hasilnya mengkhianati jerih lelah mereka sendiri.
Saat teman-teman mereka tampil apik di panggung, Aya menangis histeris. Sae lebih parah, dia berbaring tengkurap di lantai panggung di sepanjang lagu. Aku yang luput memperhitungkan bahwa keduanya baru 2,5 tahun, diam-diam merasa kecewa dalam hati. Terlebih saat melihat bocah-bocah lain bisa tampil dengan baik.
Aku berusaha meregulasi dan memahami emosiku sendiri. Apa betul aku kecewa? Atau sebetulnya malu? Atau malah merasa gagal karena tidak bisa mendidik anakku jadi setangguh anak-anak lain di atas panggung? Mungkin juga kesal karena tidak bisa pamer ke orang-orang bahwa anakku sebetulnya bisa dan hafal semua gerakannya sebaik saat latihan di rumah?
Sampai sekarang aku tidak tahu persis. Tapi semakin kurenungkan, semakin jelas kalau kegagalan perform itu semuanya tentang aku, ibunya. Dan bukan tentang anak-anakku.
Aya dan Sae langsung tidur di sisa acara, dan bangun dengan ceria, asyik bermain lalu sibuk dengan dunianya sendiri seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Jemaat gereja lain juga sepertinya juga tidak “se perhatian” itu dengan Aya Sae sampai merasa perlu membahas insiden duo bocil yang bikin kacau panggung.
Jadi ya. Sensasi perasaan tidak menyenangkan itu memang bermuara di diriku sendiri. Dan aku tidak menyukainya.
*
Aku ingat pernah berkomitmen untuk tidak membanding-bandingkan anakku. Baik dengan kembarannya, atau anak orang lain. Tapi kejadian perayaan natal itu bikin aku sadar, betapa rapuhnya komitmen itu.
Hanya dengan sebuah insiden kecil yang sebetulnya kalau dinalar adalah sesuatu yang sangaaaattt wajar untuk usia balita, aku bisa sekejam itu pada anak-anakku. Well, kalau ada yang menghiburku, setidaknya itu hanya kulakukan dalam hati. Tidak sampai melampiaskannya pada mereka.
Tapi tetap saja, aku betul-betul merasa lemah. Betapa sulitnya bagi seorang ibu memegang kata-katanya sendiri. Namun aku tahu, aku tidak boleh larut dalam hal sesepele ini. Aku memilih memaafkan dan memaklumi diriku yang memang belum berpengalaman ini. Terlebih, selama ini aku hanya punya referensi dari banyak luka pengasuhan.
Yang kulihat “berulah” di panggung itu mungkin bukan Aya Sae, tapi Ara kecil yang dulu selalu menerima omongan tidak menyenangkan setiap kali melakukan kesalahan. Ada Ara kecil yang diam-diam komplain, mengapa Aya dan Sae tidak dicubit atau dikata-katai “bikin malu!” oleh orang tuanya?
Dan malam itu, sepulang dari acara perayaan natal, aku memilih memeluk si Ara kecil itu. Aku katakan padanya,
“Tidak apa-apa melakukan kesalahan. Itulah yang menjadikanmu manusia. Yang penting bagaimana kamu mengambil pelajaran dari setiap kesalahan itu.
Tenang ya, Ara. Sekarang aku menemanimu. Bahkan sekalipun seluruh dunia menertawakan atau mencibir kesalahanmu, aku akan tetap mendukungmu sampai kamu bisa bangkit lagi…
Terima kasih ya, sudah menjadi ibu yang memilih memutus rantai luka pengasuhan itu ke Aya dan Sae. Kamu hebat. Aku bangga padamu.”
Efeknya? Luar biasa.
Aku bisa rileks dan move on dengan mudah dari insiden panggung Aya Sae, dan mulai bisa mengubahnya jadi memori lucu yang kelak akan kuceritakan saat mereka sudah besar.
*
Aku ingat saat menamai Aya dan Sae dulu. Kamaya(ngan) dan Kisae Nugroho, yang berarti anugerah Tuhan yang baik dan membuatku merasa mendapat keberuntungan besar.
Aku ingat betapa bersyukur dan merasa beruntungnya aku dianugerahi dua putri sekaligus. Nama mereka dipilih bukan dari tuntutan agar menjadi anak baik atau beruntung, tapi karena merekalah wujud kebaikan dan keberuntungan itu sendiri yang hadir di kehidupan kami, orang tuanya. Ya kalau mereka kelak tumbuh menjadi anak baik dan beruntung, maka itu benar-benar bonus.
Sepertinya aku perlu sering-sering mengingat hal ini agar tidak terlalu mudah melihat kekurangan Aya dan Sae, apalagi langsung membandingkannya dengan anak-anak lain. Aku tidak bilang mudah, karena otakku sepertinya sudah kadung disetel default melihat kekurangan.
Tapi aku mau belajar menjadi ibu yang lebih adil. Bukan untuk buta pada kekurangan, tapi agar aku bisa lebih terbiasa mengapresiasi kelebihan mereka.
Tepat saat aku memikirkan ini, aku ingat saat Aya dan Sae dengan mudahnya berjalan mendahului kami ke arah lift dari kamar hotel tempat kami menginap. Padahal aku sendiri kebingungan mengira-ngira arah yang benar karena lorong-lorongnya banyak belokan dan membingungkan otakku. Tapi Aya Sae dengan mudah (dan pedenya) berjalan ke arah yang benar. Aku menyadari sistem navigasi Aya dan Sae ternyata amat baik untuk anak seusianya.
Meski masih terlalu dini untuk memutuskan sekarang, tapi aku sudah ikhlas menerima jika Aya dan Sae ini ternyata bukan stage performer, tapi seorang traveler sejati 😂
*
Sebelum jadi ibu, aku pikir menjadi ibu adalah tentang mengajari anak menghadapi dunia. Tapi setelah jadi ibu, aku rasa lebih banyak porsi anak yang mengajariku tentang kehidupan. Tinggal mau belajar atau tidak?
Hari ini aku belajar lagi dari anak-anakku. Bahwa menjadi ibu bukanlah tentang ga punya kekurangan, tapi tentang bagaimana kekurangan itu lah yang pada akhirnya menjadikan kita sempurna sebagai ibu, sebagai manusia.
Mari kita merayakan setiap momen belajar yang selalu baru, setiap sabar yang selalu diuji, dan setiap cinta yang tidak pernah habis. Selamat hari ibu, untuk semua seniman hati yang tak pernah lelah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar