Menu

Lestari Hutan, Obat Bagi Ibu yang Sekarat


Forest Talk with Bloggers - Palembang

“Manusia mencintai bumi seperti Sangkuriang mencintai Dayang Sumbi. Manusia memang masih menyayanginya, namun tak lagi menghormatinya sebagai ibu.”
Itu kata teman saya, Yoga Palwaguna. Dia memang suka bikin sajak dengan kalimat aneh-aneh. Sering bermakna dalam nan mak jleb. Tapi sekali ini, saya benar-benar sepakat dengannya.

Ibu Bumi, Bapa Angkasa. Nenek moyang kita telah sejak lama menyebut bumi sebagai ibu. Karena memang di sanalah kita –para manusia—memperolah kehidupan. Lahir, tumbuh, berkembang, beranak-cucu, hingga tiba saatnya jasad kembali pada pelukan tanah.

Manusia dulu demikian menghormati, bahkan nyaris memuja bumi. Sampai meludah langsung ke tanah pun adalah sesuatu yang pantang dilakukan. Sejumlah upacara macam Sedekah Bumi atau Bersih Desa rutin dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan bumi.

Namun sekarang, tampaknya ada yang berbeda.

Penyebab Bumi makin panas (dok. Forest Talk)

Manusia memang masih mengasihi bumi bahkan bergantung padanya. Namun tak lagi memandangnya dengan penghormatan, melainkan penuh nafsu. Pun tak segan lagi melakukan perbuatan tak senonoh terus menerus. Sampah, limbah, eksploitasi lahan, pertambangan, polusi … Hal-hal yang kemudian mendorong terjadinya pemanasan global yang kemudian berujung pada perubahan iklim.

Jika Sangkuriang dan Dayang Sumbi mungkin hanya dipercaya sebatas legenda, maka perubahan iklim adalah sesuatu yang riil. Nyata tengah terjadi saat ini.

Manajer Climate Reality Indonesia, Ibu DR. Amanda Katili Niode membenarkan terjadinya perubahan iklim yang terjadi di muka bumi saat ini. Hal itu dibuktikan dengan perubahan ketinggian permukaan air, peningkatan suhu global, memanasnya samudera, melelehnya es di kedua kutub bumi dan wilayah sekitarnya, memanasnya suhu di samudera, juga pengasaman samudera.

Ibu Amanda Katili Niode (dok. Forest Talk)

“Ada 60 juta orang di seluruh dunia yang terdampak cuaca ekstrem. Tak terkecuali di Indonesia. Dari 2481 bencana yang terjadi di negeri kita akhir-akhir ini seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan, gelombang panas dan dingin, badai, serta puting beliung, 97%-nya disebabkan oleh perubahan iklim. Tak kurang 10 juta masyarakat kita terdampak dan mengungsi karena ini,” jelas Bu Amanda.

Berkaca pada data-fakta tersebut, tak heran kalau Bu Amanda bilang kalau bumi kita sedang sekarat. Ya, bumi kita memang tengah sakit parah dan menderita menuju ajal.

Lalu, akankah kita berpangku tangan menunggu bumi tutup usia dengan sendirinya? Yang berarti akan menjadi akhir bagi setiap kehidupan yang masih dikandungnya.

Tidak. Tentu saja tidak. Kita bisa mulai merawat ibu kita yang telah renta ini dengan berbagai cara , seperti :

1. Tidak buang sampah sembarangan
2. Memilah sampah organik dan anorganik agar lebih mudah didaur ulang.
3. Mengurangi penggunaan plastik (bawa tas sendiri saat belanja, stop pakai sedotan plastik sekali pakai, dll)
4. Mengurangi polusi

Itu cuma contoh. Masih banyak cara lain yang bisa terapkan untuk merawatnya, tentu. Dan ada satu hal lagi yang rupanya punya efek paling besar untuk memperpanjang asa bumi kita, yakni : Lestari Hutan.

Lestari Hutan? Makanan apa itu?

Simak terus ulasan berikut ini, ya?!


Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Demi Masa Depan Bumi

Moderator dan Narasumber Forest Talk with Palembang Bloggers

Beruntungnya saya dan rekan-rekan blogger Palembang saat dapat undangan acara Forest Talk with Blogger di Kuto Besak Theatre pada Sabtu (23/3) lalu. Acara bertajuk “Menuju Pengelolaan Hutan Lestari” tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Doctor Sjahrir dan The Climate Reality Project Indonesia. Di sini, saya benar-benar belajar banyak hal, terutama soal hutan dan kaitannya dengan kelangsungan nasib bumi kita.

Dr. Atiek Widyawati, salah satu pembicara dari Tropenbos Indonesia menjelaskan, hutan kita kian hari nasibnya kian memprihatinkan. Banyak areal hutan menjadi berkurang bahkan hilang karena aktivitas manusia. Mulai dari pembalakan liar, hingga alih fungsi lahan menjadi area perkebunan, pertanian maupun pemukiman.

Deforestasi, degradasi, dan konversi hutan (dok. Forest Talk)

“Jika ini dibiarkan, akan menimbulkan banyak masalah. Termasuk dampak bencana yang terjadi seperti banjir, kebakaran lahan dan kabut asap. Terjadinya bencana-bencana ini sudah diprediksi. Semua terjadi karena deforestasi. Untuk itu, perlu adanya solusi terkait hal ini, yakni mengembalikan lagi fungsi hutan dalam berbagai aspek,” kata Dr. Atiek.

Selain mencegah pembalakan liar, reboisasi, dan reklamasi lahan, kelestarian hutan bisa dijaga dengan cara memanfaatkan produk-produk hasil hutan non-kayu. Jadi guys, komoditas hutan itu nggak melulu kayu. Ada banyak produk hutan lain yang bisa dimanfaatkan tanpa harus menebang pohon-pohonnya yang butuh puluhan tahun lagi untuk kembali tumbuh besar.

Narasumber lainnya, Ir. Murni Titi Resdiana, MBA yang merupakan Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim menjelaskan, ada begitu banyak potensi dari pohon-pohon di hutan untuk pengembangan ekonomi kreatif.

Daun nanas bisa dijadikan serat untuk produksi tekstil

Mulai dari sebagai pewarna alam, bahan kerajinan, makanan, sumber minyak atsiri, hingga fashion. “Semua itu akan menjadi komoditas yang sangat menjanjikan. Namun tentunya, harus dibarengi dengan proses produksi maksimal dari segi kualitas dan strategi pemasaran yang tepat,” beber Bu Titi.

Saya sebagai model produk fashion hasil hutan

Dalam pengelolaan sumber daya hasil hutan, tentunya diperlukan peran aktif dari masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar area hutan. Salah satu pihak yang peduli dengan pemberdayaan masyarakat tersebut adalah perusahaan APP Sinar Mas. Melalui program CSR Desa Makmur Peduli Api (DMPA), sedikitnya ada 284 desa yang telah diberi pendampingan.

Head of Social Impact & Community Development APP Sinar Mas, Janudianto mengatakan, dana yang telah digelontorkan untuk ratusan desa tersebut adalah wujud komitmen APP Sinar Mas dalam menangani perubahan iklim. Adapun pengelolaan diserahkan ke masing-masing desa melalui bumdes atau koperasi.

Produk makanan hasil binaan program DMPA APP SInarmas (dok. Forest Talk)

"Ini sebagai wujud nyata kontribusi kami dalam menangani perubahan iklim global. Namun tentunya kami tidak bisa bergerak sendiri. Perlu adanya kerjasama dengan masyarakat. Dengan ini, selain bagian upaya dari mengedukasi masyarakat agar tidak lagi membakar hutan, bisa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di masing-masing desa,” demikian Janudianto.

Keseruan Lainnya

Stand Pameran Meillin Gallery
Agenda Forest Talk with Blogger nggak cuma diisi dengan diskusi seru yang sarat ilmu. Sebanyak 40 peserta yang semuanya blogger itu juga disuguhi pameran produk hasil hutan yang begitu memanjakan mata. Ada produk-produk makanan dari stand DMPA, produk kerajinan tangan dari Meillin Gallery yang bahan bakunya berasal dari limbah kayu, dan yang paling menarik perhatian saya yakni pameran produk tekstil dari Galeri Wong Kito.

Jadi model (lagi), kali ini bareng Eka
Jadi produk-produk kain yang dipamerkan, semuanya dibuat menggunakan bahan alami, termasuk pewarnanya. Saya dan teman-teman juga berkesempatan praktik langsung ecoprint, yakni teknik membuat motif di kain menggunakan daun-daun.

Serunya praktik langsung ecoprint

Proses pembuatannya cukup mudah, namun diperlukan kesabaran terutama saat memukul-mukul daun dengan palu kayu agar motifnya tercetak sempurna.

Umek Elly terbuai aroma chicken wings Chef Taufik

Seolah belum cukup, peserta juga menyaksikan demo masak langsung oleh Chef Juna Taufik. Menyaksikan dari awal proses masak Mushroom in Paradise dan Chicken Wings Korean Sauce itu benar-benar bikin ngiler. Jadi nggak sabar pengen nyoba resepnya sendiri di rumah.

Last but not least ...

foto bersama sebelum pulang
______________________________________
Saya amat terkesan dengan acara Forest Talk with Blogger Palembang ini. Benar-benar cara sempurna untuk berakhir pekan. Di atas semua ilmu dan keceriaan (plus goodie bag) yang dibawa pulang, acara ini telah menyadarkan saya akan satu hal penting. Bahwa kekurang-ajaraan dan ketidaksenonohan kita dalam memperlakukan bumi memang harus segera diakhiri.

Sudah saatnya kita kembali menghormati bumi laiknya ibu sendiri. Kini, ibu yang sudah tua, penyakitan, dan sekarat itu membutuhkan kita, anak-anaknya. Melestarikan hutan mungkin ibarat memberinya obat. Barangkali tak cukup ampuh untuk mengembalikan vitalitasnya seperti semula, namun jelas sudah lebih dari cukup untuk sekadar memperpanjang nafasnya.

Salam lestari!

 _________________________________
Bonus :






Sebagai emak kucing kampung, bertemu mereka Kuto Besak Theatre benar-benar sebuah kebahagiaan tersendiri. 😊
________________________________

Tulisan ini juga tayang di lestarihutan.id

8 komentar:

  1. kainnya keren2. dimana bisa membelinya?

    BalasHapus
  2. Kereeen. Mb ara udah kayak kembang desa pake kain itu.
    Ga kliatan tomboy lagi wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkw...kembang desa 😂😂😂

      Hapus
  3. Waah, ada bonusnya... Sudah diberi namakah anak - anak lucu itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan anak dewek, Mbak ...tak berhak memberinya nama

      Hapus
  4. Yap. Memelihara adalah tanggung jawab kita, ya, kak. Materinya bermanfaat sekali buat kita kembali sayangi bumi. :)

    BalasHapus

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...