Menu


"Saat hidup tak berjalan seperti yang diinginkan, selalu ada rancangan Tuhan yang mengatasi segala kebaikan..."  Arako, 2020.



Sarjana Sastra




2008, 

Gadis 17 tahun itu membeku. Dia bisu sediam patung Buddha, tak tahu harus bagaimana kala melihat sosok lelaki yang paling dihormatinya itu berurai air mata. Ayahnya menangis. Di sini, di kamarnya. Tempat si gadis mengurung diri setelah hampir 2 bulan lamanya. 

"Maafkan papa, nggak bisa menguliahkanmu... "

Lelaki paruh baya itu berucap. Berulang-ulang. Penuh penyesalan. Si gadis tahu, hati ayah telah sama hancurnya. Si gadis yang sudah diterima di jurusan ilmu komunikasi sebuah PTN tanpa tes itu harus benar-benar mengubur mimpinya dulu tentang dunia kampus. 

Hanya otak labil remajanya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin belum sampai 2 tahun lalu ayahnya sanggup membelikannya motor matic keluaran baru untuk dibawanya sekolah, juga ponsel N6600 yang harganya masih Rp 4 juta..., tapi HANYA menyediakan uang Rp 1 juta untuk syarat daftar ulang saja tidak sanggup. 

Bercandaan macam apa ini? Sungguh nggak ada lucu-lucunya. 

Tapi satu hal yang pasti, air mata itu jelas bukan bercandaan. Si gadis tahu, perangai keras ayahnya tidak pernah mengizinkan dia menangis. Namun lihatlah beliau sekarang... Menangis dan menangis. Hanya kata maaf yang keluar di sela isaknya.

Si gadis terpekur. Dia bisa apa? Memang salah siapa sih kalau keluarganya bangkrut? Kalaupun tahu siapa yang salah, tidak akan pernah mengubah keadaan saat itu. Memangnya dia mau diam di kamar terus seumur hidup? 

Wahai putri bungsu nan manja, bangun! Terjagalah! Buka matamu lebar-lebar. Kamarmu ini bahkan sebentar lagi juga bukan milikmu lagi. Rumah ini sudah dijual, ingat? Hanya tinggal menghitung hari untuk mengepak barang-barangnya. 

Si gadis mengusap air matanya. Memegang tangan ayahnya yang dulu begitu sering menabok dirinya yang masih kecil karena memang bandel dan nakal luar biasa. 

Ditatapnya mata ayahnya dalam-dalam... 

"Pa. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Yang sudah ya sudah. Nggak bisa diapa-apain lagi. Aku sekarang mau nangis darah juga tetep nggak bisa kuliah ya itu fakta... harus diterima. Tapi aku nggak mau nyerah sama mimpiku. Papa tenang saja, aku bakal tetap kuliah suatu saat nanti. Tolong doakan saja, saat aku beneran bisa kuliah nanti... aku akan pakai uangku sendiri. Aku janji... "

Hari itu, dengan usapan lembut sang ayah di puncak kepalanya, si gadis berhenti dari aksinya mengurung diri. Dia mulai menyiapkan berkas lamaran kerja. Tidak lupa menulikan diri dari semua kabar teman-teman sekolahnya yang sibuk dengan dunia mahasiswa baru. 

Ya. Hidup kadang memang sebrengsek itu. Tapi menunda mimpi bukanlah akhir dari segalanya... 


2012,


Gadis yang sama tapi 4 tahun lebih tua itu sedang menangis di telepon. Di ujung sana, seorang sahabat cowoknya berusaha menenangkan. 

"Kapan memangnya terakhir bayar semesteran?"

"Tinggal besok... Dan gajian masih lama..."

"Ah, besok. Masih lama itu... Kamu tenang dulu lah... Masih bisa kita usaha---"

"BESOK KOK LAMA. SEBENTAR ITU! KALAU BESOK GA DAPAT UANGNYA GIMANA KULIAHKU, MAS???"

"Hey, hey... Lama atau sebentar itu tergantung kamu pake buat apa waktunya. 24 jam itu mungkin sebentar buatmu sekarang, tapi itu lama lho kalau kamu pakai -- berdoa, misalnya. Jadi... Sekarang, aku mohon kamu tenang dulu. Terserah gimana caranya. Doa yang bener-bener. Yakini satu hal, kamu masih tetap bisa bayar semesteranmu... "

Beberapa minggu kemudian, 
Si gadis yang semringah habis gajian menemui sang sahabat. Mengulurkan setumpuk lembaran uang merah yang masih wangi dan mulus. 

"Nih, utangku bayar semesteran kemaren. Plus lebihan buat bayar denda cicilan motormu. Bilang maaf juga ke ibu kosmu karena telat bayar..."

"Nggak usah, " tolak si sahabat tak terduga. 

"Lho? Kok nggak usah? Aku bilangnya minjem lho kemaren, bukan minta... "

"Iya. Tapi sekarang kamu pegang aja uangnya. Sebulan ini kamu gimana mau liputan kalau gajimu habis buat bayar utang...."

"Lho..., kok?"

"Kamu cuma harus janji satu hal sama aku..."

"Hmm?"

"Selesaikan kuliahmu. Apapun yang terjadi, kamu harus lulus. Aku akan anggap lunas utangmu begitu kamu udah sarjana nanti. Okay? "

"Tapi..."

"Aku nggak butuh tapi, aku butuh janji..."

"Umm... Okay... Aku janji sama mas... "

"Janji apa?"

"Janji selesaikan kuliah dan jadi sarjana... "

Hidup masih tetap sama brengseknya. Tapi selalu saja ada orang baik yang hadir untuk menghangatkan hati dan menjamin senyum. 

***


Tapi pada kenyataannya, perjalanan untuk lulus kuliah rupanya nggak pernah semudah itu, Maemunah! 

Iya. Gadis di cerita itu saya sendiri. Di masa lalu. Meski sudah diniatkan untuk lulus kuliah secepatnya (karena sudah merasa sangat ketinggalan), nyatanya dunia kuliah saya sama brengseknya. 

Mencoba kuliah Ilmu Komunikasi sembari bekerja, ternyata gagal. 3 kampus berbeda saya jalani dan nggak satupun yang selesai. Masalah utamanya bukan lagi biaya, memang (Puji Tuhan kerjaan waktu itu memungkinkan saya punya tabungan yang lebih dari cukup buat kuliah), tapi manajemen waktu. 

Belakangan baru tahu itu erat kaitannya dengan saya yang ternyata punya otak ADHD. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. 

Namun janji yang sama pada dua orang berbeda bertahun lalu itu benar-benar terasa seperti utang besar yang harus dilunasi. Saya terbeban. Saya tertekan. Tapi sekaligus juga jadi pemicu untuk nggak menyerah sama mimpi. 


Tahun 2015 saya pindah dari Bengkulu ke Palembang. Karena bingung tidak ada kesibukan, saya memutuskan kuliah lagi. Awalnya masih tetap ngotot ingin Ilmu Komunikasi, sungguh saya masih penasaran sama jurusan ini. Tapi Ibu Ratu menyarankan ambil sastra saja. Saya butuh sesuatu yang baru. 

Ya sudah sih. Tidak ada salahnya mencoba. Sastra juga sepertinya tidak buruk-buruk amat. Terlebih, ingin juga punya gelar yang sama dengan sahabat yang memiutangi saya itu. Dia lulusan sastra arab sebuah universitas Islam di Bandung. 

(Eh, belakangan baru tahu kalau gelar saya dan dia akhirnya berbeda. FYI buat yang mungkin belum tahu, lulusan sastra bisa berakhir jadi S.S  atau S.Hum, tergantung pada fakultas mana prodi sastra tersebut bernaung. Kalau fakultas sastra, gelarnya jadi S.S. Kalau fakultas ilmu sosial budaya seperti sahabat saya itu, jadinya S.Hum). 

Semester genap 2015, saya mulai kuliah. Sastra Inggris di Universitas Terbuka Palembang.  
Long story short, akhir 2019 selesai juga. Meski target cumlaude gagal dengan sukses karena pakai drama kecelakaan hebat yang bikin cedera kepala dan terpaksa cuti. Belum lagi perkara mental illness yang sungguh menghabiskan energi. 

Akhir minggu lalu, saya di-japri Ce Ria, teman seangkatan yang lulus duluan karena dia nggak pakai cuti. Disuruh ngecek daftar lulusan periode ini yang baru diumumkan website kampus. 

Di antara nyaris 1000 nama lintas prodi, nama saya ada. 

Heny Niagara

Yang sekarang nambah S.S di belakangnya. 

Mix feeling banget ini. Kaya yang..., ada sedikit malu dan minder karena teman-teman seangkatan wisudanya udah S2 atau malah ada yang S3. Tapi juga seneng dan bangga, meski jelas euforia berbeda dengan kalau misalnya saya kuliah "normal". Senang dan bangga, haru juga mungkin ... bukan sama gelarnya, tapi lebih ke ingat semua proses dan perjalanan panjang melewatinya. Wow, Ara, kamu hebat! 

Ah, iya. Juga tentang sebuah utang janji pada dua lelaki itu yang akhirnya lunas sudah. 

Satu-satunya penyesalan mungkin ya cuma karena papa yang nggak bisa mendengar langsung kabar gembira ini. Sedih, andai bisa lulus lebih cepat, papa masih bisa mendengar saya yang berterima kasih langsung. Bahwa berkat doa dan restunya jugalah saya benar-benar bisa selesaikan kuliah pakai uang sendiri. 

Tapi ya sudah lah, sekali lagi saya mau bilang : Hidup memang sebrengsek itu. Pffftt, sudah kebal ini kaya'nya. 

"Pa, terima kasih untuk semuanya. Juga maaf, untuk segalanya. Satu yang pasti sekarang, Anak gadismu ini betul-betul bukan si bungsu manja yang dulu lagi, kan?"


Dan terima kasih juga, untuk Mas Cep, sahabat terbaik yang pernah dan akan selalu saya miliki. Dukungannya yang ga pernah habis, doa-doa paling tulusnya... bahkan sampai sekarang ketika hidup kami sudah nggak sama lagi. 

Sebetulnya, saya nggak tahu sih dia masih ingat soal utang-piutang itu apa nggak. Habis dia itu tipe orang yang mudah lupa hal-hal sepele (Iya, duit buat dia benar-benar termasuk hal sepele di masa itu. Kami bukan cuma terbiasa saling ngutang, tapi juga biasa foya-foya menghabiskan gaji bersama 😂 seperti berburu durian sampai mabok atau khilaf di gramedia) 

Tapi saya  jelas nggak akan lupa. Meski nominalnya persisnya saya sudah nggak ingat lagi. Pfffttt... Dasar. Tapi kisaran Rp 2 juta sih, kalau tidak salah. 

"Ndunk..., kalau kau baco ini, lunas utang ambo yo...!!! "

8 tahun sudah saya menanggung beban utang pada sahabat saya ini, akhirnya terbebas juga. Legaaaaa... luar biasa. Kalau bukan berkat pertolongan Tuhan dan orang-orang terkasih, mungkin ya nggak bakal selesai juga. 

***

Dari sebuah catatan harian tidak penting ini, saya merasa perlu berbagi beberapa hal sama siapapun yang mau baca :

1. Sama sekali bukan kiamat kalau fase hidupmu berbeda dari mayoritas orang kebanyakan. Saat terlambat atau pun terlalu cepat saat menjalani satu fase kehidupan, kadang malah membuatmu semakin "kaya"  dan "berwarna" 

2. Nggak ada kata terlambat untuk pendidikan. Belajar, mencari ilmu itu baru berakhir nanti kalau sudah di Liang lahat. 

3. Hidup itu brengsek. Tapi Tuhan selalu baik 😊



Salam dari Tepian Musi. 

Kado wisuda dari Ossas buat Mommy :
Anakan Kadal



Nb. 
Berhubung lagi 
gempar corona ini, Mommy Ossas 
nggak tahu bakal wisuda apa nggak. Jadi yang mau ngasih kado, bisa langsung japri saja ya 😂😂

Btw, Mommy Ossas lagi 
nggak sabar nunggu 
Ibu Ratu membayar nazar. Hahaha... Sejuta tahun lalu, 
beliau sempat 
bernazar bakal 
bla bla bla bla 
kalau semua
 anaknya sudah sarjana. 

Apa nazarnya? 
Nanti diupdate kalau sudah ditunaikan. 










.





"




39

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...