Menu
Tampilkan postingan dengan label blogger Palembang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label blogger Palembang. Tampilkan semua postingan


Catatan Mommy Ossas kencan bareng Nugisuke, owner thetravelearn di Palembang (Bagian pertama )

#RagiStory : Our First Date


"Aku ingin lebih banyak mencintai. Lebih, lebih, dan lebih lagi. Sampai nggak punya waktu lagi untuk membenci." Arako (2020)

Buat yang mantengin akun sosmed saya, pasti udah tahulah ya kalau saya ini lagi kasmaran berat sama Matius Teguh Nugroho alias Mas Nug alias Nugisuke . Kesan lebay saking berbunga-bunganya itu jelas banget pasti. Haha, iyaaa ..., saya sendiri kadang berasa enek juga kok lihat diri yang begini ini :D  Bucin banget, asli! 

Tapi untuk saya yang butuh waktu 7 tahun lebih untuk move on dari mantan yang ituuuuu (ditambah drama perjalanan panjang berdamai dengan banyak luka plus kepahitan masa lalu), mendapati fakta masih bisa dimampukan mencintai kembali di usia nyaris kepala 3 adalah sesuatu yang --menurut saya-- memang patut dirayakan. Toh, nggak melanggar hukum ini, kan? 😹

Dan, berhubung saya ini random blogger yang nggak peduli niche kaya Mas Nug, saya sama sekali nggak merasa rugi kok menuliskan our love story di blog. Kali aja bisa naikin viewers dengan memanfaatkan popularitas pacar 😹😹😹

Well, cerita saya dan mas ini, sama kaya curhatan di facebook, bakal diposting underlabel "#RagiStory". 

Semoga cerita kami ini bisa lanjut terus sampai maut memisahkan. Amin. Amin. Amin.


Sebelum ketemuan ...

Saya dan Nugi, si mas mas Jogja yang stay di Bandung itu udah dekat dan (katakanlah) jadian sejak akhir tahun lalu, sebetulnya. Tapi mengingat saya punya 2 sohib cowok yang ngejagain banget biar otak ini tetap mampu berlogika meski dimabuk cinta, saya tegaskan ke Mas Nugi kalau nggak ada komitmen apapun sebelum ketemuan. Yah, takutnya kan deket di dunia maya, tapi kecewa Dan iilfil di dunia nyata. Maklum lah, hari gini gitu lho, kamera dan filter HP lebih banyak jahatnya. 

Janjinya 3-6 Bulan 😝


Untung Mas ngerti. Jadi jelang natal kemarin dia bilang bakal segera nemuin saya di Palembang dalam kurun waktu 3-6 bulan ke depan. Eh, ndelalah kok belum juga sampai sebulan dia udah muncul. Inikah yang dinamakan the power of love? #tsaaaahhhh 

Kepastian dia bakal datang ke Palembang itu saya terima tepat 10 hari sebelumnya. Tahu? Momen countdown 10 hari itu rasanya kek sejuta tahun. Berasa jauh, jauuuuuhhh lebih lama ketimbang nunggu ikhlas move on selama nyaris 8 tahun 😝😝😝  sungguh menghabiskan seluruh stok kesabaran saya.

Oh iya, mana pakai drama ramalan cuaca yang bilang bakal ada badai petir selama 2 hari Mas di Palembang pula. Ya ampun ... Sudahlah … tinggal berserah saja lagi pada Sang Pemilik Segala Tetes Air Hujan. Saya benar-benar pasrah kalau first date kami bakal dikacaukan cuaca buruk.

Lalu ketika tanggal 18 Januari yang lama ditunggu itu pun akhirnya tiba ...


Asrama Haji LRT Station, I'm In Love


Stasiun asrama haji, tempat menyatukan dua
hati 😝😝😝 (foto : nugisuke)

Mas Nug landing di Sultan Mahmud Badaruddin cukup pagi sebetulnya. 6.50 WIB. Tapi baru dapat kereta yang nyaris jam 8 pagi. Saya sih santai. Stasiun LRT-nya toh ga sampe 10 menit dari kosan. Modal helm hitam pinjem tetangga dan Akashi yang terlihat agak ganteng sedikit karena habis dicuci dan ganti oli kemarin sorenya, saya meluncur ke stasiun Asrama Haji. 

Ga perlu nunggu lama, kereta yang membawa kesayangan saya itu akhirnya tiba. Saya yang di kursi ruang tunggu melihat Mas pertama kali ketika dia melangkah menuju palang pintu keluar. Saya lalu beranjak mendekatinya. Melangkah setenang mungkin, namun mantap ke arahnya. (Hadeeehhh, padahal hati ini udah pengen teriak-teriak nggak keruan 😹😹)

Saya ngeliatin wajah mas, menaksir-naksir ekspresi dan emosi apa yang terpeta di sana. Tapi belum sempat semua analisis itu diterjemahkan otak, tahu-tahu kami sudah berpelukan. Begitu saja. Entah siapa yang memulai.

Nggak ada tuh adegan dramatis kaya' di film-film atau drama Korea. Hahaha… Dan seingat saya, kami bahkan juga nggak ngomong apa-apa. Seperti sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri.

Well, ada tiga hal yang bikin otak sibuk di momen kami pelukan itu. Pertama, wangi tubuh Mas itu enak banget. Perpaduan sempurna wangi sebuah produk deodoran dan bau keringat cowok belum mandi, yang entah kenapa jadi sangat menggoda sekaligus bikin nyaman. 

Kedua, baru nyadar postur tubuh Mas itu ternyata nggak terlalu tinggi untuk standar cowok (sedikit berbeda dengan yang selama ini saya bayangkan kalau mantengin feed IG dia), tapi baik bentuknya, ukurannya, lekuk-lekuknya (apa sih ini :D)  kok bisa pas banget sih di badan saya. Maksud saya, kok berasa enak banget gitu meluknya. Kan ada lho orang-orang yang susah atau nggak enak dipeluk karena dia ketinggian atau terlalu besar (atau sebaliknya, terlalu kecil) lingkar tubuhnya. Nah, Mas ini klik banget sama badan saya. Paaaassss banget.

Ketiga, ya ampun … Mas ternyata manusia beneran. 

Di saat berbarengan, Mas terus bilang "Tuh kan, I'm real, Ra. Bukan cuma khayalanmu aja …" 

Saya yang bingung mau ngomong apa, akhirnya malah diambil alih sisi insecure yang bilang, "Mas, say. Are you dissapointed?"

"Absolutely not," sahutnya buru-buru. "Nggak lah … Kan aku udah tahu, kamu memang begini, kan? Kalau kamu lupa, Ra... kita kan juga udah pernah video call lho …"

Saya, seumur hidup sudah banyak melewati berbagai ujian, tes, maupun interview. Tapi belum pernah merasakan kelegaan sebesar itu saat melihat senyum mas yang segitu semringah kala intens menatap saya. 

Is this … love?


Mie Celor dan Standar Keramahan Berbeda

Dari stasiun Asrama Haji, kami bergerak ke pusat kota, ga jauh dari Ampera. Menemui Kak Yayan yang udah nunggu di Mie Celor 26 buat ngajakin sarapan. 

Saya sebetulnya tim nggak suka mie celor. Tapi demi yayang apa sih yang nggak? (Dasar bucin!) Mas yang bawa Akashi, saya nangkring di boncengan. Tahu, rahang saya sampe pegel dan nyaris kram saking cuma pengen senyum di sepanjang perjalanan.

Mie Celor time bareng Omnduut


Sampai sana, kami makan sambil ngobrol. Mas pesan mie celor dan kopi item. Sempet ada momen yang lumayan bikin geli saat mas bilang pelayannya jutek, padahal menurut saya dan kak Yayan biasa saja. 

"Yah, harap maklum, Mas. Di sini orang ngajak makan bareng atau nraktir aja kaya ngajak berantem kok. Jangan disamain sama Jogja atau Bandunglah. Orang Sumatera karakternya cenderung lebih blak-blakan, satu sisi terkesan lebih jutek jadinya memang. Tapi kami ini (bersikap)  ke orang juga bakal jauh lebih tulus dan apa adanya karena memang nggak ada yang ditutupin. So, ga boleh gampang baper kalo di sini, ya?" kata saya menenangkan.

Mas manggut-manggut saja. Mencoba memahami dan beradaptasi dengan standar keramahan yang berbeda.


Kamar Kosan, Our Deep Conversation


Jangan lepasin ya, sayang ...


Mas naik travel tengah malam dari Bandung untuk ngejar penerbangan pagi di Soeta. Awalnya sehabis sarapan, saya berencana ngajakin mas main ke Jakabaring Sport City. Tapi ngeliatin muka mas yang kecapekan dan kurang tidur, jadi khawatir. Mas wajib istirahat dulu pokoknya. Kesehatan dia lebih prioritas.

Tapi mau ke hotel juga belum bisa check in karena masih pagi. Ya sudah, saya ajak mas ke kosan saya yang berupa bedengan. Teman-teman saya sebelumnya udah banyak sih yang sering main, jadi tetangga atau ibu Kos santai saja. Ibu Kos malah ngasih ikan dan ayam goreng begitu tahu mas yang datang.

Mas tidur di kamar saya selama hampir 2 jam sebelum akhirnya saya bangunkan. Yah, sebetulnya saya tahu sih mas masih butuh istirahat lebih lama. Cuma saya nggak betah lihat dia tidur. Habis bosen kan? Mau diapa-apain belum bisa …, eh, belum boleh lebih tepatnya 😹😹😹 (sabar, Raaa… tahun depan sah 😝😝😝)

Di sisi lain, ada hal lebih penting yang perlu kami bicarakan. Topik-topik mahaberat yang ga mungkin dibahas lewat chat, telepon, maupun video call. Dan dimulailah momen emosional saat kami benar-benar "menguliti" diri kami sendiri.

Ngomongin detail masa lalu yang kelam dan berliku, ngomongin masalah hidup masa kini dan nanti, ngomongin yang paling dikhawatirkan dari sebuah komitmen, ngomongin hal yang paling ditakutkan "kalau sampai pasanganku tahu aku aslinya begini", dan bla bla bla lain yang jelas nggak ada manis-manisnya blass untuk disebut kencan perdana. 

Meski beberapa topik sudah pernah dapat spoiler di telepon, membicarakannya secara langsung dengan ekspresi masing-masing kelihatan jelas itu ternyata nggak gampang banget. Ada malu, sakit, takut, bingung, marah, sesal, dan campur aduklah pokoknya. 

Tapi kami sama-sama tahu, untuk sebuah hubungan jangka panjang … keterbukaan itu mutlak. Terlebih buat saya yang masih struggling dengan mental illness, saya benar-benar lebih pilih kejujuran yang pahit ketimbang disenangkan oleh kebohongan. 

Setelah nyaris 3 jam "menyiksa", yang tersisa cuma kelegaan. Lega karena masing-masing ternyata bisa berdamai dengan semua itu. Lega karena setelah tahu aib dan kekurangan masing-masing ternyata masih nggak sanggup menghapus perasaan yang terlanjur ada.

Ya, rasanya dicintai dari kekurangan itu ternyata benar-benar semelegakan itu. Mas sempat bilang begini, "Cewek yang lebih cantik dan lebih baik dari kamu memang banyak, Ra. Tapi aku nggak yakin ada yang mau terima jelek-jeleknya aku kaya kamu gini. Jadi kenapa aku harus repot cari orang lain kalau yang aku paling butuhkan dalam hidup udah kutemukan? Hatiku udah milih kamu...aku cuma mau kamu jadi partner hidupku."

Yah … Saya pun demikian. Betul-betul sudah nggak mau sama orang lain lagi kalau bukan Mas Nugi. Tapi tetep, kami cuma bisa balikin lagi ke Tuhan. Kami cuma bisa berusaha, sisanya terserah DIA mau bikin hubungan kami kaya' mana. Kami percaya DIA punya rencana indah buat kami, buat cinta kami ini ...


Tour de LRT


"Mas, kumisnya tolong dicukur yaa..."



Setelah plong bicara hati ke hati, lanjut makan siang, dan singgah sebentar di hotel buat mas check in dan nungguin dia mandi (asli, mas lelet buangeett mandinya. Luluran kali di dalam sana), akhirnya bisa nge-date beneran. 

Nge-date murah meriah tapi sudah pasti romantis dan mas suka : NAIK LRT. Kami pilih rute Bumi Sriwijaya - DJKA karena stasiunnya deket lokasi janjian sama temen malam harinya. 

Dengan harga tiket Rp 5000 saja/orang sekali jalan, menikmati view Palembang sore hari asyik juga ternyata. Mas lumayan sibuk foto-foto dan ngerekam video (maklum, pengabdi konten). Tapi satu hal yang jelas, saat jalan tangan ini nggak pernah lepas digandengnya. 

Yang kece tuh pas perjalanan pulangnya, pas banget bisa nikmatin sunset. Apalagi sewaktu tepat melintasi Ampera. Beuuhh, kece badai. Cuma nggak tahu mas Nug sempat dapat fotonya atau nggak. Soalnya aku lebih pilih motoin dia 😹 Mas lebih indah dari sunset manapun deh pokoknya ... (Ara buciiiinnn, Ara buciiinnnnn 😹)

Wahai lelaki pemburu senja, aku padamu 😘



Tapi tetep ya. Bukan Ara atau Nugi kalau nggak pake drama. Karcisnya Mas Nug hilang, jadi nggak boleh keluar.

Nah, jadi gaes, untuk yang beli karcis langsung di stasiun (bukan pake tapcash), kertasnya itu nggak boleh hilang karena bakal buat scan di pintu masuk menuju ruang tunggu sebelum ke peron, sama buat scan sekali lagi di pintu keluar.

Dan, karcis mas hilang ntah kemana. Alhasil setelah lapor ke petugasnya dibilang harus beli dulu tiket penalti senilai Rp 10.000. Bagus! Tiket aslinya aja cuma Rp 5000 😹😹😹 Yah, harga sebuah keteledoran.

Tapi ya nggak bisa ngomel juga sih. Lha wong saya sendiri pernah dengan songongnya ninggalin Akashi di parkiran mall dan pulang ke kosan pake gojek. Jadi …, sepertinya drama ketinggalan, kehilangan, atau kelupaan bakal banyak mewarnai hari-hari kami di masa depan. 


Jumpa Blogger dan Traveller Palembang


Akhirnya, direstuin juga 😹


Dari sebelum jumpa, saya bilang ke Mas kalau tugas dia itu bukan cuma meyakinkan saya dan keluarga, tapi juga dua teman satu gugus saya. Sebab selama ini, dua cowok inilah yang paling "menentang" hubungan kami. kak Yayan si Gordon Levitt, dan Bimo si Tom Holland.

Bukan yang menentang atau ngelarang-ngelarang banget gitu sih nggak. Mereka cuma mati-matian menjaga saya untuk nggak jatuh lagi ke pelukan laki-laki yang salah. Jadi ketemu 2 cowok ini bakal jadi agenda wajib selama mas di Palembang. Semacam fit n proper test-nya Nugi dulu gitu deh.

Sabtu malam seperti yang sudah disepakati, kami jumpa. Bareng Heru yang udah pernah ketemu Mas Nug sebelumnya, dan ga sengaja jumpa Ce Trisna yang kebetulan lagi ngumpul sama teman-teman backpackernya. 

Standar meet up perdana lah, haha hihi, makan, poto-poto. Suasana lumayan cair sebetulnya, tapi saya malah gelisah berat. Saya merasa ada yang nggak beres sama Mas Nug. Entah apa. Tapi ketika berulang kali saya tanya Mas kenapa, dia meyakinkan kalau dia baik-baik saja. Aneh sekali.

Tapi di titik saya sudah nggak tahan lagi dan menyerah sama kegelisahan, sesaat setelah adzan isya saya ajak mas pulang. Rencananya Mas antar saya dulu ke kosan, baru dia bawa Akashi ke hotel dan jemput saya kembali esok harinya sebelum ke gereja di dusun mama. Tapi di perjalanan, saya berubah pikiran. Saya tepuk punggung mas …

"Mas, nggak usah ke kosanku. Kita langsung ke hotel!"

"Eh, kenapa?"

"Langsung. Ke. Hotel!" ucap saya dengan nada jangan-ngebantah-gue.

Mas menurut. Lebih tepatnya, tak kuasa menolak. Dan … alih alih melaju lurus ke arah kosan, Akashi pun berbelok ke mulut gang menuju hotel.


:: To be continued …


Kenapa saya begitu maksa
mas langsung ke hotel malam itu?
Apa yang terjadi selanjutnya?
Akankah kencan kami
berlanjut di dalam kamar? 

Tunggu kelanjutannya di bagian kedua ya 😝




35

Jejak Buku Bajakan di Palembang

Palembang yang memutih sebulan terakhir, mengingatkan saya saat pertama kali menginjak kota ini 4 tahun lalu. Pada 2015 saya pindah ke kota pempek ini tepat saat bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menyerang. Benar-benar kesan pertama yang tidak mengenakkan karena langsung disambut sesak napas, mata pedih, dan batuk-batuk oleh kabut asap.

Saat itu saya tetap jatuh cinta pada kota ini. Terutama oleh pemandangan lapak-lapak buku di ruas jalan di seputaran Masjid Agung dan kawasan pasar. Pemandangan yang tidak pernah saya temukan di Bengkulu, kota saya sebelumnya yang jumlah toko bukunya saja bisa dihitung dengan jari. Ya memang tidak bisa disamakan. Bengkulu kota kecil, Palembang sudah metropolitan.

Saya di salah satu lapak buku di ruas jalan seputar Masjid Agung  (foto : Arista Devi)

Kala itu saya bersama seorang teman menembus kabut asap menyusuri lapak-lapak tersebut satu per satu. Buku-bukunya sangat beragam dan harganya murah. Semula saya pikir buku-buku tersebut bekas. Mayoritas memang iya, tapi banyak juga yang masih baru, lengkap dengan plastik pembungkus yang masih rapi.

Saya bahkan kaget melihat Da Vinci Code-nya Dan Brown terbitan Bentang Pustaka (Mizan Group) dihargai Rp15.000, padahal masih bersegel. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelinya karena buku saya yang lama sudah rusak kena banjir. Sampai di rumah saya kecewa karena bukunya bajakan!

Saya heran, kenapa tidak kepikiran buku yang saya beli itu bajakan, ya? Padahal, dilihat dari harga saja sudah "mencurigakan". Tapi itu jadi titik balik saya untuk mulai aware dengan keaslian buku. Saya juga jadi jarang beli buku di sana lagi. Kapok, sih tidak, sesekali masih menelusuri lapak untuk mencari buku-buku lama. Cuma jadi ekstra hati-hati agar jangan sampai terjebak buku bajakan lagi.

Sejak saat itu destinasi belanja buku kembali ke kebiasaan semula: toko buku. Saya berbahagia karena toko buku di Palembang banyak. Selain toko buku besar dan resmi yang umumnya ada di pusat perbelanjaan, toko buku kecil-kecil juga tersebar hampir di setiap sudut Kota.

Sejauh ini, saya belum pernah menemukan buku bajakan di toko buku besar. Namun, di toko buku kecil masih  ditemukan buku bajakan. Jenisnya memang bukan novel-novel laris atau buku-buku populer, melainkan pelbagai jenis kamus.

Tahu dari mana kalau bajakan? Dari kualitasnya. Jilid yang tidak rapi dan mudah lepas, kertas yang tipis-buram-mudah sobek, juga hasil cetakannya yang persis fotokopian dengan bercak hitam di sana-sini.

Buku Bajakan di Perpustakaan


Sekilas semua tampak asli
Sebagai orang yang suka sakaw kalau tidak membaca, perpustakaan jelas menjadi tempat favorit. Terutama kalau musim kemarau melanda dompet. Tempat adem, nyaman, dan koleksi bukunya jelas lebih banyak dari rak buku sendiri.  Sayang, kenyamanan itu rupanya harus terusik kala mendapati buku bajakan di antara koleksinya. Dan itu terjadi sebulan lalu saat saya dan Bimo, teman sekaligus blogger mau hunting foto untuk ikut sebuah kontes.

Saya dan Bimo berkunjung ke salah satu perpustakaan di Kota Palembang. Saat memilih buku untuk dijadikan properti foto, tanpa sengaja kami menemukan Intelegensi Embun Pagi (IEP), buku terakhir seri Supernova karya Dee Lestari yang tampak "kesepian" karena letaknya terpisah dari 5 seri sebelumnya.

Ada dua buku IEP dalam rak. Saya mengambil salah satunya dan mengernyit  heran. Kok berbeda ya dengan IEP yang biasa saya baca di kosan?

Bimo yang kebetulan juga sesama aDeection alias penggemar Ibu Suri Dee spontan merebut IEP dari tangan saya. Wajahnya semringah karena jumpa buku favoritnya dan mulai membuka halaman demi halaman dengan antusias. Namun sesaat saja, ekspresinya berubah masam.

"Yah, bajakan ini, Raa...," keluhnya seperti orang patah hati.

Saya menggeleng tak percaya. Tak mau percaya lebih tepatnya. Meski sudah merasa aneh sejak menyentuh buku itu pertama kali, saya tidak ingin berprasangka macam-macam. Buku bajakan di perpustakaan? Yang benar saja!

Tapi Bimo benar. Saya ingat betul kalau tulisan dan gambar di sampul IEP asli dicetak dengan huruf timbul dan menghasilkan efek kilau berpendar warna jika terkena cahaya. Hal itu tidak ditemukan di IEP koleksi perpustakaan yang cetakannya tampak begitu biasa.
Perbandingan sampul depan kedua versi

Makin diperhatikan, ciri-ciri buku bajakan makin kentara. Pertama dari bobotnya, buku tersebut jauh lebih ringan dari buku asli. Lalu kualitas kertasnya yang sangat buruk karena tipis dan tampak keruh. Untuk hasil cetak halaman dalam, sebagian besar cukup bersih dan sekilas tidak jauh berbeda dengan versi asli. Namun, di halaman-halaman terakhir, tepatnya di halaman yang memuat profil dan buku-buku karya Dee yang lain, tampak sangat buram (lihat gambar).
Perbandingan halaman dalam kedua versi
Saya mengambil IEP kedua dari rak yang rupanya sama saja. Sama-sama bajakan! Lalu mulailah saya dan Bimo berspekulasi, sibuk mengira-ngira sendiri bagaimana jalannya buku bajakan bisa sampai ke perpustakaan. Oh, apa pun itu, semoga hanya wujud kelalaian atau ketidaktahuan pihak perpustakaan semata, bukan kesengajaan.

Selasa (22/10) kemarin, secara khusus saya kembali ke perpustakaan tersebut. Dan sampai artikel ini diterbitkan, buku bajakan itu masih ada di sana, di raknya semula.

(Puk-puk Ibu Suri dan Bentang Pustaka ( Mizan Group) turut berduka cita ya ... :'( )

Buku Bajakan, Lebih dari Sekadar Memprihatinkan

Apa yang saya kisahkan di atas, tentu ibarat seiris timun di cuka pempek dibanding dengan fenomena buku bajakan di negeri ini. Masih ditemukannya buku bajakan bahkan di tempat “terhormat” macam perpustakaan, tentunya sebuah fakta yang sangat miris. Tidak terbayang berapa eksemplar  buku bajakan yang sudah tersebar selama ini. Dan itu bisa di mana saja dan diedarkan oleh siapa saja.

Ini kita masih bicara buku fisik, belum yang digital alias e-book. Dan saya tahu itu tidak lebih baik kondisinya. Saya punya kenalan penulis, dia pernah curhat sambil menangis karena menemukan bukunya yang masih dalam masa preorder (PO), sudah diobral versi e-booknya oleh sebuah oknum akun Instagram dengan harga Rp1000.

Belum lagi kalau bicara soal buku repro yang beredar luas di toko buku online. Dalam sebuah situs marketplace lokal, saya banyak menemukan penjual buku repro. Adapun repro sebetulnya sama saja dengan bajakan, namun dalam versi lebih keren. Adapula penjual yang sengaja mengecoh pembeli yang kurang mengerti dan mengatakan buku tersebut adalah ORI.

Salah satu penjual buku repro di sebuah marketplace lokal (dok. tangkapan layar pribadi)

Dalam hal ini, kontrol  dari market place sangat lemah. Yang lebih  ironis, penjual buku tersebut  malah termasuk penjual yang dapat bintang dari pengelola marketplace.

Nah, kalau diukur pakai parameter model Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), pembajakan buku di Indonesia pasti sudah seperti Palembang dengan kabut asapnya sebulan terakhir. Bukan saja tidak sehat alias memprihatinkan, melainkan sudah di level BERBAHAYA.

Saya tidak punya data soal pembajakan buku di Indonesia. Namun, merujuk pada berita kompas (2012), jumlah terbitan buku di Indonesia tiap tahunnya tidak sampai 18 ribu judul. Angka ini tergolong rendah karena negara lain seperti Jepang mampu menerbitkan sekitar 40 ribu, India 60 ribu, dan Cina 140 ribu. Jumlah terbitan buku kita sama dengan Malaysia dan Vietnam, namun kalau dilihat dari jumlah penduduknya, tentu saja produksi kita masih sangat rendah.

Tidak perlu penelitian macam-macam untuk mencari tahu penyebabnya. Otak orang paling awam sekalipun pasti juga paham kalau pembajakan buku ikut andil.

Memangnya penerbit mana yang bisa terus produksi kalau cuma dapat rugi? Penulis mana juga yang bisa tahan kalau tahu hasil kerja kerasnya yang sampai berdarah-darah itu ujung-ujungnya cuma dibajak? Sudahlah royalti kecil, masih dipotong pajak, bukunya dibajak pula.

Lalu, toko buku dan penyalur resmi mana yang tidak gulung tikar kalau jualan mereka tak laku karena kalah bersaing harga dengan buku bajakan yang murah meriah itu?

Buku bajakan mematikan industri buku. Jika terus dibiarkan, bisa-bisa terjadi kiamat di dunia literasi kita. Kalau sudah begitu, sama saja kita berjalan mundur dari peradaban.

Yang Bisa Kita Lakukan


Tidak bisa dimungkiri, masalah buku bajakan adalah perkara komplek yang melibatkan banyak pihak. Perlu kerja sama dan konsistensi dari semua pihak untuk memeranginya.

Yang pertama tentunya dari kita, masyarakat selaku konsumen buku. Ayo, tumbuhkan kesadaran dari diri kita sendiri kalau pembajakan itu dosa besar, dan kita akan terlibat dosa juga kalau sampai membelinya.

Memang, jiwa sobat misqueen kita sangat tertolong dengan adanya buku bajakan. Tapi, apa kita tidak jauh lebih rugi kalau gara-gara ini penulis kita kemudian kapok menulis, penerbit favorit kita bangkrut, toko buku kesayangan kita tutup (ini sudah mulai terjadi di Palembang), dan kita tidak bisa lagi baca buku.

Jika masih ada yang membeli, maka pembajakan akan terus terjadi. Lingkaran setan. Jadi mari  kita sama-sama putus salah satu mata rantainya dengan berhenti membeli buku bajakan. Toh kalau buku asli mahal masih bisa menabung, nunggu diskon, atau urunan sama teman. Bahkan kalaupun betul-betul tidak mampu beli, masih bisa pinjam teman atau di perpustakaan, kan? Banyak jalan biar tetap bisa baca buku tanpa harus beli bajakan.

Kedua, bertobatlah wahai pembajak! Tidaklah jadi berkah penghasilanmu kalau didapat dari kesengsaraan orang lain. Bila kalian baca tulisan ini, tapi masih nekat membajak, saya kutuk kalian enggak bisa kentut 7 hari! (Hey, ini serius!!!)

Ketiga, untuk penjual buku baik distributor dan pemilik toko, berhentilah menyalurkan buku bajakan. Terlebih kalau sampai menipu pembeli dengan mengatakan buku tersebut asli.

Untuk penulis dan penerbit,  tolong, jangan pernah bosan mengedukasi masyarakat soal ini. Karena seperti yang sempat saya singgung di awal tulisan di atas, ada orang-orang seperti saya yang sebenarnya tidak berniat membeli buku bajakan, namun berakhir membeli juga karena tertipu dan kesulitan mengidentifikasi. Edukasi terus di berbagai kesempatan. Baik saat live event, sosial media, atau kalau perlu di setiap buku yang terbit ada halaman khusus ada peringatan atau info  bagaimana membedakan buku asli dan bajakan (misalnya). Oh, bisa juga seperti yang Mizan lakukan sekarang dengan mengadakan blog dan vlog competition anti pembajakan.

Terakhir, buat aparat dan pihak-pihak berwenang, mohon lebih diperketat lagi penegakan hukumnya. Undang-undang kita sudah ada yang mengatur soal ini dan sepertinya memang sudah berjalan, dengan diadakannya razia contohnya. Hanya saja langkah tersebut masih belum menimbulkan efek jera, para pembajak masih sangat leluasa menjalankan aksinya. Semoga ke depannya bisa lebih tegas lagi.

Jika kita mau ambil bagian untuk memerangi pembajakan buku, saya yakin dunia literasi kita masih punya harapan dan masa depan.

Stop pembajakan mulai dari sekarang!


***

Salam dari Tepian Musi.

Tepian Musi yang masih berkabut
(foto : dok WAG Kompal)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Mizan Anti Pembajakan, persembahan Mizan.com dan Mizan Store.

15

Pucuk Coolinary Festival Palembang

Temukan Rasa Favoritmu !


Bersama teman Internasional di Pucuk Coolinary Festival



Berhubung Palembang nggak punya pantai atau gunung, masyarakatnya menjadikan kuliner sebagai pelampiasan kalau mau rekreasi. Nggak heran kalau kota tua ini kemudian menyimpan potensi kekayaan kuliner dengan cita rasa unik yang diciptakan sendiri oleh warganya yang multietnis.

Atas dasar inilah, PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group) selaku produsen Teh Pucuk Harum, minuman teh kemasan lokal menggelar sebuah festival kuliner terbesar bertajuk #PucukCoolinaryFestival. Informasi ini saya dapatkan saat menghadiri Media Gathering di Hotel Harper Palembang pada Kamis (5/9) lalu. Kebetulan saya dan rekan-rekan blogger juga turut diundang.



Selain bisa intip-intip persiapan apa saja yang sudah mereka lakukan, ada diskusi bareng dengan pemateri dari  Pak Kitto Kristanto selaku Junior Brand Manager Teh Pucuk Harum dan Mbak Dina Oktaviany selaku foodies yang punya akun kuliner di Palembang yaitu makanpakereceh.plg. Oh, ada juga mini kontes makan mie pedas dengan hadiah voucher belanja ratusan ribu.

Jadi Pak Kitto bilang, Palembang ini kota ketiga yang didatangi Pucuk Coolinary Festival setelah sebelumnya sukses digelar di kota Yogyakarta dan Medan. “Kota Palembang kami pilih karena perkembangan usaha kuliner di kota Palembang sedang berkembang pesat. Ini terbukti dengan kian maraknya pelaku usaha kuliner lokal yang muncul, baik kuliner legendaris maupun  yang hits kekinian di kalangan masyarakat,” jelas Kitto.


Mengusung tagline Temukan Rasa  Favoritmu, Pucuk Coolinary Festival diselenggarakan selama 2 hari yakni tanggal 7-8 September di lapangan parkir Palembang Trade Center (PTC) Mall. Ada lebih dari 100 tenant yang ikut serta dan terbagi dalam tiga zona yakni Manis, Pedas, dan Gurih.




Wow. Pasti seru tuh. Kapan lagi coba bisa mencicipi begitu banyak  makanan di satu tempat saja? Mbak Dina dari @makanpakereceh.plg pun sepakat, dia bilang, dengan adanya festival kuliner ini, kita dapat mengetahui dan mencicipi kuliner dengan beragam pilihan rasa yang mungkin belum kita ketahui. “Selain itu, Pucuk Coolinary Festival juga mendorong para UMKM makanan untuk terus berinovasi dalam menyajikan makanan. Bisa membuat masyarakat mengenal lebih dekat apa saja kuliner kebanggaan Palembang yang mungkin selama ini belum diketahui kelezatan Dan keunikannya,” kata Dina

Waduh, benar-benar bikin nggak sabar untuk segera hadir ke festivalnya.


Hari yang ditunggu itu akhirnya tiba …

Pengguntingan pita : Pucuk Coolinary Festival resmi dibuka


Yuhuu, weekend juga akhirnya. Sabtu (7/9), saya bersama teman-teman dari Blogger Palembang sudah tiba di TKP sejak pagi. Kemeriahan langsung berasa dengan area festival terbuka yang didominasi warna merah, padahal acara belum dimulai karena masih mau menunggu sejumlah pejabat yang akan membuka festival secara resmi.

Baru sekira pukul 10 acara dimulai, dengan sederet agenda ceremonial seperti kata sambutan, pengguntingan pita, dan penekanan bel sirine pertanda Festival resmi dibuka. Hadir dalam agenda tersebut kepala Dinas Perindustrian Provinsi Sumatera Selatan, Ir. Hj. Ernila Rizar, MM mewakili Gubernur Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang, H. Isnaini Madani, dan National Sales & Promotion Head PT. Mayora Indah Tbk., Henry David Kalangie.

Henry David Kalangie memberikan kata sambutan


Saya sendiri sudah tidak sabar menjelajah area festival. Diawali dengan gerbang utama, sejauh mata memandang cuma terlihat stand-stand makanan di kiri dan kanan lorong. Aroma lezat yang tercium mulai menerbitkan liur.

Terus terang saya bingung mau pilih mencicip makanan yang mana. Ya, saking banyaknya. Lagipula, kapasitas perut dan kantong saya kan terbatas. Untunglah, pembagian zona rasa yang ada sangat membantu. Tinggal pilih di zona gurih dan manis karena sudah pasti sesuai selera. Sementara zona pedas, mungkin bakal dilirik saja. Saya kurang bisa makan pedas soalnya. Eh, tapi belum tentu ding. Siapa tahu justru lebih berselera.



Seperti namanya, di zona gurih terdapat stand-stand makanan bercita rasa gurih. Makanan khas Palembang seperti pempek, pindang, dan mie celor ada di sini. Ada pula cilok, soto, onigiri, pizza dan sederet makanan lainnya. Saya sendiri akhirnya pilih Tahu petis dan kepiting crispy.

Di zona manis, pilihan makanan didominasi snack dan minuman. Kue-kue, cake, dan aneka es menunggu dicicipi. Ada pula yang jual buah dan salad.


Sementara di zona pedas didominasi makanan “berat”.  Nasi, bakso, mie ayam diantaranya. Ada pula snack-snack yang tentunya pedas dan rujak buah.

Semua makanan itu, kalau beli pake dompet digital DANA, bisa dapat cash back 50% lho. Hoho, asyik kan? Ga bikin kantong kempes.


Yang seru di festival ini, pengunjung bisa mendapatkan pempek gratis dengan hanya menunjukkan 2 kemasan botol Teh Pucuk Harum. Boleh yang masih ada isinya ataupun sudah kosong. Tidak usah khawatir bakal kehabisan, karena panitia menyiapkannya ga tanggung-tanggung : 10.000 porsi!




Nggak usah bingung juga cari Teh Pucuk Harum-nya. Tinggal beli sama mbak-mbak SPG yang tersebar di sepanjang area, atau beli di Pucuk Harum Centre yang berada tepat di tengah-tengah lokasi festival.

Terus juga nggak melulu soal makanan, di panggung utama juga ada live music sebagai hiburan. Hamparan bean bag yang ada di depan panggung enak buat duduk-duduk, sekadar melepas lelah kalau capek berkeliling. Eh, ada berbagai lomba juga lho kaya lomba makan mie pedas sama intagram photo contest. Dan yang paling heboh tentunya ada undian dengan hadiah utama berupa 2 sepeda motor NMax.



Apa semua keseruan ini cuma berlaku buat pengunjung? Nggak dong, Teh Pucuk Harum juga kasih apresiasi buat para tenant sebagai bagian dari UMKM Indonesia lewat agenda “Pemilihan Tenant Favorit”. Ada hadiah jutaan rupiah buat tenant yang pemenangnya dipilih langsung oleh pengunjung.


Sarana Promosi Kekayaan Kuliner Lokal ke Lidah Internasional




Meski di awal diniatkan sebagai event berskala lokal, namun Pucuk Coolinary Festival Palembang rupanya mampu menarik perhatian orang asing juga lho.

Saya bertemu sejumlah teman dari luar negeri di festival ini. Beberapa di antaranya sudah saya kenal terlebih dahulu seperti Xiao Chen dari Cina dan Dilumi dari Sri Lanka. Namun pada hari kedua festival, Minggu (8/9), mereka mengajak lebih banyak lagi teman-teman mereka yang sama-sama ikut semacam program pertukaran pemuda.

Saya lalu mengenal Janel dari Filipina, Hisyam dari (kalau tidak salah dengar) Aljazair , dan Kho (aduh, bener nggak tulisannya ya?) dari Vietnam. Kesempatan banget tuh mengenalkan kuliner lokal ke mereka.

Kebanyakan sih mereka masih belum berani mencoba yang pedas. Namun untuk yang gurih dan manis, mereka suka lho. Entah berapa banyak makanan yang pindah ke perut selama kami ngobrol malam itu.




Xiao Chen yang baru pertama mencoba cilok (kalau pempek udah sering dia), langsung jatuh hati. Rasa dan baunya mengingatkan dia pada salah satu makanan tradisional di negaranya. Dia juga mengungkapkan kekagumannya pada keberagaman kuliner Indonesia. “Saya tidak pernah tahu ada begitu banyak jenis makanan di Indonesia,” ujarnya dalam Bahasa Inggris.

Sayang, Pucuk Food Coolinary ini cuma dua hari saja. Belum puas rasanya menikmati. Tapi bersyukur banget bisa menjadi bagian keseruannya. Semoga tahun tahun mendatang bisa kembali lagi ya ...

Eh, setelah Palembang, bakal ada Kota lain juga lho yang akan menyusul didatangi Pucuk Food Coolinary. Kalian bisa pantengin terus update-nya di website atau akun medsosnya Teh Pucuk Harum 😉


Teh Pucuk Harum, karena teh terbaik ada di pucuknya.

0

Spiderman Far From Home


Oh, jadi ini ceritanya bukan soal Peter Parker yang kabur dari rumah toh, pikir saya di awal-awal film. Maklum, saya kan menghindari semua trailer dan spoiler. Jadi nontonnya benar-benar dalam kondisi  kanvas putih alias nggak ada bayangan apa-apa. Nebak-nebak judul doang kirain si Peter kabur kemana gitu …

Peter emang lagi jauh dari rumah. Tapi “cuma” study tour bareng temen-temen sekelasnya ke Eropa. Widiihhh, langsung berbinar-binar ni mata ngintipin kota-kota cantik di sana yang nggak tahu kapan bisa didatangi langsung. Itali, Ceko, Belanda, Jerman, Inggris … dan favorit saya : Austria. Hijau-hijau pegunungannya itu lho. Adem, sampe berasa dalam bioskop (ppppfffttt, AC-nya terlalu dingin ya, Ar?)

Austria



Dari segi plot, standar banget sih menurut saya. Terlalu simpel. Tentang Peter yang sebenernya pengen liburan sekaligus pedekate sama MJ, tapi malah terjebak sama misi penyelamatan dunia. Siapa penjahatnya aja ketebak kok. Visualisasi dan sound effect meski tetep keren, tapi saya merasa agak nanggung. Mmm…, semacam “duh, harusnya bisa lebih waaaahhh dari ini!”

Meski begitu ni film fun banget lho. Jokes-jokesnya dapet. Beberapa emang garing, tapi cukup banyak yang bikin satu studio pecah. Dan tahu apa yang paling berkesan buat saya? Romance scenes yang bertebaran di sepanjang film.

Saya nggak tahu nih apa tepatnya yang bikin saya senyum-senyum sendiri kaya orang bego di kegelapan. Faktor Chemistry Peter-MJ yang makin dapet kah? Ned-Betty yang kisah cinloknya unyu banget itu? Mungkin juga karena  si Tante seksi May sama Om Happy yang kemunculannya saya jamin bikin ni film naik rating… atau bisa jadi juga nggak ada hubungannya sama film. Melainkan faktor someone yang kebetulan nemenin nonton? (Astaga! Apaan cobaaa 😹😹)

Found this fanart on FB. Kyaaa... I ship this two 😻


Oh, meski tadi saya bilang penjahatnya ketebak, dua adegan pasca-kredit itu sama sekali nggak ketebak. Wohooo ...layak banget ditungguin. Saya pas keluar bioskop tuh terus langsung mikir “Wah, bakal ada apa lagi nih film selanjutnya?”

Saya nonton di CGV Transmart Jumat (5/7) kemarin. Niatnya nonton jam 6 tapi kehabisan karena kejebak macet dalam perjalanan dari Plaju (lagian ngapain juga pake hujan segala). Alhasil cuma dapat yang nyaris jam 8 malam.

Studio cukup ramai. ¾ terisi. Nggak ada insiden berarti kecuali mas-mas di sebelah saya masih nggak bisa nahan diri buat stop mainin HP. Beberapa kali terganggu banget sama cahaya yang keluar dari HP dia. Separo penonton udah keluar bahkan sebelum aftercredit 1 selesai. Well, dimaklumi juga sih karena udah kemalaman.

Total skor … ummm … versi objektif 8 (mungkin kurang-kurang sedikitlah). Tapi karena ni film bikin mood saya stabil padahal lagi PMS, skor akhir saya kasih 8,5 deh. Intinya (lumayan) recomended lah ...

Dan mohon maaf buat yang baca postingan ini karena ngarepin lebih banyak bocoran. Saya bukan Kang Spoiler. Nggak mau mengganggu kenikmatan orang lain yang mungkin belum sempat nonton.

Udaaaahhh… buruan nonton sendiri aja sana sebelum turun layar!




Salam dari Tepian Musi ...
(Mommy Ossas).


::


Nb.

I have taken a photo with someone who accompanied me to watch this movie last night. I even got his permission to upload our pic on my blog.


But after I looked at the photo carefully, I've changed my mind. I like the pic so much. Umm ..., sorry for being selfish, but right now I just want to keep it for myself.









0



Thamrin Brothers : Halal Bihalal dan Buka Bersama Media (dan blogger)

Senin (27/5) pagi, saya lagi ngasih makan Ling Ling si anak bulu paling bungsu ketika di-WA Bimo. Katanya kami --para blogger--, diundang Yamaha Thamrin Brothers untuk ikut acara buka bersama dan halal bihalal bareng media. Lokasinya di Emilia Hotel pukul 5 sore.

Meski undangan dadakan, saya langsung meng-iyakan. Bosen euy di kosan mulu. Otak saya kan juga butuh rehat, sebentar lagi meledak gara-gara skripsi.

Sorenya, langsung meluncur ke hotel yang masih satu kompleks dengan Palembang Indah Mall (PIM) itu. Kali ini bareng si Eka, yang dengan terpaksa suka cita jadi mbak ojek 😹 Sempat nggak enak hati, karena kami pikir sudah terlambat. Habis pake ada drama macet (padahal udah lewat jalan tikus) dulu sih. Belum lagi pake acara bingung-nggak-tahu-parkir-di mana.

Tapi syukurlah, ternyata acara belum mulai. Berhubung sudah mepet waktu berbuka puasa, didahului dengan buka bersama dulu baru mulai acara inti. Cukup rame juga ternyata, ada sekitar 30 orang yang hadir (Well, saya nggak ngitung sih sebenernya. Pake ilmu kira-kira aja). Selain petinggi dan karyawan Yamaha Thamrin Brothers plus kawan-kawan blogger Palembang, ada juga teman-teman jurnalis dari sejumlah media.

Team Bloggers

Seperti biasa, setiap ikut acara “tugas negara” ala blogger begini, selalu saja dapat info baru yang amat layak untuk ditulis dan di-share. Nah, apa saja? Simak terus di ulasan berikut :

Beli Motor Gratis Motor, Mau?

Enggie Suwarno

Lho, ini serius lho. Bukan saya, tapi Pak Enggie Suwarno selaku GM Yamaha Thamrin Brothers yang bilang. Jadi dalam rangka anniversary, mereka emang lagi ada promo.

Kalian yang melakukan pembelian motor Yamaha tipe apapun di Yamaha Thamrin Brothers di dealer mana saja (dalam wilayah Sumatera Selatan dan Bengkulu), berkesempatan dapat kupon yang akan diundi. Bakal ada 5 motor yang menunggu dimenangkan, yakni motor Yamaha R25 (1 buah), Yamaha Byson (1 buah), dan Yamaha Xabre (3 buah). Promo ini hanya berlaku hingga 31 Mei 2019 ini.

Program Kece untuk Para Lulusan SMK

Selama ini saya mikirnya Yamaha Thamrin Brothers itu “kerjaannya” cuma jual kendaraan. Ternyata saya salah, pemirsa. Asli, baru tahu kalau ternyata perusahaan ini sangat peduli lho dengan peningkatan SDM generasi muda kita.

Hal itu dibuktikan dengan adanya program Yamaha Engineering School (YES). Program ini memberi kesempatan bagi 20 orang lulusan SMK untuk ikut pelatihan intensif langsung dari tim Yamaha selama 4 bulan bebas biaya alias GRATIS. Ini berarti, peserta bisa belajar langsung seluk beluk teknis dan teknologi sepeda motor benar-benar langsung dari ahlinya.

Agus Suryanto

Diungkapkan Trainer Yamaha Thamrin Brothers, Agus Suryanto, para lulusan YES tersebut diharapkan akan mampu menjadi seorang entrepreneur dengan membuka usaha bengkel atau menjadi teknisi andal di bidang sepeda motor.

Jadi buat kalian lulusan SMK tahun 2016-2019 yang pengen nambah ilmu, buruan gih daftar mumpung masih buka. Coba datang langsung ke Yamaha Thamrin Brothers A Rivai di Jl Kapten A. Rivai No. 9 Palembang dengan memberikan persyaratan berikut :

Syarat pendaftaran YES

Setelah semua persyaratan lengkap, peserta nanti ikut tes tertulis dan wawancara pada tanggal 9 dan 10 Juli 2019. Kalau lulus, tanggal 15 Juli 2019 nanti udah bisa ikut pelatihannya.

Team Thamrin Brothers
______________________________

Makan udah, dapat info udah, dapat kenalan baru udah … tapi tentunya bakal kurang lengkap kalau nggak pake foto-foto. Hehehe …

Ga diajak foto bareng 😿

Eh, diajak ding 😹

Intinya, acara ini asyik banget. Asli. Itu berarti pula, satu Senin lagi yang berhasil saya lewati dengan senyum dan keceriaan. Terima kasih Yamaha Thamrin Brothers Palembang.


0

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...