Menu

Agar Tenang dan Tidak Khawatir Saat Persiapan Pernikahan




Saya menulis ini sebetulnya malah dalam kondisi yang sangat tidak tenang dan super khawatir saat mempersiapkan pernikahan. Hanya kurang tiga bulan lagi jelang hari H. 

Well, untuk orang-orang yang gemesshh karena saya dan Nugi tidak kunjung menikah, tiga bulan lagi itu mungkin masih lama. Tapi buat saya dan Nugi, yang sampai saat ini masih jadi LDR Fighter Palembang-Jogja, 3 bulan itu berasa diuber-uber. 

To be honest, masih banyak hal yang belum selesai. Mulai dari bimbingan pranikah di gereja, tetek bengek urusan administrasi untuk catatan sipil dan tes kesehatan, sampai persoalan memilih vendor belum tuntas semuanya. 

Satu hal yang paling bikin saya cemas saat ini mungkin juga faktor finansial. Hubungan LDR sendiri sudah begitu mahal untuk dijalani. Apalagi persiapan untuk hari H-nya. Terlebih, saya dan Nugi bisa dibilang tidak-bisa-terlalu-mengandalkan-orang-tua-lagi untuk urusan biaya pernikahan kami. 

Saya anak yatim, sementara orang tua Nugi sudah masuk usia lanjut yang sudah melewati masa produktifnya. Saya sempat berpikir, kalau saja saya dan Nugi dipertemukan lebih awal (sekitar 5 tahun lalu saat papa saya masih hidup dan orang tua Nugi masih produktif), apakah kami bakal lebih tenang dalam menyiapkan pernikahan? Kan enak ya kalau bisa seperti teman-teman lain yang menikah dengan dibiayai orang tua 🤭


Tapi sudahlah. Saya tidak mau berandai-andai. Saya percaya waktu Tuhan tidak pernah salah. Dan, saya tahu perjuangan saya dan Nugi ini tidak akan sia-sia. Kelak di kemudian hari, kami akan mengenang semua ini dengan senyuman. Amin. Amin. 


Berikut beberapa hal yang saya lakukan agar tetap tenang dan tidak khawatir berlebihan dalam mempersiapkan pernikahan : 


1. Berdoa

Terserahlah mau dibilang sok relijius atau bagaimana. Tapi doa adalah hal terkecil sekaligus terbesar yang bisa saya lakukan saat ini. Berdoa berarti menyerahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan. 

Saya percaya Tuhan yang mempertemukan saya dan Nugi. Dia pula yang mengizinkan kami sampai di titik ini. Jika pernikahan kami juga bagian dari kehendak-Nya untuk kebaikan kami, Dia pasti akan mencukupkan segala sesuatunya. 

Baik saya dan Nugi mungkin sama-sama tidak bisa mengandalkan ayah kami lagi. Tapi kami punya Bapa di Surga yang masih bisa kami mintai pertolongan. Kalau semesta dan segala isinya ini Dia yang punya, betapa kecil di mata-Nya urusan pernikahan dua insan manusia ini, bukan? 


2. Tarik Nafas dan Atur Skala Prioritas

Saat membuat list to do terkait pernikahan yang ternyata super ribet dan bejibun, reaksi pertama ya panik dan stress. Terlebih waktu yang entah kenapa berubah mendadak menjadi seperti kurva. Menanjak lambat ketika proses pedekate dan pacaran, dan seketika terjun bebas begitu tunangan akhir tahun lalu. Beuh, tahu-tahu sudah setengah tahun saja berlalu sementara persiapan baru beres sekian persennya. 

Meski sulit, saya dan Nugi memaksa diri untuk mengambil waktu sejenak untuk sekadar menarik nafas. Setelah pikiran lebih jernih, maka kami urutkan berdasar skala prioritasnya. Mana yang harus benar-benar dipikirkan lebih dulu. 

Biaya kontrakan atau DP KPR setelah menikah jelas jauh lebih penting ketimbang dekorasi, biaya pre-marital medical check up lebih penting ketimbang seragam bridesmaid, dst. 

 Dan begitulah, kami selesaikan perlahan satu per satu. Apa yang bisa dibereskan dalam waktu dekat ya dibereskan. Kesusahan sehari cukuplah sehari. Yang bisa dikerjakan hari ini ya hari ini. Begitupun yang besok atau lusa. Nikmati saja. Jalani. 


3. Ikhlas dan Tidak Memaksakan Diri

Kunci ketenangan adalah sikap hati. Yah memang, siapa sih yang tidak ingin punya acara pernikahan yang wah dan perfect? Saya dan Nugi juga inginnya sebuah pernikahan yang sempurna. Namanya juga momen sekali seumur hidup. Tak perlu mewah, tapi elegan. 

Tapi saya dan Nugi juga belajar untuk tidak memaksakan diri. Kalau memang mampu, ya why not? Tapi jika tidak, maka harus bisa ikhlas. 

Kembali ke hakikat pernikahan itu sendiri, bukan? Menyatukan dua jiwa dan dua keluarga. Sekarang yang penting itu sah dulu pokoknya. Kalau ternyata hanya mampu mengundang 50 orang, kenapa harus memaksa mengundang 1000 orang? 

Lebih baik sebuah pernikahan sederhana ketimbang harus menyusahkan diri sendiri, mengorbankan kenyamanan hidup berumah tangga di masa depan, atau meninggalkan utang yang tak terlunaskan. 


Saya tidak mau memaksakan diri. Nugi juga tidak.  Seperti apapun bentuknya nanti, kami ingin pernikahan yang bisa menjadi berkat. Benar-benar berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terkasih, dan bukannya membebani mereka. 


Akhir kata, mohon doanya ya agar dilancarkan segala prosesnya. Amin. 

2 komentar:

  1. Aku saluuut Ama kalian :). Sangat well prepared, walopun mungkin msh panjang list yg mau diselesaikan, tp setidaknya kalian tahu batasan nya di mana, time management yg hrs diprioritasin. Jarang loh ada yg sampe segitunya. Mostly mau duduk manis semua beres Krn diatur WO.

    Aku bantu doa, semoga semuanya dilancarkan yaa Ra :). Dijauhin dari macem2 godaan jelang nikah. JD nanti kalian bakal tinggal di mana? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih doa nya, Mbak Fanny.... Biar adil kami rencananya tinggal di Bandung. Soalnya kalau di Jogja atau Palembang, salah satu emak kami pasti ngambek 😂😂

      Hapus

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...