Menu



Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa.

Mimpi 15.529 km | kucingdomestik


Heny. Aku tidak pernah suka nama depanku. Bukan soal nama itu terdengar keren atau tidak, tapi pasarannya itu lho. Waktu SMP aku benar-benar muak saat tahu di kelas ada tiga Heni. Belum termasuk Heni-heni dari kelas lain.

Aku makin kesal saat tahu kalau semula aku dimaksudkan untuk bernama Hana. Yah, meski mungkin sama pasarannya, setidaknya ada dua perempuan keren bernama Hana yang kubaca kisahnya dalam Alkitab. Pertama ibunya nabi Samuel, lalu seorang Nabiah yang berjumpa Yesus saat masih kecil di bait suci.

Belakangan mama berkisah, bukan tanpa alasan papa mengubah pikirannya. Namun setelah diam lama memperhatikanku yang masih bayi merah itu pada suatu malam.

Yah, dilihat dari sisi manapun, aku sepertinya memang tidak akan pernah cocok punya nama Hana, yang berarti anggun dalam bahasa Ibrani. Pun dari bahasa Jepang, artinya adalah bunga.

Pfffttt, satu-satunya bunga yang bisa diasosiasikan denganku mungkin bunga bangkai kali. Dan, untuk yang sudah bertemu denganku, semuanya pasti sepakat kalau “anggun” itu tidak akan pernah ada dalam kamus kepribadianku. Yang ada bakal jadi bahan tertawaan atau istilah yang umum saat itu “keberatan nama”.

“Anak bungsu kita ini …, tidak akan pernah tumbuh jadi gadis danau yang tenang. Dia itu air terjun,” kata Papa.

“Tidak bisa diam, berisik, hidupnya penuh gejolak, namun menyimpan potensi besar … Dia bisa berbahaya maupun indah menyejukkan. Tergantung bagaimana sudut pandang orang lain saat melihatnya.

Lalu …, sepasang kaki mungil itu kelak akan membawanya pergi. Seperti aliran air terjun yang bebas kemana pun, dia akan bertualang ke banyak tempat. Jauh dari asal. Jauh dari mana ia dilahirkan.”

Dan begitulah. Akhirnya ketuk palu. Namaku terus jadi Heny Niagara sampai sekarang. Terukir abadi di semua dokumen yang kumiliki. Heny, yang merupakan panggilan lumrah untuk anak perempuan dalam bahasa jawa (seperti halnya akhiran -ko pada nama Jepang), dan Niagara … satu-satunya nama air terjun yang terpikir oleh papa saat itu.

Mama juga bilang, papa juga sekaligus menyematkan doa dan harapan. Biar kelak aku bisa jadi seorang yang punya nama besar seperti Niagara. “Jadi kalau kamu tanya mama arti namamu, Heny Niagara itu berarti anak perempuan yang suka berpetualang," kata mamaku.

____________________________________

Itu kisah 28 tahun lalu. Kalau lihat diriku sekarang, mungkin mendiang papa diam-diam menyesal dalam pusaranya.

Apanya yang anak perempuan yang suka berpetualang? Lha sampai nyaris kepala tiga begini, sejauh-jauhnya aku pergi cuma nyebrang pulau Jawa.

Tapi, kalau mau jujur sama diri sendiri …, jiwa petualang itu memang ada sih. Aku tidak pernah benar-benar tumbuh jadi cewek rumahan. Kecuali karena kucing, koleksi buku, dan masakan mama, aku tidak pernah benar-benar betah di rumah.

Aku selalu ingin pergi. Tak peduli walau cuma menyusuri gang-gang yang belum pernah kulewati, atau cuma motoran sendirian ke kota sebelah.

Aku tak pernah punya tujuan pasti walau kadang kusamarkan dengan“liburan”, “nyari inspirasi” atau “nyari bahan buat tulisan”. Tapi nggak, sebetulnya. Sama seperti kata Bodhi di seri Supernova, perjalanan itu sendirilah tujuanku. Kalau aku kemudian dapat sesuatu dari perjalananku itu, ya itu bonus.

Aku merenung. Jika memang jiwa petualang itu memang sudah terpeta di wajahku sejak aku lahir hingga papa bisa melihatnya sejelas itu, lantas kenapa hidupku “begini-begini-saja”? Tidakkah aku seharusnya sudah jadi traveller blogger? Atau minimal sudah bergabung dengan jaringan backpacker internasional?

Lihat aku sekarang. Terjebak di kota panas nan macet macam Palembang. Oh, aku nggak mengeluh kok. Di kota ini makanannya enak dan aku dianugerahi teman-teman luar biasa baik dan menyenangkan di sini.

Tapi seperti Ossas yang tersiksa kalau belum mencakari kursi, jiwaku akan senantiasa haus kalau belum menjejak kaki di tempat yang belum pernah kudatangi. Hasrat yang akan selalu menunggu dipuaskan.

Padahal travelling nggak sesulit itu juga sebetulnya. Dari sisi finansial sangat mungkin selama aku bisa sedikit mengerem khilaf-ku untuk barang-barang nggak penting. Nggak masalah juga kalau harus nabung dulu dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan tiket dan apapun itu.

Dari segi waktu, baik kuliah dan pekerjaanku sangat fleksibel sekarang. Pun aku juga nggak pernah tergantung sama orang lain untuk menemaniku bepergian. Singkatnya, aku SEBENERNYA bisa pergi kapan saja kalau memang niat.

LHA TERUS KENAPA HIDUPKU BEGINI-BEGINI SAJA?

Jawabannya mendadak muncul begitu saja. Dan amat sederhana.

Jadi selama ini, bertahun-tahun … tanpa sadar aku membendung aliranku sendiri. Aku terbiasa meredam hasrat dan mengalah …, terutama kalau berhubungan dengan sabda papa.

Di awal tadi sudah kusinggung soal papa yang merupakan manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal. Nah, papa itu sosok yang tak segan mendidik anak-anaknya dengan kekerasan, tapi beliau juga orang yang paling mudah menangis. Iya, papaku itu keras dan menakutkan tapi cengeng. Papa nggak segan nabokin aku dan kakakku kalau kami bandel, tapi aku sering memergokinya menangis kalau dengar ada tetangga atau saudara kami yang lagi susah.

Dan … papa yang dari awal paling tahu bagaimana kepribadianku dan bagaimana aku tumbuh, justru yang paling getol melarangku kemana-mana. Jangan harap bisa pergi liburan atau study tour kalau minta izinnya dulu.

Lha izin main ke kebun teh rame-rame di Kepahiang yang cuma 1,5 jam dari rumah kami saja nggak boleh kok. Ada saja alasannya. Banyak kecelakaanlah, jalan rawanlah, bahaya untuk perempuanlah apalah … Makanya, dulu aku sering kucing-kucingan. Atau pergi dulu baru ngomong. Mau dimarahi habis-habisan setelahnya aku nggak peduli, yang penting sudah jalan.

Yah, mungkin memang tipikal seorang ayah. Dimana-mana bakal begitu. Biar dilihatnya ada jiwa air terjun dalam diriku, di matanya aku akan selalu jadi putri kecilnya yang manja. Yang cukuplah dengan bermain ayunan dari ban bekas dan tergantung di pohon-pohon buah yang ditanamnya sendiri.

Oh, satu lagi. Kakakku. Yah, mungkin dia tak benar-benar punya niat jelek, tapi dalam banyak hal, dia itu benar-benar seperti toxic person yang tanpa sadar kerap memunahkan kepercayaan diriku dengan brutal. Dia yang multitalenta plus multitasking itu sering membuatku percaya kalau aku adalah manusia payah dan produk gagal, yang nggak bisa ngapa-ngapain.


___________________________________________

Akhir tahun 2018 lalu, jelang setahun peringatan kematian papa … aku memulai perjalanan solo perdanaku. Ke Jogja. Perjalanan yang kuberi judul “Perjalanan Menantang Tuhan”. Soal ini akan kuceritakan dalam postingan tersendiri kapan-kapan.

Namun salah satu yang kudapat dalam perjalanan itu adalah … aku akhirnya bisa benar-benar berdamai dengan Tuhan karena lelaki terhebat nomor satu-ku sudah diambil-Nya.

Meski awalnya masih seperti kepingan puzzle, kepergian papa bisa kumaknai berbeda sekarang. Lewat obrolan panjang berbulan-bulan dengan seorang kakak sekaligus bestie (Kak Yan, thank you so much), puzzle itu pun akhirnya lengkap.

Aku menerjemahkannya sebagai : Sudah saatnya membongkar bendungan. Kamu harus mulai bermimpi lagi, Ar!

Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku bertualang kemana pun, kecuali Tuhan. (Oh, tapi aku kan bakal selalu minta izin-Nya dulu nanti setiap kali memulai petualangan).

Papaku, aku yakin dia tidak pernah benar-benar berniat melarangku berpetualang. Selama ini beliau kok yang paling memahamiku. Cuma kalah saja dengan rasa khawatirnya yang terlalu besar. Sekarang tidak perlu lagi … toh dia bisa berbicara, memohon langsung pada Tuhan untuk menjagaku.

Kakakku, aku bahagia dia sekarang sudah punya sesuatu yang lain untuk diurusi selain menertawakan mimpi dan meragukan semua kemampuanku. Biarlah dia sibuk sama istri dan anaknya.

Untuk pertama kalinya … aku benar-benar merasa bebas dan bahagia. Aku siap kemanapun.

Tinggal menunggu sinyal izin dan waktu yang tepat dari Tuhan. Dan kemudahanku mengurus paspor beberapa hari lalu benar-benar kumaknai sebagai pertanda baik …

Errr, memangnya kamu mau kemana sih, Ar?

Sudah kubilang, bukan soal lokasinya, karena tujuanku adalah perjalanan itu sendiri. Tapi tidak ada salahnya juga memulai dengan menuliskan ulang mimpi masa kecilku setelah Jogjakarta dan Candi Borobudur berhasil dicoret dari daftar tanpa diduga sama sekali.


Niagara Falls • googlemaps

Ini mimpiku. Niagara Falls alias air terjun Niagara di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. 15.529 km jauhnya dari Palembang. Dan aku lebih ingin masuk lewat sisi Toronto Kanada ketimbang sisi New York.

Tentang mimpiku ini, bukan hanya harga tiketnya yang selangit, apply visa Kanada konon juga bakal sulit banget

Hahaha … memang terdengar mustahil ya kalau sekarang? Tapi kalau bermimpi aja nggak berani, gimana aku mau kuat jalani hidup yang payah ini?

Lagipula ... apa yang tertulis di kitab suci ini benar-benar jadi penghiburanku 😊


Ga ada yang ga mungkin


***
 
"Kenapa Niagara? Ga kejauhan? Memang kalau sudah sampai sana mau ngapain?" tanya mamaku begitu kuceritakan mimpiku ini.

"Ya ga kenapa-kenapa. Pengen aja. Lagian, salah sendiri ngasih nama anak begitu. Sampai sana ya cuma mau foto-foto aja, terus video call mama sambil dadah dadah...," jawabku.

"Punya duit apa kamu?"

"Sekarang sih belum. Tapi kan Bapa-ku Maha Kaya, DIA yang punya semesta ini. Kalau minta sungguh-sungguh, masa nggak dikasih?"

"Ya sudah. Pergilah kalau memang waktunya pergi kelak. Mama cuma bisa bantu doa. Tapi ada syaratnya ..."

"Syarat?"

"Selesaikan dulu kuliahmu!"


Ayayayaye, Captain!! Tanpa disuruh pun, selesaikan kuliah memang tujuan utama untuk saat ini. Berpetualang bisa menunggu, tapi nggak dengan pendidikan.


Nah, kalian. Doakan aku ya ... 😉

2


Teman-teman saya di Palembang, rata-rata punya motor sendiri. Ya nggak salah sih, kondisi jalanan kota pempek ini memang lebih bersahabat sama kendaraan roda dua ketimbang empat. Titik macet yang nggak bisa diprediksi itu lho … Kalau pakai motor kan masih bisa nyelip sana sini.

Buat cewek, pilihannya akan jelas jatuh ke skuter matic (skutik). Alasannya? Simpel dan mudah dioperasikan. Tinggal gas dan rem saja. Nah, untuk tipe motor seperti ini, ada dua merk yang bersaing merajai pasar yakni Honda Beat dan Yamaha Mio.

Dalam postingan kali ini, saya coba membandingkan keduanya. Tipe yang saya pilih yakni Honda Beat dan Yamaha Mio S. Soalnya kedua motor ini yang paling banyak dipakai oleh teman-teman saya.

Yuk… check it out!

Yamaha Mio S


Honda Beat


Fitur Hemat BBM

Produk keluaran Honda kerap dipilih karena terkenal hemat BBM. Tidak heran, karena Honda Beat sudah dilengkapi dengan fitur ISS (Idling Stop System) selaku fitur penghemat BBM. Ini yang bikin motor akan mati setelah berhenti selama 3 detik. Motor akan hidup kembali hanya dengan memuntir grup gas.

Sementara itu, Yamaha Mio S belum dilengkapi fitur ini. Meski demikian, Yamaha Mio S punya teknologi forged piston. Forged piston itu piston yang dibuat pake besi yang udah ditempa. Ini lebih kuat dibanding dibanding piston konvensional yang cuma dicetak. Teknologi forged piston banyak digunakan pada mesin balap karena tahan panas. Ini juga nih yang bikin mesin Yamaha Mio S ga berisik karena bahannya yang kuat dan ringan bikin gesekan berkurang.

Hal ini berimbas ke mesin yang bekerja jauh lebih enteng dan mencegah piston macet sehingga efisiensi bertambah. Dalam hal ini, bakal berimbas juga ke keiiritan bahan bakar.

Spesifikasi Mesin

Diintip dari data spesifikasi mesin di website resmi masing-masing, Honda Beat pakai mesin sebesar 108. 2 cc. Sedangkan Yamaha Mio S 125 cc. Selain itu, Honda Beat menyemburkan power sebesar 8,68 PS / 7500 rpm dan torsi sebesar 9,01 Nm / 6500 rpm. Sedangkan Yamaha Mio S memiliki power sebesar 9,51 PS / 8000 rpm dan torsi sebesar 9,6 Nm / 5500 rpm.

Dengan begitu, dari segi mesin Yamaha Mio S lebih unggul serta powerful dibanding Honda Beat. Lebih nyaman digunakan karena tarikan gasnya lebih enteng.

Kapasitas Bagasi dan Tanki Bensin

Cewek suka peduli dengan hal-hal remeh, seperti ukuran bagasi motor. Dalam hal ini, Honda Beat lebih unggul karena punya bagasi sebesar 11 liter. Meski demikian, bedanya tidak terlalu jauh dengan Yamaha Mio S yang punya bagasi sebesar 10,1 liter.

Jalanan Palembang yang titik macet dan jam macetnya sukar diprediksi, sering bikin was-was kehabisan BBM. Dalam hal ini, Yamaha Mio S lebih diuntungkan dengan kapasitas tangki bensin yang lebih besar dibanding Honda Beat. Honda Beat punya kapasitas sebesar 4 liter, sedangkan Yamaha Mio S 4,2 liter.


Ramah Lingkungan

Yamaha Mio S dilengkapi dengan teknologi DiAsil Cylinder yang ga dimiliki Honda Beat. DiAsil sendiri merupakan singkatan dari Die Aluminium Silicon, yang berarti material logam campuran aluminium dan silikon yang memiliki kemampuan pendinginan lebih baik, namun sifatnya keras dan tahan aus.

Teknologi DiAsil diklaim lebih ramah lingkungan, karena tidak menggunakan lapisan nikel total Die-Cast Aluminium, sehingga mudah didaur ulang. Bukan cuma murah, teknologi ini rupanya juga bikin mesin jadi lebih beperforma, ringan, ”dingin”, tidak berisik dan awet.

Tampilan

Urusan penampilan, kalo dari segi panel meter, Honda Beat sepertinya lebih cakep. Ini karena panelmeter Honda Beat merupakan perpaduan antara sistem analog dan digital. Sementara Yamaha Mio S masih pakai sistem full analog.

Meski begitu, kalau dilihat dari tampilan keseluruhan, Yamaha Mio S terlihat kece dengan fitur lampunya. Jika Honda Beat masih menggunakan lampu bohlam sebagai lampu utama, Mio S sudah pakai lampu utama LED. Jelas dong jauh lebih modern, terang, dan awet ketimbang bohlam.

Ga perlu khawatir kalau misalnya pulang sudah gelap karena terjebak macet.



Kesimpulan
 
Pada dasarnya memang bakal kembali lagi ke selera dan pilihan masing-masing. Skutik Honda Beat dan Yamaha Mio S punya keunggulan sendiri-sendiri. Tapi tidak ada salahnya sih mempertimbangkan Yamaha Mio S, karena jelas punya lebih banyak fitur unggulan.
_____________________________

Baca juga ulasan saya yang tentang motor Yamaha di sini

5


Demi kenyaman, jika Anda membaca tulisan ini melalui ponsel, ubah dulu setting browsernya ke mode desktop/website dulu ya 😉

Mudahnya urus paspor di kantor imigrasi Palembang

Yuhuu, di postingan ini saya bakal ceritain A-Z pengalaman saya membuat paspor baru di Kantor Imigrasi Kelas I Palembang. Mungkin akan sedikit panjang tulisannya, tapi mudah-mudahan yang baca bisa dapat gambaran detail terkait proses pengurusan paspor terbaru di Palembang tahun 2019 ini.

Check it out, Gaes!

Setelah sejuta tahun rencana bikin paspor berakhir gagal dengan berbagai alasan, di bulan April 2019 ini akhirnya saya punya paspor juga. Perdana. Itu pun harus diancam dulu sama sama Kak Yayan a.k.a Omnduut. “Kalau masih nggak bikin paspor juga sekali ini, kakak diamkan kamu satu jam kalo ketemu!”

Itu sungguh ancaman serius. Didiamkan Kak Yayan sejam sama artinya dengan membuang kesempatan dijajanin bakso, model, es krim Pak Samin, plus cerita update-an film atau buku kece terbaru. Didiamkan sejam itu juga berarti kehilangan 60 menit berharga untuk nggosipin orang lain dengan asyik (woy!).

Ok. Saya ngelantur. Balik ke paspor, setelah bertanya dengan berbagai sumber terpercaya, semedi, dan mandi bunga tujuh rupa campur air tujuh sumur serta tujuh samudera (Halah!) , berikut langkah-langkah mudah mengurus paspor di kantor imigrasi Palembang :

1. Mendapatkan nomor antrean online

Ini penting, karena dari yang saya baca tentang keluhan-keluhan masyarakat terkait Kantor Imigrasi Palembang di ulasan google maps, sepertinya kantor ini tidak melayani sistem antre manual lagi. Seluruh prosedur antrean wajib menggunakan antrean online (mohon koreksi kalau salah).

unduh aplikasi Layanan Paspor Online di Playstore

Caranya gampang kok, tinggal download aplikasi "Layanan Paspor Online" di play store. Lalu sign up dengan mengisi data standar (ikuti saja langkah-langkahnya. Gampang!).

Selanjutnya, pilih jadwal antrean yang tersedia (ditandai dengan kotak berwarna hijau).

Saat saya pertama mendaftar di awal Maret, kuota antrean sudah penuh. Hal ini cukup membuat saya kesal karena dicoba berhari-hari pun masih tetap penuh.

Lalu ada yang menyarankan saya untuk mulai mendaftar di hari Jumat pukul 2 siang. Sudah saya coba, dan antrean masih penuh juga (full merah).

lakangan saya baru tahu, kalau kuota antrean paspor itu di-update setiap 2 Minggu sekali. Ya, betul infonya, di hari Jumat pukul 14.00, namun SETIAP 2 MINGGU SEKALI.

Full green: Penampakan kuota tersedia kalau
baru buka. (IG kantor imigrasi Palembang)

Benar saja, ketika mencoba daftar di hari Jumat berikutnya (tanggal 29 Maret), mayoritas kolom antrean hampir semuanya masih hijau untuk jangka waktu 2 minggu ke depan.

Setelah menyocokkan jadwal, saya pilih antrean hari Kamis (10/4) pukul 09.00-10.00 WIB. Oh iya, satu nomor antrean bisa berlaku untuk 5 permohonan sekaligus. Jadi untuk keluarga atau bareng teman bisa diurus sekaligus.

Sambil menunggu hari H, saya beralih ke step selanjutnya.

2. Menyiapkan dokumen dan syarat yang dibutuhkan

Adapun syarat yang dibutuhkan untuk pengajuan pembuatan paspor dewasa adalah :
Syarat pengajuan paspor • kucingdomestik.co

 

 * E-KTP asli dan fotokopi di kertas A4 (tidak usah dipotong kecil)

* akta kelahiran, surat nikah, ijazah terakhir, atau surat baptis asli dan fotokopi (cukup pilih salah satu dokumen yang di dalamnya terdapat informasi nama, tempat tanggal lahir, dan nama orang tua)

* Kartu keluarga asli dan fotokopi

* Meterai6000

* Paspor lama (jika untuk perpanjangan)
Syarat meterai itu luput saya bawa. Dan ternyata dibutuhkan untuk menandatangani surat pernyataan. Tidak masalah sih, di kompleks kantor imigrasi Palembang ada tempat fotokopian yang menjualnya. Tapi mahal bo’, Rp 10 ribu (eh, apa Rp 12 ribu ya?)

Hadeh, mending bawa sendiri dari rumah. Oh iya, jangan lupa juga bawa pena sendiri karena butuh nanti untuk mengisi formulir.

Sementara itu, kalau untuk yang berusia 17 tahun ke bawah berikut syaratnya :
Syarat paspor anak • IG Kantor Imigrasi Palembang

3. Datang ke Kantor Imigrasi Palembang, ambil formulir dan isi

Sesuai dengan jadwal di aplikasi, saya datang ke kantor imigrasi tanggal 10 April. Karena lokasi cukup jauh dari rumah, saya berangkat cukup pagi, setengah 8.

Sebaiknya memang sampai setidaknya setengah jam sebelum jadwal antrean, karena masih harus mengambil formulir dulu. Lokasi loket formulir di gedung bagian belakang, dekat masjid.

Saat mengambil formulir, harus menunjukkan aplikasi antrean online ke petugas. Sebaiknya sudah dalam posisi log in, sehingga tinggal menunjukkan.


Loket pengambilan formuliri

Saat saya antre, beberapa orang di depan saya baru sibuk log in aplikasi saat diminta petugas, ngambil formulirnya jadi lama. Padahal kalau sudah menunjukkan, petugas akan langsung kasih formulirnya.

Begitu dapat, langsung ke luar ruangan dan isi formulirnya. Jangan lupa tempel meterai di lembar surat pernyataan.

Ga bawa lem? Tenang. Meterai itu sama kaya prangko, cukup basahi sedikit bisa nempel kok. Pakai air minum ya, jangan pakai ludah.

Bukan berarti ga bisa nempel, tapi pliss deh. JOROK TAHU!!!

4. Antre Serahkan Berkas

Setelah formulir diisi, gabungkan dengan semua dokumen persyaratan yang sudah dibawa dari rumah tadi dalam satu map, lalu masuk ke ruang layanan pengurusan paspor (lokasinya persis berhadapan dengan loket pengambilan formulir).

Rupanya saya datang kepagian. Harus benar-benar pukul 09.00 baru bisa ikut antre. Saat itu masih kurang setengah jam. Karena pengunjung tidak terlalu banyak dan masih banyak kursi kosong, saya dibolehkan security menunggu di dalam.

Tepat pukul 9, saya ikut antre menyerahkan berkas. Antreannya manual, tapi cukup tertib dan tidak terlalu ramai (mungkin karena faktor kuota antrean online yang memang dibatasi per sesi).

Setelah menyerahkan berkas, dapat map ini + nomor antrean 

Petugas mengecek dokumen dan syarat yang dibutuhkan, memasukkannya ke dalam map khusus dan memberikan nomor antrean untuk proses wawancara.

“Tolong map-nya sambil dilengkapi sebelum wawancara ya, Mbak,” kata petugas menunjuk bagian depan map yang masih kosong dan harus diisi dengan data diri.

5. Wawancara dan Sesi Foto

Ini saat paling mendebarkan (sekaligus membosankan). Menunggu saat nomor antrean disebut untuk melakukan sesi wawancara.

Prosesnya mirip antre di bank. Ada 4 counter layanan yang buka. 3 counter khusus dan 1 counter prioritas. Memperhatikan counter prioritas ini benar-benar hiburan tersendiri. Bukan manula atau kaum difabel yang mencuri perhatian saya, tapi anak-anak di bawah 2 tahun ini.

Memperhatikan kehebohan para petugas membujuk mereka agar mau lihat ke kamera benar-benar mengundang senyum. Tak sedikit yang menangis atau malah tidur saat waktunya diambil foto. Setidaknya bisa mengurangi kejenuhan menunggu tiba giliran nomor saya dipanggil.

Pemandangan di counter prioritas 

Cukup lama juga saya menunggu. Kira-kira satu jam. Dalam jangka waktu itu, saya kuga memperhatikan proses wawancara orang lain.

Entah faktor sudah terlanjur cemas dan tegang duluan, saya melihat prosesnya lebih parah dari wawancara HRD saat melamar pekerjaan. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan ditanyakan petugas atau berapa lama durasi wawancaranya. Petugas juga terkesan jutek dan seram.

Tapi setelah giliran saya tiba diwawancara, rupanya tidak seseram itu. Sebaliknya, saya amat rileks menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Saya dapat petugas mas-mas yang (sepertinya) baru menikah. Kukunya yang masih penuh Inai jingga terlihat jelas.

Desas desus soal sikap petugas terasa mengintimidasi sih memang iya. Tapi saya maklumi, tanggung jawab mereka kan besar. Siapa yang menjamin kalau warga yang diwawancarai ini ternyata bakal calon TKW ilegal atau bagian dari sindikat penyelundupan narkoba internasional?

Cuma selama kita memang “tidak macam-macam”, proses wawancara juga ga aneh-aneh kok. Saya cuma ditanya mau kemana, urusan apa, kesibukannya apa, benar-benar baru sekali urus paspor? dan sederet hal yang sepertinya cuma ngobrol-ngobrol ala warung kopi.

Tahu-tahu saya sudah diminta scan sidik jari dan langsung foto saat itu juga. Dan ciiisss, berpose syantiek setelah sebelumnya disuruh copot kaca mata terlebih dahulu.

Sampai sempat bengong nggak percaya, sesimple dan sesingkat itu? Saya prediksi cuma sekitar 10 menit. 15 menit paling lama. Luar biasa!

Sebelum meninggalkan counter, saya diberi kertas berupa pengantar pembayaran paspor.


Bukti pengantar pembayaran paspor

6. Bayar dan Tunggu

Biaya pembuatan paspor adalah Rp 355 ribu untuk paspor biasa 48 halaman. Sudah bersih, tanpa biaya tambahan apapun.

Pembayaran bisa dilakukan di bank manapun, tapi kalau ga mau repot, bisa langsung bayar di mobil pos yang setia hadir di kantor imigrasi Palembang ini.

Mobil pos, menerima pembayaran paspor 

Setelah itu beres, tinggal tunggu 3 hari kerja untuk kembali dan ambil paspornya. Meski tertulis 3 hari kerja, saya sarankan setidaknya tunggu seminggu untuk mengambil.

Saya sendiri baru mengambil tanggal (23/4) kemarin karena minggu lalu banyak tanggal merah. Saat kembali ke kantor Imigrasi Palembang, datang sekitar pukul 9 pagi, langsung ke loket pengambilan paspor.

Menunggu sebentar saja, tidak sampai 10 menit, paspor pun sudah di tangan.

Fiuuuhh, senangnya. Bukan hanya tidak ada salah ketik nama atau data diri lainnya, tapi foto saya terlihat cakep. 10 kali lebih cakep dari foto ijazah, dan 100 kali lebih cakep dari foto e-KTP 😹😹😹

Akhirnyaaa... Setelah sejuta tahun , punya paspor juga 😹

Kesan saya tentang Kantor Imigrasi Kelas IA Palembang ...

Luar biasa!

Benar-benar pelayanan kelas I.

Jujur, tadinya sempat skeptis karena sudah banyak cerita tentang kebusukan tempat ini, atau cerita betapa sulitnya (atau dipersulit?) orang-orang saat mengurus paspor.

Tapi rupanya hal itu sama sekali tidak ditemui. Bahkan saya tidak melihat penampakan calo seorang pun.

Kalau soal urusan kelancaran wawancara, yah … mungkin itu balik-balik ke amal perbuatan pribadi masing-masing kali ya? Banyak berdoa saja dapat petugas yang baik hati dan tidak sombong 😹

Cuma saya juga heran lho, ada mbak-mbak yang diwawancara sebelum saya, kayanya prosesnya ribet banget. Diminta nunjukin surat keterangan kerja lah, disuruh nelpon atasannya lah. Beberapa orang lain juga ada yang diminta nunjukin tiket pesawat.

Yah, apapun itu, saya rasa itu tergantung dengan kemampuan kita meyakinkan petugas. Bahwa kita nggak akan “macem-macem” di luar negeri.

Saya sempat ditanya, “sudah beli tiketnya?”

Terus terang saya jawab belum. Tapi saya tambahkan, “justru karena itu pengen bikin paspor, Pak. Jadi kalau dapat tiket yang harganya ok tinggal berangkat!”

Beres.

Nggak usah ngasih keterangan macem-macem atau nggak bener. Karena itu cuma bikin gerak-gerik kita dicurigai. Para petugas itu juga pasti udah belajar psikologis manusia rasanya …

Nggak usah paket calo juga. Lha wong urus sendiri saja gampang banget kok.

Akhir kata, terima kasih Kantor Imigrasi Kelas IA Palembang, pertahankan pelayanan kaya gini ya? Sampai jumpa 4,5 tahun lagi 😽


Nb.
Kalau ada yang kurang jelas atau ingin ditanyakan, silakan colek Instagram Kantor Imigrasi Palembang (@kanimpalembang). Adminnya ramah dan responsif selagi di jam kerja.


Bonus :

Bule unyu yang English-nya lebih parah
dari gw 😹



10


Forest Talk with Bloggers - Palembang

“Manusia mencintai bumi seperti Sangkuriang mencintai Dayang Sumbi. Manusia memang masih menyayanginya, namun tak lagi menghormatinya sebagai ibu.”
Itu kata teman saya, Yoga Palwaguna. Dia memang suka bikin sajak dengan kalimat aneh-aneh. Sering bermakna dalam nan mak jleb. Tapi sekali ini, saya benar-benar sepakat dengannya.

Ibu Bumi, Bapa Angkasa. Nenek moyang kita telah sejak lama menyebut bumi sebagai ibu. Karena memang di sanalah kita –para manusia—memperolah kehidupan. Lahir, tumbuh, berkembang, beranak-cucu, hingga tiba saatnya jasad kembali pada pelukan tanah.

Manusia dulu demikian menghormati, bahkan nyaris memuja bumi. Sampai meludah langsung ke tanah pun adalah sesuatu yang pantang dilakukan. Sejumlah upacara macam Sedekah Bumi atau Bersih Desa rutin dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan bumi.

Namun sekarang, tampaknya ada yang berbeda.

Penyebab Bumi makin panas (dok. Forest Talk)

Manusia memang masih mengasihi bumi bahkan bergantung padanya. Namun tak lagi memandangnya dengan penghormatan, melainkan penuh nafsu. Pun tak segan lagi melakukan perbuatan tak senonoh terus menerus. Sampah, limbah, eksploitasi lahan, pertambangan, polusi … Hal-hal yang kemudian mendorong terjadinya pemanasan global yang kemudian berujung pada perubahan iklim.

Jika Sangkuriang dan Dayang Sumbi mungkin hanya dipercaya sebatas legenda, maka perubahan iklim adalah sesuatu yang riil. Nyata tengah terjadi saat ini.

Manajer Climate Reality Indonesia, Ibu DR. Amanda Katili Niode membenarkan terjadinya perubahan iklim yang terjadi di muka bumi saat ini. Hal itu dibuktikan dengan perubahan ketinggian permukaan air, peningkatan suhu global, memanasnya samudera, melelehnya es di kedua kutub bumi dan wilayah sekitarnya, memanasnya suhu di samudera, juga pengasaman samudera.

Ibu Amanda Katili Niode (dok. Forest Talk)

“Ada 60 juta orang di seluruh dunia yang terdampak cuaca ekstrem. Tak terkecuali di Indonesia. Dari 2481 bencana yang terjadi di negeri kita akhir-akhir ini seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan, gelombang panas dan dingin, badai, serta puting beliung, 97%-nya disebabkan oleh perubahan iklim. Tak kurang 10 juta masyarakat kita terdampak dan mengungsi karena ini,” jelas Bu Amanda.

Berkaca pada data-fakta tersebut, tak heran kalau Bu Amanda bilang kalau bumi kita sedang sekarat. Ya, bumi kita memang tengah sakit parah dan menderita menuju ajal.

Lalu, akankah kita berpangku tangan menunggu bumi tutup usia dengan sendirinya? Yang berarti akan menjadi akhir bagi setiap kehidupan yang masih dikandungnya.

Tidak. Tentu saja tidak. Kita bisa mulai merawat ibu kita yang telah renta ini dengan berbagai cara , seperti :

1. Tidak buang sampah sembarangan
2. Memilah sampah organik dan anorganik agar lebih mudah didaur ulang.
3. Mengurangi penggunaan plastik (bawa tas sendiri saat belanja, stop pakai sedotan plastik sekali pakai, dll)
4. Mengurangi polusi

Itu cuma contoh. Masih banyak cara lain yang bisa terapkan untuk merawatnya, tentu. Dan ada satu hal lagi yang rupanya punya efek paling besar untuk memperpanjang asa bumi kita, yakni : Lestari Hutan.

Lestari Hutan? Makanan apa itu?

Simak terus ulasan berikut ini, ya?!


Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Demi Masa Depan Bumi

Moderator dan Narasumber Forest Talk with Palembang Bloggers

Beruntungnya saya dan rekan-rekan blogger Palembang saat dapat undangan acara Forest Talk with Blogger di Kuto Besak Theatre pada Sabtu (23/3) lalu. Acara bertajuk “Menuju Pengelolaan Hutan Lestari” tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Doctor Sjahrir dan The Climate Reality Project Indonesia. Di sini, saya benar-benar belajar banyak hal, terutama soal hutan dan kaitannya dengan kelangsungan nasib bumi kita.

Dr. Atiek Widyawati, salah satu pembicara dari Tropenbos Indonesia menjelaskan, hutan kita kian hari nasibnya kian memprihatinkan. Banyak areal hutan menjadi berkurang bahkan hilang karena aktivitas manusia. Mulai dari pembalakan liar, hingga alih fungsi lahan menjadi area perkebunan, pertanian maupun pemukiman.

Deforestasi, degradasi, dan konversi hutan (dok. Forest Talk)

“Jika ini dibiarkan, akan menimbulkan banyak masalah. Termasuk dampak bencana yang terjadi seperti banjir, kebakaran lahan dan kabut asap. Terjadinya bencana-bencana ini sudah diprediksi. Semua terjadi karena deforestasi. Untuk itu, perlu adanya solusi terkait hal ini, yakni mengembalikan lagi fungsi hutan dalam berbagai aspek,” kata Dr. Atiek.

Selain mencegah pembalakan liar, reboisasi, dan reklamasi lahan, kelestarian hutan bisa dijaga dengan cara memanfaatkan produk-produk hasil hutan non-kayu. Jadi guys, komoditas hutan itu nggak melulu kayu. Ada banyak produk hutan lain yang bisa dimanfaatkan tanpa harus menebang pohon-pohonnya yang butuh puluhan tahun lagi untuk kembali tumbuh besar.

Narasumber lainnya, Ir. Murni Titi Resdiana, MBA yang merupakan Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim menjelaskan, ada begitu banyak potensi dari pohon-pohon di hutan untuk pengembangan ekonomi kreatif.

Daun nanas bisa dijadikan serat untuk produksi tekstil

Mulai dari sebagai pewarna alam, bahan kerajinan, makanan, sumber minyak atsiri, hingga fashion. “Semua itu akan menjadi komoditas yang sangat menjanjikan. Namun tentunya, harus dibarengi dengan proses produksi maksimal dari segi kualitas dan strategi pemasaran yang tepat,” beber Bu Titi.

Saya sebagai model produk fashion hasil hutan

Dalam pengelolaan sumber daya hasil hutan, tentunya diperlukan peran aktif dari masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar area hutan. Salah satu pihak yang peduli dengan pemberdayaan masyarakat tersebut adalah perusahaan APP Sinar Mas. Melalui program CSR Desa Makmur Peduli Api (DMPA), sedikitnya ada 284 desa yang telah diberi pendampingan.

Head of Social Impact & Community Development APP Sinar Mas, Janudianto mengatakan, dana yang telah digelontorkan untuk ratusan desa tersebut adalah wujud komitmen APP Sinar Mas dalam menangani perubahan iklim. Adapun pengelolaan diserahkan ke masing-masing desa melalui bumdes atau koperasi.

Produk makanan hasil binaan program DMPA APP SInarmas (dok. Forest Talk)

"Ini sebagai wujud nyata kontribusi kami dalam menangani perubahan iklim global. Namun tentunya kami tidak bisa bergerak sendiri. Perlu adanya kerjasama dengan masyarakat. Dengan ini, selain bagian upaya dari mengedukasi masyarakat agar tidak lagi membakar hutan, bisa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di masing-masing desa,” demikian Janudianto.

Keseruan Lainnya

Stand Pameran Meillin Gallery
Agenda Forest Talk with Blogger nggak cuma diisi dengan diskusi seru yang sarat ilmu. Sebanyak 40 peserta yang semuanya blogger itu juga disuguhi pameran produk hasil hutan yang begitu memanjakan mata. Ada produk-produk makanan dari stand DMPA, produk kerajinan tangan dari Meillin Gallery yang bahan bakunya berasal dari limbah kayu, dan yang paling menarik perhatian saya yakni pameran produk tekstil dari Galeri Wong Kito.

Jadi model (lagi), kali ini bareng Eka
Jadi produk-produk kain yang dipamerkan, semuanya dibuat menggunakan bahan alami, termasuk pewarnanya. Saya dan teman-teman juga berkesempatan praktik langsung ecoprint, yakni teknik membuat motif di kain menggunakan daun-daun.

Serunya praktik langsung ecoprint

Proses pembuatannya cukup mudah, namun diperlukan kesabaran terutama saat memukul-mukul daun dengan palu kayu agar motifnya tercetak sempurna.

Umek Elly terbuai aroma chicken wings Chef Taufik

Seolah belum cukup, peserta juga menyaksikan demo masak langsung oleh Chef Juna Taufik. Menyaksikan dari awal proses masak Mushroom in Paradise dan Chicken Wings Korean Sauce itu benar-benar bikin ngiler. Jadi nggak sabar pengen nyoba resepnya sendiri di rumah.

Last but not least ...

foto bersama sebelum pulang
______________________________________
Saya amat terkesan dengan acara Forest Talk with Blogger Palembang ini. Benar-benar cara sempurna untuk berakhir pekan. Di atas semua ilmu dan keceriaan (plus goodie bag) yang dibawa pulang, acara ini telah menyadarkan saya akan satu hal penting. Bahwa kekurang-ajaraan dan ketidaksenonohan kita dalam memperlakukan bumi memang harus segera diakhiri.

Sudah saatnya kita kembali menghormati bumi laiknya ibu sendiri. Kini, ibu yang sudah tua, penyakitan, dan sekarat itu membutuhkan kita, anak-anaknya. Melestarikan hutan mungkin ibarat memberinya obat. Barangkali tak cukup ampuh untuk mengembalikan vitalitasnya seperti semula, namun jelas sudah lebih dari cukup untuk sekadar memperpanjang nafasnya.

Salam lestari!

 _________________________________
Bonus :






Sebagai emak kucing kampung, bertemu mereka Kuto Besak Theatre benar-benar sebuah kebahagiaan tersendiri. 😊
________________________________

Tulisan ini juga tayang di lestarihutan.id

8

Baca juga

Mimpi 15.529 Km

Tulisan ini dibuat dengan rasa rindu yang sangat, pada sosok manusia paling kontradiktif yang pernah kukenal : Papa. Mimpi 15.529 km | kuc...