Peran masyarakat adat, selamatkan bumi yang sekarat |
Perkenalan saya dengan sebuah komunitas adat adalah sekian tahun lalu saat masih menjadi jurnalis di sebuah koran lokal di Bengkulu. Tepatnya ketika berkunjung ke Desa Sungai Lisai di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Jika saya tidak keliru, saat ini desa tersebut sedang diperjuangkan statusnya untuk menjadi desa adat atau Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Selebihnya, pengetahuan saya tentang masyarakat adat sangatlah minim. Hanya sebatas memahami bahwa mereka adalah sekumpulan masyarakat asli suatu daerah yang mempertahankan gaya hidup berdampingan dengan alam.
Namun rupanya saya salah. Masyarakat adat rupanya memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kelestarian alam. Di saat masyarakat lain di seluruh dunia seolah berlomba-lomba merusak dan mengeksploitasi, masyarakat adat khususnya yang ada di Indonesia tengah berjuang menyelamatkan bumi yang kian sekarat.
Hal tersebut baru saya pahami ketika mengikuti mengikuti Online Gathering #1 Eco Blogger Squad bertajuk "Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Menjaga Bumi." Dalam agenda tersebut, turut hadir Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi sebagai narasumber.
Lalu, apa dan bagaimana masyarakat adat itu sendiri?
Menurut Rukka, masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat secara geneologis yang secara teritorial menyejarah, turun temurun lintas generasi. Measyarakat tersebut punya ikatan budaya sama dan ikatan batin kuat terkait suatu ruang geografis tertentu sebagai rumah mereka.
Rumah itulah yang kemudian dijaga, dirawat, dikelola, dan kuasai dari generasi ke generasi sebagai wilayah kehidupan dari leluhurnya.
Menariknya, Masyarakat adat rupanya tidak sekadar merasa punya ikatan dengan sesama manusia, namun juga dengan alam dan segala makhluk di dalamnya. Bahkan, bukan cuma terbatas hewan atau tumbuhan saja, namun juga termasuk "makhluk" yang tak kasat mata.
Sayangnya, kehidupan masyarakat adat yang perannya sangat lekat dengan alam, rupanya menghadapi banyak tantangan. Terutama dengan banyaknya pihak yang justru merusak alam dengan dalih pembangunan wilayah atau pembukaan lahan untuk tujuan komersil.
"Sampai sekarang banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat adat yang berurusan dengan hukum. Padahal mereka hanya mempertahankan rumah mereka, mempertahankan apa yang sudah dijaga leluhur mereka selama ini," ujar Rukka.
Tidak adanya payung hukum terkait hak-hak masyarakat adat membuat situasi dirasa genting untuk keberlangsungan alam juga masyarakat adat itu sendiri yang hidupnya sangat bergantung dengan kelestarian alam. Terlebih, jika sudah berhadapan dengan hukum melawan pihak-pihak swasta.
Dua contoh kasus yang disebut Rukka di antaranya adalah kasus Masyarakat Adat Sabuai (Maluku) yang harus puas dengan vonis hukuman pelaku penebangan liar di tanah adatnya yang hanya 2 tahun saja. Begitu pula dengan Masyarakat Adat Kinipan (Lamandau) yang hutan adatnya dirusak perusahaan sawit. Mereka malah berakhir dipolisikan ketika menggelar aksi protes demi membela haknya.
Padahal, dengan banyaknya jasa masyarakat Indonesia untuk pelestarian alam di bumi pertiwi, sudah selayaknya semua lapisan masyarakat dan tentunya pemerintah untuk mendukung dan membela hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya adalah dengan segera #SahkanRUUMasyarakatAdat.
Entah mengapa, RUU Masyarakat Adat yang sebenarnya sudah mulai dibahas sejak Prolegnas DPR RI 2009-2014 lalu, hingga saat ini belum jelas kelanjutannya.
Sementara itu, UU Cipta Kerja yang memudahkan perusahaan (termasuk perusahaan sawit) berinvestasi di berbagai wilayah Indonesia justru sudah disahkan. Hal ini membuat RUU Masyarakat Adat semakin bersifat urgent untuk disahkan.
Mengesahkan RUU Masyarakat Adat , lanjut Rukka, berarti menyelamatkan Indonesia dari berbagai hal yang merugikan, seperti perusakan lingkungan. "Sudah lebih dari satu dekade RUU ini mengendap di DPR, perlu segera ditindaklanjuti agar setiap warga negara Indonesia memperoleh haknya secara utuh," pungkas Rukka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar