Menu

Jejak Buku Bajakan di Palembang

Palembang yang memutih sebulan terakhir, mengingatkan saya saat pertama kali menginjak kota ini 4 tahun lalu. Pada 2015 saya pindah ke kota pempek ini tepat saat bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menyerang. Benar-benar kesan pertama yang tidak mengenakkan karena langsung disambut sesak napas, mata pedih, dan batuk-batuk oleh kabut asap.

Saat itu saya tetap jatuh cinta pada kota ini. Terutama oleh pemandangan lapak-lapak buku di ruas jalan di seputaran Masjid Agung dan kawasan pasar. Pemandangan yang tidak pernah saya temukan di Bengkulu, kota saya sebelumnya yang jumlah toko bukunya saja bisa dihitung dengan jari. Ya memang tidak bisa disamakan. Bengkulu kota kecil, Palembang sudah metropolitan.

Saya di salah satu lapak buku di ruas jalan seputar Masjid Agung  (foto : Arista Devi)

Kala itu saya bersama seorang teman menembus kabut asap menyusuri lapak-lapak tersebut satu per satu. Buku-bukunya sangat beragam dan harganya murah. Semula saya pikir buku-buku tersebut bekas. Mayoritas memang iya, tapi banyak juga yang masih baru, lengkap dengan plastik pembungkus yang masih rapi.

Saya bahkan kaget melihat Da Vinci Code-nya Dan Brown terbitan Bentang Pustaka (Mizan Group) dihargai Rp15.000, padahal masih bersegel. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelinya karena buku saya yang lama sudah rusak kena banjir. Sampai di rumah saya kecewa karena bukunya bajakan!

Saya heran, kenapa tidak kepikiran buku yang saya beli itu bajakan, ya? Padahal, dilihat dari harga saja sudah "mencurigakan". Tapi itu jadi titik balik saya untuk mulai aware dengan keaslian buku. Saya juga jadi jarang beli buku di sana lagi. Kapok, sih tidak, sesekali masih menelusuri lapak untuk mencari buku-buku lama. Cuma jadi ekstra hati-hati agar jangan sampai terjebak buku bajakan lagi.

Sejak saat itu destinasi belanja buku kembali ke kebiasaan semula: toko buku. Saya berbahagia karena toko buku di Palembang banyak. Selain toko buku besar dan resmi yang umumnya ada di pusat perbelanjaan, toko buku kecil-kecil juga tersebar hampir di setiap sudut Kota.

Sejauh ini, saya belum pernah menemukan buku bajakan di toko buku besar. Namun, di toko buku kecil masih  ditemukan buku bajakan. Jenisnya memang bukan novel-novel laris atau buku-buku populer, melainkan pelbagai jenis kamus.

Tahu dari mana kalau bajakan? Dari kualitasnya. Jilid yang tidak rapi dan mudah lepas, kertas yang tipis-buram-mudah sobek, juga hasil cetakannya yang persis fotokopian dengan bercak hitam di sana-sini.

Buku Bajakan di Perpustakaan


Sekilas semua tampak asli
Sebagai orang yang suka sakaw kalau tidak membaca, perpustakaan jelas menjadi tempat favorit. Terutama kalau musim kemarau melanda dompet. Tempat adem, nyaman, dan koleksi bukunya jelas lebih banyak dari rak buku sendiri.  Sayang, kenyamanan itu rupanya harus terusik kala mendapati buku bajakan di antara koleksinya. Dan itu terjadi sebulan lalu saat saya dan Bimo, teman sekaligus blogger mau hunting foto untuk ikut sebuah kontes.

Saya dan Bimo berkunjung ke salah satu perpustakaan di Kota Palembang. Saat memilih buku untuk dijadikan properti foto, tanpa sengaja kami menemukan Intelegensi Embun Pagi (IEP), buku terakhir seri Supernova karya Dee Lestari yang tampak "kesepian" karena letaknya terpisah dari 5 seri sebelumnya.

Ada dua buku IEP dalam rak. Saya mengambil salah satunya dan mengernyit  heran. Kok berbeda ya dengan IEP yang biasa saya baca di kosan?

Bimo yang kebetulan juga sesama aDeection alias penggemar Ibu Suri Dee spontan merebut IEP dari tangan saya. Wajahnya semringah karena jumpa buku favoritnya dan mulai membuka halaman demi halaman dengan antusias. Namun sesaat saja, ekspresinya berubah masam.

"Yah, bajakan ini, Raa...," keluhnya seperti orang patah hati.

Saya menggeleng tak percaya. Tak mau percaya lebih tepatnya. Meski sudah merasa aneh sejak menyentuh buku itu pertama kali, saya tidak ingin berprasangka macam-macam. Buku bajakan di perpustakaan? Yang benar saja!

Tapi Bimo benar. Saya ingat betul kalau tulisan dan gambar di sampul IEP asli dicetak dengan huruf timbul dan menghasilkan efek kilau berpendar warna jika terkena cahaya. Hal itu tidak ditemukan di IEP koleksi perpustakaan yang cetakannya tampak begitu biasa.
Perbandingan sampul depan kedua versi

Makin diperhatikan, ciri-ciri buku bajakan makin kentara. Pertama dari bobotnya, buku tersebut jauh lebih ringan dari buku asli. Lalu kualitas kertasnya yang sangat buruk karena tipis dan tampak keruh. Untuk hasil cetak halaman dalam, sebagian besar cukup bersih dan sekilas tidak jauh berbeda dengan versi asli. Namun, di halaman-halaman terakhir, tepatnya di halaman yang memuat profil dan buku-buku karya Dee yang lain, tampak sangat buram (lihat gambar).
Perbandingan halaman dalam kedua versi
Saya mengambil IEP kedua dari rak yang rupanya sama saja. Sama-sama bajakan! Lalu mulailah saya dan Bimo berspekulasi, sibuk mengira-ngira sendiri bagaimana jalannya buku bajakan bisa sampai ke perpustakaan. Oh, apa pun itu, semoga hanya wujud kelalaian atau ketidaktahuan pihak perpustakaan semata, bukan kesengajaan.

Selasa (22/10) kemarin, secara khusus saya kembali ke perpustakaan tersebut. Dan sampai artikel ini diterbitkan, buku bajakan itu masih ada di sana, di raknya semula.

(Puk-puk Ibu Suri dan Bentang Pustaka ( Mizan Group) turut berduka cita ya ... :'( )

Buku Bajakan, Lebih dari Sekadar Memprihatinkan

Apa yang saya kisahkan di atas, tentu ibarat seiris timun di cuka pempek dibanding dengan fenomena buku bajakan di negeri ini. Masih ditemukannya buku bajakan bahkan di tempat “terhormat” macam perpustakaan, tentunya sebuah fakta yang sangat miris. Tidak terbayang berapa eksemplar  buku bajakan yang sudah tersebar selama ini. Dan itu bisa di mana saja dan diedarkan oleh siapa saja.

Ini kita masih bicara buku fisik, belum yang digital alias e-book. Dan saya tahu itu tidak lebih baik kondisinya. Saya punya kenalan penulis, dia pernah curhat sambil menangis karena menemukan bukunya yang masih dalam masa preorder (PO), sudah diobral versi e-booknya oleh sebuah oknum akun Instagram dengan harga Rp1000.

Belum lagi kalau bicara soal buku repro yang beredar luas di toko buku online. Dalam sebuah situs marketplace lokal, saya banyak menemukan penjual buku repro. Adapun repro sebetulnya sama saja dengan bajakan, namun dalam versi lebih keren. Adapula penjual yang sengaja mengecoh pembeli yang kurang mengerti dan mengatakan buku tersebut adalah ORI.

Salah satu penjual buku repro di sebuah marketplace lokal (dok. tangkapan layar pribadi)

Dalam hal ini, kontrol  dari market place sangat lemah. Yang lebih  ironis, penjual buku tersebut  malah termasuk penjual yang dapat bintang dari pengelola marketplace.

Nah, kalau diukur pakai parameter model Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), pembajakan buku di Indonesia pasti sudah seperti Palembang dengan kabut asapnya sebulan terakhir. Bukan saja tidak sehat alias memprihatinkan, melainkan sudah di level BERBAHAYA.

Saya tidak punya data soal pembajakan buku di Indonesia. Namun, merujuk pada berita kompas (2012), jumlah terbitan buku di Indonesia tiap tahunnya tidak sampai 18 ribu judul. Angka ini tergolong rendah karena negara lain seperti Jepang mampu menerbitkan sekitar 40 ribu, India 60 ribu, dan Cina 140 ribu. Jumlah terbitan buku kita sama dengan Malaysia dan Vietnam, namun kalau dilihat dari jumlah penduduknya, tentu saja produksi kita masih sangat rendah.

Tidak perlu penelitian macam-macam untuk mencari tahu penyebabnya. Otak orang paling awam sekalipun pasti juga paham kalau pembajakan buku ikut andil.

Memangnya penerbit mana yang bisa terus produksi kalau cuma dapat rugi? Penulis mana juga yang bisa tahan kalau tahu hasil kerja kerasnya yang sampai berdarah-darah itu ujung-ujungnya cuma dibajak? Sudahlah royalti kecil, masih dipotong pajak, bukunya dibajak pula.

Lalu, toko buku dan penyalur resmi mana yang tidak gulung tikar kalau jualan mereka tak laku karena kalah bersaing harga dengan buku bajakan yang murah meriah itu?

Buku bajakan mematikan industri buku. Jika terus dibiarkan, bisa-bisa terjadi kiamat di dunia literasi kita. Kalau sudah begitu, sama saja kita berjalan mundur dari peradaban.

Yang Bisa Kita Lakukan


Tidak bisa dimungkiri, masalah buku bajakan adalah perkara komplek yang melibatkan banyak pihak. Perlu kerja sama dan konsistensi dari semua pihak untuk memeranginya.

Yang pertama tentunya dari kita, masyarakat selaku konsumen buku. Ayo, tumbuhkan kesadaran dari diri kita sendiri kalau pembajakan itu dosa besar, dan kita akan terlibat dosa juga kalau sampai membelinya.

Memang, jiwa sobat misqueen kita sangat tertolong dengan adanya buku bajakan. Tapi, apa kita tidak jauh lebih rugi kalau gara-gara ini penulis kita kemudian kapok menulis, penerbit favorit kita bangkrut, toko buku kesayangan kita tutup (ini sudah mulai terjadi di Palembang), dan kita tidak bisa lagi baca buku.

Jika masih ada yang membeli, maka pembajakan akan terus terjadi. Lingkaran setan. Jadi mari  kita sama-sama putus salah satu mata rantainya dengan berhenti membeli buku bajakan. Toh kalau buku asli mahal masih bisa menabung, nunggu diskon, atau urunan sama teman. Bahkan kalaupun betul-betul tidak mampu beli, masih bisa pinjam teman atau di perpustakaan, kan? Banyak jalan biar tetap bisa baca buku tanpa harus beli bajakan.

Kedua, bertobatlah wahai pembajak! Tidaklah jadi berkah penghasilanmu kalau didapat dari kesengsaraan orang lain. Bila kalian baca tulisan ini, tapi masih nekat membajak, saya kutuk kalian enggak bisa kentut 7 hari! (Hey, ini serius!!!)

Ketiga, untuk penjual buku baik distributor dan pemilik toko, berhentilah menyalurkan buku bajakan. Terlebih kalau sampai menipu pembeli dengan mengatakan buku tersebut asli.

Untuk penulis dan penerbit,  tolong, jangan pernah bosan mengedukasi masyarakat soal ini. Karena seperti yang sempat saya singgung di awal tulisan di atas, ada orang-orang seperti saya yang sebenarnya tidak berniat membeli buku bajakan, namun berakhir membeli juga karena tertipu dan kesulitan mengidentifikasi. Edukasi terus di berbagai kesempatan. Baik saat live event, sosial media, atau kalau perlu di setiap buku yang terbit ada halaman khusus ada peringatan atau info  bagaimana membedakan buku asli dan bajakan (misalnya). Oh, bisa juga seperti yang Mizan lakukan sekarang dengan mengadakan blog dan vlog competition anti pembajakan.

Terakhir, buat aparat dan pihak-pihak berwenang, mohon lebih diperketat lagi penegakan hukumnya. Undang-undang kita sudah ada yang mengatur soal ini dan sepertinya memang sudah berjalan, dengan diadakannya razia contohnya. Hanya saja langkah tersebut masih belum menimbulkan efek jera, para pembajak masih sangat leluasa menjalankan aksinya. Semoga ke depannya bisa lebih tegas lagi.

Jika kita mau ambil bagian untuk memerangi pembajakan buku, saya yakin dunia literasi kita masih punya harapan dan masa depan.

Stop pembajakan mulai dari sekarang!


***

Salam dari Tepian Musi.

Tepian Musi yang masih berkabut
(foto : dok WAG Kompal)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Mizan Anti Pembajakan, persembahan Mizan.com dan Mizan Store.

15


Catatan Mommy Ossas
sepulang kelas literasi digital
Sisternet Palembang dan Blogger
Crony Community.

Kapan Anak Boleh Punya Gadget Sendiri?

***


Ossas dan Ling Ling belum saya kasih gadget sendiri. Selain karena berbulu, bertaring, dan kakinya empat, mereka sepertinya sudah cukup puas  saya putarkan video Cat Games di YouTube seminggu sekali.


Ling Ling main gadget


Meski begitu, sama seperti semua ibu zaman now, saya juga kepo maksimal dengan jawaban pertanyaan yang jadi judul postingan ini. Selain bermanfaat untuk anak-anak didik saya di sekolah, bisa sekalian sebagai persiapan kalau nanti punya anak sendiri.

Beruntung banget bisa ikutan kelas literasi digital bareng persembahan XL Axiata melalui program Sisternet Palembang yang bekerja sama dengan Blogger Crony Community Sabtu (14/9) lalu di Loggo House Palembang.

Kelas ini benar-benar mengupas tuntas soal anak dan gadget dengan menghadirkan Tsurayya Syarif Zain, SPd.I, S.Psi, MA selaku pembicara. Nah, narasumber yang biasa disapa Mbak Aya ini adalah dosen Psikologi, konselor, sekaligus Praktisi Pendidikan & Parenting.

Mbak Aya



Melarang Penggunaan Gadget Tak Lagi Relevan


Tak bisa dipungkiri, gadget sudah jadi bagian kehidupan masa kini. Melarang menggunakan gadget sama saja mundur dari peradaban.

Mbak Aya mengungkapkan, gadget atau gawai di masa sekarang ibarat sebilah pisau. Satu sisi memang bisa berbahaya --terutama bagi anak di bawah umur--, namun juga banyak sisi positifnya yang bermanfaat, seperti :

• media pembelajaran yang efektif
• membuka peluang bergabung dengan komunitas yang positif
• pengayaan kompetensi dan kreativitas


Namun tentu saja kita tidak serta merta menutup mata akan dampak negatifnya. Sebut saja kemungkinan terpapar pornografi, kecanduan, berkurangnya fungsi motorik tubuh, hingga terganggunya zona privasi.

Dalam hal ini, khusus anak di bawah umur, penggunaan gadget memang harus tetap didampingi oleh orang tua. Jangan sampai berlebihan, apalagi mengakibatkan kecanduan.

Orang tua perlu memperkenalkan bentuk kesenangan lain di luar gadget, agar anak tidak terus menerus terfokus pada gadget. Sekalipun digunakan untuk hal-hal positif, segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik. Keseimbangan dalam hidup adalah mutlak demi kesehatan fisik dan mental anak.





Kapan Anak Boleh Punya Gadget Sendiri?

Sampai akhir acara, tidak ada jawaban pasti yang saya peroleh atas pertanyaan ini. Masing-masing dikembalikan lagi pada kebijakan orang tua dan keluarga masing-masing.

Meski demikian, ada rambu-rambu yang mungkin bisa membantu para orang tua mencari waktu terbaik untuk membolehkan anak memiliki gadget sendiri, yakni :

1. Pembatasan

Meski anak boleh-boleh saja dikenalkan pada gadget sedini mungkin (sekali lagi, karena memang sudah zamannya demikian), pembatasan adalah sebuah keharusan. Batasi waktu anak dalam menggunakan gadget sesuai umurnya. Jika anak sudah bisa diskusi, ajak dia menentukan durasi dan waktu yang disepakati. Misal satu jam di akhir pekan.

Dalam hal ini, pastikan Anda konsisten dalam menerapkan aturan. Jangan lupa diskusikan juga konsekuensi yang didapat jika melanggar.

2. Pengawasan

Menurut undang-undang, seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak. Artinya, orang tua masih bertanggung jawab penuh, dalam hal ini termasuk melakukan pengawasan dalam setiap aspek kehidupannya. Termasuk gadget yang dia “miliki”.

Untuk anak-anak yang masih kecil, pengawasan mungkin bukan masalah besar. Namun untuk anak yang lebih besar (remaja), hal ini seringkali menjadi dilematis karena anak sudah mengerti apa itu privasi. Orang tua tidak bisa seenak udel “merazia” ponsel anaknya sekalipun berhak, karena akan melukai perasaan anak.

Dalam hal ini, maka belajarlah menjadi tipe orang tua yang tegas sekaligus bisa diajak diskusi. Dengan demikian, anak terbiasa terbuka dan komunikatif terhadap orang tuanya. Pola asuh otoriter dan permisif tidak lagi sesuai dalam menghadapi anak zaman now.




3. Perhatikan Kematangan Emosional Anak

Banyaknya umur atau besarnya fisik bukan jaminan anak matang secara psikis dan emosional. Dalam hal ini, memang hanya orang tua sendirilah yang bisa menilai seberapa matang anak-anaknya.

Gadget dan ketidakmatangan emosional seseorang sama sekali bukan kombinasi yang baik. Kita tentunya sepakat, gadget --terutama jika sudah terhubung dengan internet bisa menjadi sangat berbahaya. Cyberbullying, pornografi, pelanggaran privasi, dan sederet kejahatan serta hal negatif lainnya bisa ditemukan dalam genggaman.

Pastikan anak sudah matang secara emosional sebelum memiliki gadgetnya sendiri.

Calon ibu terbaik masa depan 😹


Berdasarkan 3 rambu di atas, saya memutuskan untuk memberi anak saya nanti gadget sendiri jika dia terbukti :

  1. Bertanggung jawab atas dirinya sendiri, salah satunya dengan mampu mengikuti jam batasan yang selama ini diterapkan

  1. Memiliki hidup berkualitas, dalam hal ini mampu menikmati waktu dan kehidupannya di luar gadget, dan seimbang pula antara dunia dan akhirat)
  2. Bisa membangun komunikasi yang terbuka dan dilandasi kepercayaan terhadap orang tuanya. Sehingga jika menemui hal-hal yang tidak diinginkan, dia sudah terbiasa bercerita
  3. Matang secara emosional. Dia masih ngamuk kalau nggak dikasih ponsel? Masih maksa harus dibelikan smartphone tipe ini atau itu? BIG NO! Dia harus mampu mengontrol dirinya sendiri sebelum diberi kepercayaan penuh pada gadget.
  4. Nilai plus jika dia mampu memanfaatkan gadget untuk menaikkan nilai dirinya (mengasah bakat seni, belajar bahasa, berbisnis, mencari uang, dll).

Jika anak belum memenuhi standar saya ini, maka saya hanya sebatas mengenalkan atau memberinya kesempatan untuk menggunakan, namun tidak untuk memilikinya sendiri.


Terima Kasih Sisternet dan Blogger Crony Community

Terus terang, saya baru tahu tentang Sisternet itu setelah datang ke acara ini. Jadi, Sisternet itu adalah program bentukan XL Axiata yang bertujuan memberikan edukasi, khususnya literasi digital kepada kaum perempuan. Secara, kaum hawa ini lebih senang belajar bersama kaum sendiri.


Mbak Astri




Ferdinand Oktavian  selaku Head of Sales XL Axiata Greater Palembang didampingi Astri Mertiana selaku Sisternet Partnership Management XL Axiata mengatakan, sejak diluncurkan 4 tahun lalu atau pada tahun 2015, Program Sisternet telah menjadi pelopor dalam memprakarsai solusi untuk berbagai masalah sosial yang sering dihadapi oleh wanita, termasuk para ibu.


“Diperlukan pengetahuan, pemahaman dan keahlian  untuk melakukan pengawasan. Parenting Festival seperti ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi orang tua untuk memahami pentingnya adaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini,” kata Astri.

Agenda ini juga jadi ajang ngumpul para blogger Palembang sekaligus meet perdana saya dengan Mbak Wawa alias Wardah Fajri, yakni Owner Digital Kreativ Hub & Pendiri Bloggercrony Community.

Sayang waktu beliau di Palembang mepet banget, jadi nggak sempat ngobrol banyak. Well, tetap thank you banget lho, Mbak, sudah diundang ke acara kece macem ini. Ilmunya dapet, fun-nya dapet … masih dapet bonus hadiah Tumblr dan pulsa XL pula karena menang kuis 😉

Foto bersama pemenang kuis (foto : Bimo Rafandha)


Sampai jumpa lagi lain waktu.















0

Pucuk Coolinary Festival Palembang

Temukan Rasa Favoritmu !


Bersama teman Internasional di Pucuk Coolinary Festival



Berhubung Palembang nggak punya pantai atau gunung, masyarakatnya menjadikan kuliner sebagai pelampiasan kalau mau rekreasi. Nggak heran kalau kota tua ini kemudian menyimpan potensi kekayaan kuliner dengan cita rasa unik yang diciptakan sendiri oleh warganya yang multietnis.

Atas dasar inilah, PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group) selaku produsen Teh Pucuk Harum, minuman teh kemasan lokal menggelar sebuah festival kuliner terbesar bertajuk #PucukCoolinaryFestival. Informasi ini saya dapatkan saat menghadiri Media Gathering di Hotel Harper Palembang pada Kamis (5/9) lalu. Kebetulan saya dan rekan-rekan blogger juga turut diundang.



Selain bisa intip-intip persiapan apa saja yang sudah mereka lakukan, ada diskusi bareng dengan pemateri dari  Pak Kitto Kristanto selaku Junior Brand Manager Teh Pucuk Harum dan Mbak Dina Oktaviany selaku foodies yang punya akun kuliner di Palembang yaitu makanpakereceh.plg. Oh, ada juga mini kontes makan mie pedas dengan hadiah voucher belanja ratusan ribu.

Jadi Pak Kitto bilang, Palembang ini kota ketiga yang didatangi Pucuk Coolinary Festival setelah sebelumnya sukses digelar di kota Yogyakarta dan Medan. “Kota Palembang kami pilih karena perkembangan usaha kuliner di kota Palembang sedang berkembang pesat. Ini terbukti dengan kian maraknya pelaku usaha kuliner lokal yang muncul, baik kuliner legendaris maupun  yang hits kekinian di kalangan masyarakat,” jelas Kitto.


Mengusung tagline Temukan Rasa  Favoritmu, Pucuk Coolinary Festival diselenggarakan selama 2 hari yakni tanggal 7-8 September di lapangan parkir Palembang Trade Center (PTC) Mall. Ada lebih dari 100 tenant yang ikut serta dan terbagi dalam tiga zona yakni Manis, Pedas, dan Gurih.




Wow. Pasti seru tuh. Kapan lagi coba bisa mencicipi begitu banyak  makanan di satu tempat saja? Mbak Dina dari @makanpakereceh.plg pun sepakat, dia bilang, dengan adanya festival kuliner ini, kita dapat mengetahui dan mencicipi kuliner dengan beragam pilihan rasa yang mungkin belum kita ketahui. “Selain itu, Pucuk Coolinary Festival juga mendorong para UMKM makanan untuk terus berinovasi dalam menyajikan makanan. Bisa membuat masyarakat mengenal lebih dekat apa saja kuliner kebanggaan Palembang yang mungkin selama ini belum diketahui kelezatan Dan keunikannya,” kata Dina

Waduh, benar-benar bikin nggak sabar untuk segera hadir ke festivalnya.


Hari yang ditunggu itu akhirnya tiba …

Pengguntingan pita : Pucuk Coolinary Festival resmi dibuka


Yuhuu, weekend juga akhirnya. Sabtu (7/9), saya bersama teman-teman dari Blogger Palembang sudah tiba di TKP sejak pagi. Kemeriahan langsung berasa dengan area festival terbuka yang didominasi warna merah, padahal acara belum dimulai karena masih mau menunggu sejumlah pejabat yang akan membuka festival secara resmi.

Baru sekira pukul 10 acara dimulai, dengan sederet agenda ceremonial seperti kata sambutan, pengguntingan pita, dan penekanan bel sirine pertanda Festival resmi dibuka. Hadir dalam agenda tersebut kepala Dinas Perindustrian Provinsi Sumatera Selatan, Ir. Hj. Ernila Rizar, MM mewakili Gubernur Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang, H. Isnaini Madani, dan National Sales & Promotion Head PT. Mayora Indah Tbk., Henry David Kalangie.

Henry David Kalangie memberikan kata sambutan


Saya sendiri sudah tidak sabar menjelajah area festival. Diawali dengan gerbang utama, sejauh mata memandang cuma terlihat stand-stand makanan di kiri dan kanan lorong. Aroma lezat yang tercium mulai menerbitkan liur.

Terus terang saya bingung mau pilih mencicip makanan yang mana. Ya, saking banyaknya. Lagipula, kapasitas perut dan kantong saya kan terbatas. Untunglah, pembagian zona rasa yang ada sangat membantu. Tinggal pilih di zona gurih dan manis karena sudah pasti sesuai selera. Sementara zona pedas, mungkin bakal dilirik saja. Saya kurang bisa makan pedas soalnya. Eh, tapi belum tentu ding. Siapa tahu justru lebih berselera.



Seperti namanya, di zona gurih terdapat stand-stand makanan bercita rasa gurih. Makanan khas Palembang seperti pempek, pindang, dan mie celor ada di sini. Ada pula cilok, soto, onigiri, pizza dan sederet makanan lainnya. Saya sendiri akhirnya pilih Tahu petis dan kepiting crispy.

Di zona manis, pilihan makanan didominasi snack dan minuman. Kue-kue, cake, dan aneka es menunggu dicicipi. Ada pula yang jual buah dan salad.


Sementara di zona pedas didominasi makanan “berat”.  Nasi, bakso, mie ayam diantaranya. Ada pula snack-snack yang tentunya pedas dan rujak buah.

Semua makanan itu, kalau beli pake dompet digital DANA, bisa dapat cash back 50% lho. Hoho, asyik kan? Ga bikin kantong kempes.


Yang seru di festival ini, pengunjung bisa mendapatkan pempek gratis dengan hanya menunjukkan 2 kemasan botol Teh Pucuk Harum. Boleh yang masih ada isinya ataupun sudah kosong. Tidak usah khawatir bakal kehabisan, karena panitia menyiapkannya ga tanggung-tanggung : 10.000 porsi!




Nggak usah bingung juga cari Teh Pucuk Harum-nya. Tinggal beli sama mbak-mbak SPG yang tersebar di sepanjang area, atau beli di Pucuk Harum Centre yang berada tepat di tengah-tengah lokasi festival.

Terus juga nggak melulu soal makanan, di panggung utama juga ada live music sebagai hiburan. Hamparan bean bag yang ada di depan panggung enak buat duduk-duduk, sekadar melepas lelah kalau capek berkeliling. Eh, ada berbagai lomba juga lho kaya lomba makan mie pedas sama intagram photo contest. Dan yang paling heboh tentunya ada undian dengan hadiah utama berupa 2 sepeda motor NMax.



Apa semua keseruan ini cuma berlaku buat pengunjung? Nggak dong, Teh Pucuk Harum juga kasih apresiasi buat para tenant sebagai bagian dari UMKM Indonesia lewat agenda “Pemilihan Tenant Favorit”. Ada hadiah jutaan rupiah buat tenant yang pemenangnya dipilih langsung oleh pengunjung.


Sarana Promosi Kekayaan Kuliner Lokal ke Lidah Internasional




Meski di awal diniatkan sebagai event berskala lokal, namun Pucuk Coolinary Festival Palembang rupanya mampu menarik perhatian orang asing juga lho.

Saya bertemu sejumlah teman dari luar negeri di festival ini. Beberapa di antaranya sudah saya kenal terlebih dahulu seperti Xiao Chen dari Cina dan Dilumi dari Sri Lanka. Namun pada hari kedua festival, Minggu (8/9), mereka mengajak lebih banyak lagi teman-teman mereka yang sama-sama ikut semacam program pertukaran pemuda.

Saya lalu mengenal Janel dari Filipina, Hisyam dari (kalau tidak salah dengar) Aljazair , dan Kho (aduh, bener nggak tulisannya ya?) dari Vietnam. Kesempatan banget tuh mengenalkan kuliner lokal ke mereka.

Kebanyakan sih mereka masih belum berani mencoba yang pedas. Namun untuk yang gurih dan manis, mereka suka lho. Entah berapa banyak makanan yang pindah ke perut selama kami ngobrol malam itu.




Xiao Chen yang baru pertama mencoba cilok (kalau pempek udah sering dia), langsung jatuh hati. Rasa dan baunya mengingatkan dia pada salah satu makanan tradisional di negaranya. Dia juga mengungkapkan kekagumannya pada keberagaman kuliner Indonesia. “Saya tidak pernah tahu ada begitu banyak jenis makanan di Indonesia,” ujarnya dalam Bahasa Inggris.

Sayang, Pucuk Food Coolinary ini cuma dua hari saja. Belum puas rasanya menikmati. Tapi bersyukur banget bisa menjadi bagian keseruannya. Semoga tahun tahun mendatang bisa kembali lagi ya ...

Eh, setelah Palembang, bakal ada Kota lain juga lho yang akan menyusul didatangi Pucuk Food Coolinary. Kalian bisa pantengin terus update-nya di website atau akun medsosnya Teh Pucuk Harum 😉


Teh Pucuk Harum, karena teh terbaik ada di pucuknya.

0



Wew. Judulnya kaya nganu banget ya? 😂

Tapi tenaaang... Isinya bukan ngotbahin orang kok. Demi apa saya nggak punya kompetensi apa-apa untuk itu. Cuma sharing pengalaman hidup kaya biasanya aja kok. Syukur-syukur bisa jadi berkat buat orang lain, kalau nggak ya sudah. Cukup buat jadi pengingat diri sendiri laiknya tugas sebuah catatan harian …

***

Ada satu kegelisahan yang saya sampaikan ke Tuhan. Kenapa sih hidup kaya'nya makin sulit? Tuhan juga kaya hobi banget mengabaikan saya (well, sebenernya saya tahu DIA nggak pernah benar-benar mengabaikan, tapi pokoknya saya merasa diabaikan. Gitu).

Maksudnya, dibanding sama dulu yang setiap doa kaya’ gampang banget dikabulkan. Setiap keinginan yang cuma terpendam dalam hati pun bisa tercapai. Easy!

Pernah lho dulu pas masih SMP cuma 'mbatin pengen banget bisa punya majalah Aneka Yes! tapi nggak punya duit plus ga berani minta ke ortu. Mana kalau beli jauh pula harus ke kota (saya di Bengkulu dulu tinggalnya rada di dusun sih). Sampai doa gini ke Tuhan “Duh Tuhan, yang bekas aja nggak papa deh. Aku cuma pengen baca cerpen-cerpennya.”

Eh, nggak lama pas main ke rumah temennya papa, pulangnya dikasih berdus-dus buku dan majalah. Tentu saja, isinya termasuk puluhan majalah Aneka Yes! Mana edisi lama yang halaman fiksinya lumayan mendominasi ketimbang edisi baru yang saat itu cuma penuh berita artis 😂

Tapi belakangan udah jarang banget ngerasain begitu. Bukan nggak dikabulkan sih, tapi apa ya? Semacam perlu usaha lebih keras  yang kadang sampe bikin capek kalau pengen mendapatkan sesuatu.

Ketika saya pertanyakan ini pada-Nya selama berbulan-bulan, akhirnya dijawab juga. Lewat khotbah seorang pendeta sekian minggu yang lalu.

***

Well, orang Kristen itu diajarkan bahwa Tuhan bukanlah pribadi yang Jauh-Tinggi-Tak Terjangkau. Dia justru sesungguhnya amat dekat dengan hidup manusia, laiknya seorang Ayah sendiri. Makanya sapaan ke Tuhan pun bilangnya “Allah Bapa”, “Bapa di Surga”, atau belakangan yang lebih ngetren di kalangan generasi milenial : “Papi J” alias “Papi Jesus”.


Saat iman kita baru lahir, maka Tuhan akan memperlakukan kita seperti bayi atau anak kecil juga. Ya, perlakuan orang tua ke anak kecil kaya mana sih? Dipeluk-peluk, disayang-sayang, dimanjain, apa kebutuhannya dicukupi, apa permintaannya dituruti… gitu-gitulah. Apalagi kalau misal anaknya  manis dan penurut, ortu makin seneng juga pasti ngasih hadiah macem-macem. Makanya, di fase awal kenal Tuhan … nggak heran dah kalau sukacita terus. Bahagia senantiasa …enak. Doanya dikabulkan mulu (nggak sedikit pula yang instan).

Sedikit ngingetin sama lagu “... Waktu ku kecil, hidupku … amatlah senaang….” 😂

Tapi seperti anak kecil pula, iman itu adalah sesuatu yang hidup. Dia bisa tumbuh dan berkembang. Makin besar si anak, katakanlah di usia remaja …  ortu pun pelan-pelan bakal “melepas”. Biar si anak belajar. Biar si anak mengerti apa itu tanggung jawab. Apa itu konsekuensi.

Apa masih boleh minta macem-macem ke ortu? Ya boleh dong. Ortu bakal masih tetap bertanggung jawab memenuhi kebutuhan si anak. Tapi si anak juga seharusnya udah paham, kalau ada yang namanya kewajiban seiring tanggung jawab yang makin besar. Misal udah disekolahin atau dikuliahin, ya belajarlah yang bener… misal udah dibeliin HP atau laptop, ya dijagalah baik-baik.

Di fase ini, anak juga mulai bisa "berpikir sendiri". Jika tadinya segala hal harus dikasih tahu dan diajarin, di sini mulai ngerti apa yang sebenernya boleh dan nggak boleh dilakukan. Orang tua nggak terlalu mengekang lagi, tapi memberi kebebasan dan kepercayaan pada anak. Namun di sini hubungan antara ortu sama anak akan mulai berasa renggangnya. Si anak sebenarnya tahu kalo ortunya tetap sayang dan nggak pernah mengabaikan, tapi justru si anaklah yang biasanya mulai menjaga jarak karena sibuk dengan dunianya sendiri.

Makin besar dan besar si anak, apalagi kalau udah kerja dan berpenghasilan sendiri … dia akan paham sendiri kalau minta macam-macam ke ortu itu udah nggak pantes lagi. Sebaliknya, dia akan mulai belajar memberi. Dia pengen menyenangkan orang tuanya.

Nah, seseorang dengan iman yang sudah sampai di fase ini biasanya bakal dengan gampang diidentifikasi dengan seberapa banyak (dan ikhlas) dia memberi. Sedekah , misi kemanusiaan ...atau pemberian dalam bentuk apapun yang dilakukan bukan lagi didasari oleh hukum tabur tuai alias “aku memberi karena pengen berkatku dilipatgandakan”, tapi justru lebih ke ungkapan rasa syukur dan terima kasih karena sudah TERLEBIH DAHULU dibaikin dan dipelihara selama ini sama Tuhan.

Di sisi lain, hidup juga pasti bakal makin penuh tantangan. Tanggung jawab makin besar. Masalah yang tadinya cuma sebatas tugas sekolah, mulai kompleks dengan masalah kerjaan atau relasi. Masalah iman yang tadinya mungkin sebatas ujian-ujian kecil, mulai menghadapi pencobaan yang macam-macam dan lebih berat.

Gimana sikapnya ke ortu? Ya tergantung pribadi masing-masing … ada yang cukup bijak dengan terbuka ke ortu jadi bisa dapat support yang dibutuhkan. Sebagian yang lain memilih sok setrong menghadapinya sendiri dengan berbagai alasan kaya “nggak mau membebani ortu,dll”.


Tapi pada akhirnya bakal paham sendiri kok … bahwa sejauh-jauh kita pergi. Kita selalu rindu pulang. Kita tahu cuma ortu yang sayang sama kita tanpa syarat. Gitu pun ke Tuhan … sejauh-jauh kita berusaha menyelesaikan masalah sendiri … pada akhirnya kita bakal cari Tuhan. Cuma Dia yang nerima kita apa adanya … Cuma Dia yang benar-benar bisa diandalkan.

***

Dalam khotbahnya, pendeta yang memberi saya pelajaran ini bertanya pada jemaat …

“Buat kalian yang sudah besar-besar, yang sudah kerja, yang sudah menikah dan berkeluarga … coba tanya ke ayah atau ibumu … apa yang sebenarnya paling diinginkan dari kalian? Apa yang bisa kalian lakukan dan paling menyenangkan buat mereka?”

Jemaat terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Mengira-ngira apa jawabannya.

“Saya yakin, jawabannya adalah waktu. Orang tua sebetulnya nggak butuh kalian kasih macam-macam. Kalian ajak bicara, kalian ajak komunikasi pun sudah senang. Apalagi yang tinggal jauh, sekadar ditelepon dan kalian ngabari tentang hidup kalian pun mereka bakal senang…apalagi kalau kalian sediakan waktu khusus buat nengokin.

Dan… kalian juga pasti sudah ngerti sendiri, bahwa di umur segini kalian nggak pernah perlu lagi minta-minta sama mereka. Kalian paham, orang tua manapun kalau mereka punya… kalau mereka yakin itu adalah yang baik buat kalian, mereka pasti bakal kasih. Nggak perlu kalian mohon mohon minta ini itu sampai nangis darah, kadang cuma bilang 'Pak E, si kecil mau daftar TK ini, bapaknya baru gajian seminggu lagi...bisa minta tolong dulu nggak, Pak?” hari itu juga kalau memang ada pasti ditransfer. Saya jamin itu.


Nah. Jika orang tua di dunia ini saja bisa melakukan hal seperti itu, apalagi Tuhan. Apalagi Bapa kita di Surga … DIA tentu jauh melampaui semua orang tua terbaik di dunia ini. DIA mengenal kita. DIA tahu isi hati kita.

Tapi laiknya orang tua, DIA juga ingin kita mengingat-Nya, menyediakan waktu untuk-Nya di sela apapun kesibukan kita. DIA ingin kita berkomunikasi rutin denganNya. Berapa lama kita menjadi Kristen? Di fase mana keimanan kita saat ini? Model anak seperti apakah kita? Sudahkah hidup kita menyenangkan hati-Nya?”

***

Khotbah itu jujur saja, telah menampar saya. Telak. Saya mungkin sudah lama berhenti berdoa untuk meminta ini-itu. Toh sudah lama tahu kalau pemberian Tuhan itu selalu yang terbaik tanpa harus repot meminta.

Tapi ada suatu hal lain yang menabok saya. Waktu ke dusun Ibu Ratu, saya tanya ke beliau. Apa yang paling diharapkan dari anak-anaknya yang sudah besar? Dan jawabannya persis sama : waktu.

Hadeehhh, waktu untuk orang tua di dunia saja sepertinya sangat minim, apalagi untuk Tuhan. Pun kalau sempat berkomunikasi, jarang sekali dari hati ke hati. Kebanyakan isinya cuma mengeluh atau komplain ini itu. Jarang sekali bersyukurnya. Jarang sekali berterima kasihya. Parahnya lagi, kadang komunikasi ke Tuhan juga cuma berasa sebagai rutinitas belaka. Belum lagi tanggung jawab dalam iman yang masih belum mampu dijalankan sepenuhnya… jauuuhh … masih jauuuhh….


Lha kaya gitu kok berani-beraninya ngedumel dan bilang hidup diabaikan Tuhan. Yang ada elu kali yang mengabaikan Tuhan, Araaaaa …!!!

Mbok tobat toh, Nduk!!


"Iman yang dewasa itu seperti anak yang sudah berkeluarga. Bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan orang-orang yang dikasihinya ... Tak lagi banyak meminta --apalagi menuntut-- untuk dibahagiakan orang tua, tapi juga tak menutup akses komunikasi pada mereka. Sebaliknya, dia justru akan lebih berhasrat mengasihi orang tuanya ... semakin rindu untuk bertemu... Semakin sering menelpon ...meski hanya sekadar berkabar atau meminta nasehat bijak menjalani kehidupan."


0

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...