Menu

Tentang Poyang dan Surat untuk Lina di Peringatan Hari Lahirnya


Time flies, huh?
Really. It's really hard to believe ….


Time flies ...



Dear, Lina a.k.a Naomi a.k.a Nomnom,

Jika ada benda mati paling berjasa dalam hidupmu, maka tak lain tak bukan adalah Si Poyang. Sungguh, kamu berutang nyawa pada mobil bak tua biru dongker (yang jelek luar biasa) milik bapakmu itu.

Kisahnya terjadi pada dua puluh satu Mei, persis dua puluh tahun lalu. Saat itu, kita semua masih tinggal di Pekik Nyaring. Sebuah desa kecil di pinggir Bengkulu. Rumahmu ramai di Jumat pagi hari itu karena kedatangan paman dan bibi dari jauh, lengkap dengan sepupu-sepupumu yang berkeriyapan mirip anak ayam.

Ya, hampir semua sepupumu masih bocah kala itu. Termasuk aku yang kalo tidak salah masih kelas 2 SD dan sedang menikmati hari libur. Kami semua semangat karena diajak jalan-jalan ke Blok 7 naik Poyang istimewa kududuk di muka yang sayangnya mendadak berulah. Mesinnya tidak bisa dihidupkan.

Sampai matahari meninggi, Si Poyang masih tidak bisa hidup. Wajah-wajah bersinar sejak pagi, mulai kompak menekuk. Kecewa. Rencana liburan sudah dipastikan gagal.

Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Sangat cepat sampai aku sendiri kebingungan dengan perubahan sikap orang-orang dewasa.

Yang kuingat cuma, mamamu --yang perutnya mirip balon-- pagi hari itu masih segar bugar. Masih masak dan menjemur pakaian seperti lazimnya emak-emak… namun sekitar pukul 10 (atau 11?) mamamu masuk kamar yang dikunci, dan cuma ditemani bibimu.

Lalu mamaku dan mbah kita datang, disusul para tetangga yang sepertinya makin banyak saja. Dari hasil menguping (dan mengintip jendela kamar), aku tahu kalau mamamu ternyata mau melahirkan. Semua orang dewasa sibuk, berusaha menjemput bidan.

Tapi ternyata kamu tak sabar ingin keluar. Dibantu mbah, kamu lahir sebelum bidan datang. Selamat dan sehat tentunya, karena aku bisa mendengar suara tangis pertamamu yang keras luar biasa.

Selang beberapa saat, aku akhirnya bisa melihatmu. Lelap dalam bedongan yang cuma sebesar guling bayi. Mungil sekali. Kesan pertamaku, kamu manis. Terutama bibirmu, cantik sekali. Sedang tidur pun seperti terlihat sedang tersenyum.

Kesan kedua, kamu hitam. Iya, meski seiring waktu aku tahu itu bukan benar-benar hitam, melainkan sawo matang. Yah, pokoknya kulitmu itu memang sudah gelap dari sononya, jadi please, please … Tolong lupakan obsesimu pada krim pemutih atau make up atau apapun yang membuatmu malah terlihat seperti mayat hidup. Cewek-cewek di Barat saja rela operasi demi punya warna kulit seperti kamu, tahu …

Kembali lagi ke Si Poyang. Apa jadinya jika dia tidak mogok hari itu? Kami semua pergi bersenang-senang dan mamamu benar-benar sendirian. Tanpa telepon, tanpa ponsel, apalagi smartphone.

***

Lepas 6 bulan pertama hidupmu, kamu menghabiskan masa kecilmu lebih banyak di rumahku. Belajar bicara, belajar jalan semuanya di rumahku. Dari kecil kamu sudah bisa nyanyi. Lagu favoritmu  Di Doa Ibuku-nya Nikita dan Melompat Lebih Tinggi-nya Sheila on 7 yang cuma bisa kamu nyanyikan ujung-ujung barisnya. Lucu sekali.

Masa kecilmu nggak ada yang kulewatkan. Dibanding mbak 'Nti-mu yang kaya Barbie dan betah di rumah, kamu kecilnya lebih mirip aku yang ranger merah. Hobi ngeluyur dan kelayapan mendaki gunung lewati lembah bareng bocah lelaki yang namanya Jojon. Melihat kalian berdua selalu bikin aku ingat sama masa kecilku sendiri… bareng Toni, my partner in crime 😹 (oy, Toni. Kamu di mana?)

Yang kulewatkan sepertinya cuma masa remajamu ya, Lin? Karena berbarengan dengan badai di kehidupanku sendiri. Maaf untuk benar-benar mengabaikanmu di fase itu. Aku harus egois, demi menyelamatkan semuanya. Belum lagi kita akhirnya memang harus berpisah karena pindah.

Makanya aku senang sekali waktu kamu putuskan untuk kuliah di Palembang. Seperti mendapat kesempatan kedua. Berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama dan menunjukkan dunia ini lebih banyak padamu. (Yang sayangnya ga berjalan mulus karena jadwal kuliah dan asramamu yang ...begitulah 😹).

Tapi tidak mengapa. Bisa memperhatikanmu lagi sudah cukup. Toh kamu sudah besar sekarang. Sudah 20 tahun.

Astagaaaa… benar-benar 20 tahun lho, dan kamu berhasil tumbuh lebih tinggi, lebih cantik, dan lebih berbakat dari mbakmu ini. I'm proud of you.

Mbak menulis ini cuma mau bilang, kamu menginjak 20 tahun dengan jauh lebih beruntung dari mbak. Kamu menjalani 20 tahunmu dengan teramat normal dan wajar untuk gadis seusiamu. Kamu nggak harus menjalani kehidupan keras dunia orang dewasa seperti mbak. Kamu makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, kuliah tinggal kuliah … nggak kaya mbak yang di umurmu sudah harus pusing urusan kerjaan biar tetap bisa makan dan bayar kosan, plus nabung biar bisa kuliah suatu saat nanti.

Nggak, ini bukan kontes siapa-yang-lebih-menderita. Bukan … cuma pengen mengingatkanmu untuk lebih bersyukur dan bersyukur lagi.

Mbak nggak bisa nasehatin lebih banyak, toh kamu sudah dikelilingi orang-orang hebat dan tepat untuk ngajarin kamu tentang hidup. Mbak mungkin nggak pernah ngomong langsung … tapi sekali ini betul-betul ingin bilang …

I never saw you as a cousin, but always as a sibling. You have completed my life, which always wanted to have a younger siblings. I love you. Thank you for being born.
Happy 20th Birthday. You can find your birthday present at 1 Peter 1: 23-25. God bless you.

***


Tepian Musi. Peringatan 21 tahun lengsernya Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...