Menu

Mimpi 15.529 Km



Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa.

Mimpi 15.529 km | kucingdomestik


Heny. Aku tidak pernah suka nama depanku. Bukan soal nama itu terdengar keren atau tidak, tapi pasarannya itu lho. Waktu SMP aku benar-benar muak saat tahu di kelas ada tiga Heni. Belum termasuk Heni-heni dari kelas lain.

Aku makin kesal saat tahu kalau semula aku dimaksudkan untuk bernama Hana. Yah, meski mungkin sama pasarannya, setidaknya ada dua perempuan keren bernama Hana yang kubaca kisahnya dalam Alkitab. Pertama ibunya nabi Samuel, lalu seorang Nabiah yang berjumpa Yesus saat masih kecil di bait suci.

Belakangan mama berkisah, bukan tanpa alasan papa mengubah pikirannya. Namun setelah diam lama memperhatikanku yang masih bayi merah itu pada suatu malam.

Yah, dilihat dari sisi manapun, aku sepertinya memang tidak akan pernah cocok punya nama Hana, yang berarti anggun dalam bahasa Ibrani. Pun dari bahasa Jepang, artinya adalah bunga.

Pfffttt, satu-satunya bunga yang bisa diasosiasikan denganku mungkin bunga bangkai kali. Dan, untuk yang sudah bertemu denganku, semuanya pasti sepakat kalau “anggun” itu tidak akan pernah ada dalam kamus kepribadianku. Yang ada bakal jadi bahan tertawaan atau istilah yang umum saat itu “keberatan nama”.

“Anak bungsu kita ini …, tidak akan pernah tumbuh jadi gadis danau yang tenang. Dia itu air terjun,” kata Papa.

“Tidak bisa diam, berisik, hidupnya penuh gejolak, namun menyimpan potensi besar … Dia bisa berbahaya maupun indah menyejukkan. Tergantung bagaimana sudut pandang orang lain saat melihatnya.

Lalu …, sepasang kaki mungil itu kelak akan membawanya pergi. Seperti aliran air terjun yang bebas kemana pun, dia akan bertualang ke banyak tempat. Jauh dari asal. Jauh dari mana ia dilahirkan.”

Dan begitulah. Akhirnya ketuk palu. Namaku terus jadi Heny Niagara sampai sekarang. Terukir abadi di semua dokumen yang kumiliki. Heny, yang merupakan panggilan lumrah untuk anak perempuan dalam bahasa jawa (seperti halnya akhiran -ko pada nama Jepang), dan Niagara … satu-satunya nama air terjun yang terpikir oleh papa saat itu.

Mama juga bilang, papa juga sekaligus menyematkan doa dan harapan. Biar kelak aku bisa jadi seorang yang punya nama besar seperti Niagara. “Jadi kalau kamu tanya mama arti namamu, Heny Niagara itu berarti anak perempuan yang suka berpetualang," kata mamaku.

____________________________________

Itu kisah 28 tahun lalu. Kalau lihat diriku sekarang, mungkin mendiang papa diam-diam menyesal dalam pusaranya.

Apanya yang anak perempuan yang suka berpetualang? Lha sampai nyaris kepala tiga begini, sejauh-jauhnya aku pergi cuma nyebrang pulau Jawa.

Tapi, kalau mau jujur sama diri sendiri …, jiwa petualang itu memang ada sih. Aku tidak pernah benar-benar tumbuh jadi cewek rumahan. Kecuali karena kucing, koleksi buku, dan masakan mama, aku tidak pernah benar-benar betah di rumah.

Aku selalu ingin pergi. Tak peduli walau cuma menyusuri gang-gang yang belum pernah kulewati, atau cuma motoran sendirian ke kota sebelah.

Aku tak pernah punya tujuan pasti walau kadang kusamarkan dengan“liburan”, “nyari inspirasi” atau “nyari bahan buat tulisan”. Tapi nggak, sebetulnya. Sama seperti kata Bodhi di seri Supernova, perjalanan itu sendirilah tujuanku. Kalau aku kemudian dapat sesuatu dari perjalananku itu, ya itu bonus.

Aku merenung. Jika memang jiwa petualang itu memang sudah terpeta di wajahku sejak aku lahir hingga papa bisa melihatnya sejelas itu, lantas kenapa hidupku “begini-begini-saja”? Tidakkah aku seharusnya sudah jadi traveller blogger? Atau minimal sudah bergabung dengan jaringan backpacker internasional?

Lihat aku sekarang. Terjebak di kota panas nan macet macam Palembang. Oh, aku nggak mengeluh kok. Di kota ini makanannya enak dan aku dianugerahi teman-teman luar biasa baik dan menyenangkan di sini.

Tapi seperti Ossas yang tersiksa kalau belum mencakari kursi, jiwaku akan senantiasa haus kalau belum menjejak kaki di tempat yang belum pernah kudatangi. Hasrat yang akan selalu menunggu dipuaskan.

Padahal travelling nggak sesulit itu juga sebetulnya. Dari sisi finansial sangat mungkin selama aku bisa sedikit mengerem khilaf-ku untuk barang-barang nggak penting. Nggak masalah juga kalau harus nabung dulu dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan tiket dan apapun itu.

Dari segi waktu, baik kuliah dan pekerjaanku sangat fleksibel sekarang. Pun aku juga nggak pernah tergantung sama orang lain untuk menemaniku bepergian. Singkatnya, aku SEBENERNYA bisa pergi kapan saja kalau memang niat.

LHA TERUS KENAPA HIDUPKU BEGINI-BEGINI SAJA?

Jawabannya mendadak muncul begitu saja. Dan amat sederhana.

Jadi selama ini, bertahun-tahun … tanpa sadar aku membendung aliranku sendiri. Aku terbiasa meredam hasrat dan mengalah …, terutama kalau berhubungan dengan sabda papa.

Di awal tadi sudah kusinggung soal papa yang merupakan manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal. Nah, papa itu sosok yang tak segan mendidik anak-anaknya dengan kekerasan, tapi beliau juga orang yang paling mudah menangis. Iya, papaku itu keras dan menakutkan tapi cengeng. Papa nggak segan nabokin aku dan kakakku kalau kami bandel, tapi aku sering memergokinya menangis kalau dengar ada tetangga atau saudara kami yang lagi susah.

Dan … papa yang dari awal paling tahu bagaimana kepribadianku dan bagaimana aku tumbuh, justru yang paling getol melarangku kemana-mana. Jangan harap bisa pergi liburan atau study tour kalau minta izinnya dulu.

Lha izin main ke kebun teh rame-rame di Kepahiang yang cuma 1,5 jam dari rumah kami saja nggak boleh kok. Ada saja alasannya. Banyak kecelakaanlah, jalan rawanlah, bahaya untuk perempuanlah apalah … Makanya, dulu aku sering kucing-kucingan. Atau pergi dulu baru ngomong. Mau dimarahi habis-habisan setelahnya aku nggak peduli, yang penting sudah jalan.

Yah, mungkin memang tipikal seorang ayah. Dimana-mana bakal begitu. Biar dilihatnya ada jiwa air terjun dalam diriku, di matanya aku akan selalu jadi putri kecilnya yang manja. Yang cukuplah dengan bermain ayunan dari ban bekas dan tergantung di pohon-pohon buah yang ditanamnya sendiri.

Oh, satu lagi. Kakakku. Yah, mungkin dia tak benar-benar punya niat jelek, tapi dalam banyak hal, dia itu benar-benar seperti toxic person yang tanpa sadar kerap memunahkan kepercayaan diriku dengan brutal. Dia yang multitalenta plus multitasking itu sering membuatku percaya kalau aku adalah manusia payah dan produk gagal, yang nggak bisa ngapa-ngapain.


___________________________________________

Akhir tahun 2018 lalu, jelang setahun peringatan kematian papa … aku memulai perjalanan solo perdanaku. Ke Jogja. Perjalanan yang kuberi judul “Perjalanan Menantang Tuhan”. Soal ini akan kuceritakan dalam postingan tersendiri kapan-kapan.

Namun salah satu yang kudapat dalam perjalanan itu adalah … aku akhirnya bisa benar-benar berdamai dengan Tuhan karena lelaki terhebat nomor satu-ku sudah diambil-Nya.

Meski awalnya masih seperti kepingan puzzle, kepergian papa bisa kumaknai berbeda sekarang. Lewat obrolan panjang berbulan-bulan dengan seorang kakak sekaligus bestie (Kak Yan, thank you so much), puzzle itu pun akhirnya lengkap.

Aku menerjemahkannya sebagai : Sudah saatnya membongkar bendungan. Kamu harus mulai bermimpi lagi, Ar!

Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku bertualang kemana pun, kecuali Tuhan. (Oh, tapi aku kan bakal selalu minta izin-Nya dulu nanti setiap kali memulai petualangan).

Papaku, aku yakin dia tidak pernah benar-benar berniat melarangku berpetualang. Selama ini beliau kok yang paling memahamiku. Cuma kalah saja dengan rasa khawatirnya yang terlalu besar. Sekarang tidak perlu lagi … toh dia bisa berbicara, memohon langsung pada Tuhan untuk menjagaku.

Kakakku, aku bahagia dia sekarang sudah punya sesuatu yang lain untuk diurusi selain menertawakan mimpi dan meragukan semua kemampuanku. Biarlah dia sibuk sama istri dan anaknya.

Untuk pertama kalinya … aku benar-benar merasa bebas dan bahagia. Aku siap kemanapun.

Tinggal menunggu sinyal izin dan waktu yang tepat dari Tuhan. Dan kemudahanku mengurus paspor beberapa hari lalu benar-benar kumaknai sebagai pertanda baik …

Errr, memangnya kamu mau kemana sih, Ar?

Sudah kubilang, bukan soal lokasinya, karena tujuanku adalah perjalanan itu sendiri. Tapi tidak ada salahnya juga memulai dengan menuliskan ulang mimpi masa kecilku setelah Jogjakarta dan Candi Borobudur berhasil dicoret dari daftar tanpa diduga sama sekali.


Niagara Falls • googlemaps

Ini mimpiku. Niagara Falls alias air terjun Niagara di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. 15.529 km jauhnya dari Palembang. Dan aku lebih ingin masuk lewat sisi Toronto Kanada ketimbang sisi New York.

Tentang mimpiku ini, bukan hanya harga tiketnya yang selangit, apply visa Kanada konon juga bakal sulit banget

Hahaha … memang terdengar mustahil ya kalau sekarang? Tapi kalau bermimpi aja nggak berani, gimana aku mau kuat jalani hidup yang payah ini?

Lagipula ... apa yang tertulis di kitab suci ini benar-benar jadi penghiburanku 😊


Ga ada yang ga mungkin


***
 
"Kenapa Niagara? Ga kejauhan? Memang kalau sudah sampai sana mau ngapain?" tanya mamaku begitu kuceritakan mimpiku ini.

"Ya ga kenapa-kenapa. Pengen aja. Lagian, salah sendiri ngasih nama anak begitu. Sampai sana ya cuma mau foto-foto aja, terus video call mama sambil dadah dadah...," jawabku.

"Punya duit apa kamu?"

"Sekarang sih belum. Tapi kan Bapa-ku Maha Kaya, DIA yang punya semesta ini. Kalau minta sungguh-sungguh, masa nggak dikasih?"

"Ya sudah. Pergilah kalau memang waktunya pergi kelak. Mama cuma bisa bantu doa. Tapi ada syaratnya ..."

"Syarat?"

"Selesaikan dulu kuliahmu!"


Ayayayaye, Captain!! Tanpa disuruh pun, selesaikan kuliah memang tujuan utama untuk saat ini. Berpetualang bisa menunggu, tapi nggak dengan pendidikan.


Nah, kalian. Doakan aku ya ... 😉

2 komentar:

  1. Liat aja ntar, tahu-tahu Ara udah berdiri di salah satu tepian Niagara dan bakalan teringat dengan tulisan ini -sambil nangis mungkin? hahahaha. Impian baik akan tercapai dengan jalan-jalan yang tak terduga. Mari kita bertaruh, Niagara akan didatangi bahkan sebelum paspor itu habis masa berlaku hehe. *taruhan es puter yak? lol.

    Tuhan Tahu, Tapi Menunggu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha...taruhan lagi ... 😂😂

      Amin...diaminkan be ini, Kak.
      Agek kalo sampai nian di Niagara, Ara dadah dadah cantik ke kakak 😂

      Hapus

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...